Catatan Sore
Oleh: Timboel Siregar
SBSINews – “UU Cipta Lapangan Kerja Untuk Kesejahteraan Rakyat, bukan hanya “Karpet Merah” bagi Investor”
Rencana Pemerintah membuat UU Cipta Lapangan Kerja terus ditindaklanjuti oleh berbagai Kementerian dan Lembaga dengan melakukan kajian dan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.
Melalui instrumen Omnibus Law yang akan melibatkan sekitar 71 UU, UU Cipta Lapangan Kerja diyakini oleh Pemerintah akan membuka lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
Dengan instrument Omnibus Law akan dibuat sebuah peraturan perundang-undangan yang mengandung lebih dari satu muatan pengaturan, dengan tujuan untuk menciptakan sebuah peraturan mandiri tanpa terikat (atau setidaknya dapat menegasikan) dengan peraturan lain. Dari 71 UU tersebut dibagi dalam 6 Klaster Omnibus Law yaitu klaster pertama, Persyaratan Investasi terdiri dari 15 UU, kedua, Kegiatan Usaha Berbasis Risiko yang terdiri Perizinan Dasar (Lokasi, Lingkungan, IMB dan SLF 9 UU dan Perizinan Sektor 45 UU, ketiga, Penataan Kewenangan 2 UU, keempat, Pembinaan dan Pengawasan 20 UU, kelima, Sanksi 46 UU; dan keenam, Pedukung Ekosistem (Kemudahan dan Insentif 8 UU.
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi salah satu dari 71 UU yang akan masuk di UU Cipta Lapangan Kerja, yaitu masuk dalam klaster Kegiatan Usaha Berbasis Risiko, dan klaster Pembinaan dan Pengawasan. Oleh karenanya beberapa pasal di UU Ketenagakerjaan akan direvisi untuk mendukung UU pencipataan lapangan kerja. Beberapa pasal tersebut antara lain tentang PHK, pesangon, jaminan sosial, PKWT, Outsourcing dan Pengupahan. Jadi nanti UU Ketenagakerjaan tetap ada, namun beberapa pasal tidak berlaku lagi karena sudah diatur di UU Cipta Lapangan Kerja.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI juga proaktif merespon amanat Presiden Jokowi tersebut dengan melibatkan pemangku kepentingan seperti serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) membicarakan beberapa pasal yang akan dimasukkan di UU Penciptaan Lapangan Kerja. Sudah ada pertemuan yang dilaksanakan untuk membahas hal tersebut dengan melibatkan pengurus SP/SB. Proaktif Kemnaker tersebut patut diapresiasi. Dengan pertemuan-pertemuan tersebut diharapkan SP/SB bisa memahami tujuan hadirnya UU Cipta Lapangan Kerja.
Tentunya dengan apresiasi yang kita berikan, ada juga masukan yang perlu kita sampaikan dalam proses tersebut. Seharusnya materi pembicaraan tentang UU Cipta Lapangan Kerja bisa lebih menggambarkan kondisi ekonomi makro dan mikro serta masalah ketenagakerjaan di negara kita saat ini serta hambatan-hambatannya dalam pembukaan lapangan kerja, dan juga pemetaan kondisi ketenagakerjaan dan investasi di negara lain seperti Vietnam, Kamboja, dsb yang memang menjadi kompetitor kita dalam menarik investasi. Pemerintah juga harus berusaha meyakinkan pekerja/buruh dan SP/SB bahwa UU ini akan mampu mensejahterakan rakyat dengan pembukaan lapangan kerja yang berkualitas, tidak hanya membuka lapangan kerja tetapi kualitas SDM dan kualitas hidup pekerja/buruh dan keluarganya juga bisa dipastikan meningkat.
Jangan juga seperti proses pembuatan UU No. 13 Tahun 2003 yang pada waktu itu Pemerintah menjanjikan akan ada pembukaan lapangan kerja dan hubungan industrial akan harmonis dengan hadirnya UU No. 13 tersebut, tetapi faktanya investasi tidak tumbuh dengan signifikan dan hubungan industrial tidak lebih baik.
