SBSINews – Akhirnya, setelah sekian lama, dua orang yang paling ditunggu kiprah dan terobosannya di era pandemi ini terlihat juga.
Menteri Kesehatan serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Ya, kita seakan-akan rindu kehadiran mereka.
Sebagai rakyat kebanyakan, saya menduga Presiden Jokowi memilih kedua tokoh ini karena prestasi mereka yang out of the box.
Presiden ingin memberikan warna baru di dua bidang ini: Kesehatan dan Pendidikan.
Sayangnya, di tengah masa pandemi, kita seperti kehilangan keduanya.
Menteri Kesehatan amat jarang terlihat mendampingi Presiden.
Bahkan di acara terkait Covid-19 seperti pembukaan mal di Bekasi, atau lari pagi untuk menjaga kebugaran.
Menteri Pendidikan pun jarang terlihat.
Mahasiswa ramai menaikkan tagar
#mendikbuddicarimahasiswa, atau riuh rendahnya perbincangan tentang sistem penerimaan peserta didik baru, Mendikbud seakan-akan gaib.
Tak ada respons yang kami ketahui. Syukur, dua hari lalu mereka berdua hadir, mengobati kerindian.
Pemerintah menggelar acara Keterangan Pers Penyelenggaraan Tahun Ajaran dan Akademik Baru. Karena sudah era PSBB proporsional, Jakarta mulai menggeliat.
Perkantoran mulai dibuka.
Menariknya, semua pembicara seakan ada di kantor mereka. Sekjen Kemendikbud juga.
Yang jadi perhatian adalah apa yang disampaikan, bagaimana persiapan pemerintah, dalam hal ini dunia pendidikan menghadapi tahun ajaran di era pandemi. Adakah yang baru? Adakah yang belum kami tahu? Bagi Saya, belum banyak ada terobosan.
Ketika seorang kawan bertanya bagaimana respons saya, saya menjawab,
“Yang disampaikan Pak Mendikbud lebih pas disampaikan oleh Pak Menkes.”
Karena pemaparannya lebih terkait dengan faktor kesehatan.
Dia menyampaikan tahapan pembukaan kembali sekolah dengan syarat-syaratnya.
Tapi sedikit sekali menyinggung hal keguruan, review pembelajaran jarak jauh, dan semisalnya.
Bahkan, tak ada kalimat sapaan pada rekan-rekan guru yang berkutat dengan tantangan baru pendidikan di era pandemi ini.
Saya juga menunggu kalimat inspiratif, kata-kata penyemangat untuk para murid, atau mahasiswa baru yang berhadapan dengan sistem penilaian yang baru.
Proses Penerimaan Peserta Didik Baru yang ramai di antara orangtua murid, seruan dan teriakan mahasiswa selama iniā¦tak ada yang masuk dalam agenda Mandikbud.
Kawan saya bertanya, “Lalu, menurutmu, apa yang sebaiknya disampaikan?”
Pertama, menyapa seluruh stakeholders pendidikan.
Memberi semangat pada ibu dan bapak guru yang telah berkreasi di tengah pandemi. Berterima kasih pada para orangtua yang telah mendampingi. Memotivasi anak-anak yang mungkin terdampak sindrom BLAST (Boring, Lonely, Angry, Stressed, dan Tired) akhir-akhir ini
Kedua, menyampaikan evaluasi umum pembelajaran dari rumah selama ini.
Ini akan berdampak pada:
penyederhanaan kurikulum, penyusunan ulang materi prioritas, dan penghindaran dari proses belajar dari rumah yang lebih bersifat pemberian tugas dari sekolah.
Ketiga, memberikan beberapa alternatif tambahan.
Kebetulan, dua hari sebelum Keterangan Pers tersebut, saya dan sekolah kami mengikuti webinar internasional Managing and Reopening Schools amid Covid-19 dengan peserta dari Kanada, Amerika, Timur Tengah, Australia, dan banyak lagi.
Begitu banyak alternatif yang dicoba sekolah-sekolah di berbagai negara itu. Sebuah (tingkat) distrik di California bahkan punya dokumen rinci tentang evaluasi pembelajaran jarak jauh dan syarat-syarat membuka sekolah kembali.
Ada pula sekolah yang mencatat peningkatan prestasi akademik anak-anak, justru dengan pola belajar dari rumah.
Catatan mereka antara lain karena penyederhanaan kurikulum, anak belajar dengan jadwal yang lebih fleksibel, dan tidak adanya peer pressure.
Ada pula pola hibrid, menggabungkan belajar daring dengan sebuah proyek bersama.
Sekolah-sekolah kami mungkin akan mencoba cara itu. Di masyarakat, pemerintah dapat mencoba mengaktifkan Pembelajaran Berbasis Komunitas.
Rukun-rukun Tetangga atau RW dapat diberdayakan dengan partisipasi para warga.
Keempat, mengarahkan para guru untuk sebuah workshop dan persiapan era pandemi ini.
Dengan beberapa staf khusus Presiden yang dekat dengan dunia milenial, termasuk Mendikbud sendiri, maka training guru untuk Pembelajaran Jarak Jauh mutlak diperlukan.
Kelima, ajakan untuk lebih memperhatikan kesehatan mental anak-anak.
Tumbuhkanlah komunikasi yang empatik antara guru dan murid.
Hubungi mereka sesekali.
Video call atau berkirim kabar. Beri mereka sapaan-sapaan hangat.
Berilah perhatian lebih, khususnya pada saat-saat seperti ini.
Kalimat Menteri itu sakti.
Hal-hal yang mungkin sederhana bila disampaikan pada posisi Mendikbud akan punya kekuatan berlipat ganda.
Sampaikan juga bahwa Indonesia membentang dari Aceh hingga Papua.
Tantangannya tentu tidak sama.
“Belajar dari rumah” yang dimaksud akan sangat berbeda.
Merdeka Belajar yang telah dicanangkan akan lebih menemukan arti.
Berilah ketenangan pada para orangtua murid dan mahasiswa.
Beberapa sekolah dan kampus diminta untuk melakukan penyesuaian biaya, karena sama sekali tidak ada kegiatan selama pandemi.
Sampaikan solusi pemerintah untuk itu.
Bayangkan, ada kawan saya yang anak-anaknya bersekolah di sekolah negeri, dan menurutnya, “Anak saya sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri, dan pemerintah gagal selama pandemi. Anak saya kayak liburan terpanjang selama hidupnya.”
Ya, ini memang tantangan bersama.
Pemerintah mesti hadir.
Tapi kalau melihat wajah Mendikbud saja masih mahal di lingkungan Kemdikbud, mungkinkah berasumsi Mendikbud sedang liburan juga?
Tentu saja tidak.
Selamat bekerja dan berjuang, Menteri Nadiem Makarim!
Miftah Rakhmat guru di sekolah-sekolah Muthahhari, Bandung
(detikNews, Kamis 18/06/ANFPP)