Terobosan Solusi Untuk Pasal Yang Akan Diubah
Kalangan pekerja/buruh dan SP/SB tentunya mendukung Pemerintah untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas lagi dan yang berkualitas. Dengan berdasar pada amanat Konstitusi Pasal 27 ayat (2) bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, maka Pemerintah memang berkewajiban menyediakan lapangan kerja tersebut.
Terkait dengan beberapa pasal yang akan disasar oleh UU Cipta Lapangan Kerja seperti tentang PHK, pesangon, jaminan sosial, PKWT, Outsourcing dan Pengupahan, saya berharap pembicaraan pasal-pasal ini bisa dilakukan secara lebih terbuka dan bisa diakses oleh seluruh SP/SB dan pekerja/buruh, tidak lagi mengulangi proses pembuatan UU No. 13 Tahun 2003 yang hanya diserahkan kepada Tim Kecil dan tidak terbuka.
Masalah PHK, Pesangon, PKWT, Outsourcing dan Pengupahan yang merupakan isu-isu krusial dalam hubungan industrial harus bisa dicarikan solusi untuk seluruh pemangku kepentingan, dengan mengkaitkannya pada program jaminan sosial. Pesangon ke depan sudah harus masuk dalam skema jaminan sosial yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan (BPJamsostek), sehingga pengusaha tidak merasa berat ketika harus membayar pesangon dan pekerja memiliki kepastian memperolehnya.
Persoalan PKWT dan outsourcing kerap kali muncul karena di kedua sistem kerja ini pihak pekerja tidak mendapat kepastian perlindungan ekonomi ketika mengalami PHK. Oleh karenanya baik untuk digagas ke depan pekerja PKWT dan outsourcing mendapatkan kompensasi pengakhiran hubungan kerja yang bisa mendukung ekonomi mereka pada saat mencari pekerjaan.
Tidak hanya perlindungan yang bersifat ekonomi tetapi juga ke depan seluruh pekerja kita mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan skill pekerja dan mendapatkan sertifikasi sebagai “kail” untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi, yang memang tugas tersebut menjadi tanggungjawab Pemerintah, dan peran Pemerintah lainnya untuk mempertemukan SDM yang ada dengan kebutuhan industri.
Sistem Pengupahan ke depan pun harus melibatkan peran Pemerintah (APBN dan APBD) dan Jaminan Sosial yaitu dari sisi pembiayaan kebutuhan pekerja dan keluarganya. Peran Pemerintah dan Jaminan Sosial yang bersinergi dengan pendapatan pekerja yang diterima dari Pengusaha akan meningkatkan daya beli pekerja.
Memperkuat jaminan sosial dengan membenahi regulasi jaminan sosial merupakan bagian yang harus dilakukan Pemerintah juga dalam UU Cipta Lapangan Kerja. Harus dipastikan proteksi jaminan sosial terus melekat pada pekerja meskipun pekerja tersebut mengalami PHK. Pekerja yang mengalami PHK bisa terus membayar iuran Jaminan Pensiun walaupun tidak memiliki pemberi kerja lagi agar syarat mengiur minimal 15 tahun bisa terus dilanjutkan.
Demikian juga dengan JKK dan JKm serta JHT bisa tetap dibuka kepesertaannya dengan iuran seperti pada saat bekerja agar manfaatnya tidak berkurang.
Pemerintah harus terus mengembangkan program dan manfaat jaminan sosial khususnya ketenagakerjaan sehingga dana kelolaan BPJamsostek yang akan mencapai Rp.500 Triliun benar benar diabdikan untuk kesejahteraan pekerja kita. Jadi Pemerintah harus juga memperbaharui UU SJSN dengann mengikutsertakan UU SJSN sebagai bagian dari Omnibus Law di UU Cipta Lapangan Kerja. Dari 71 UU yang disisir dalam UU Cipta Lapangan Kerja UU SJSN tidak diikutkan, hanya UU BPJS saya yang disasar.
Semoga UU Cipta Lapangan Kerja benar-benar bisa membuka lapangan kerja yang berkualitas untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja kita baik formal maupun informal beserta keluarganya, bukan untuk sekadar memberi “karpet merah” kepada investor yang ternyata investornya pun enggan datang ke Republik kita ini.
Pinang Ranti, 18 Desember 2019
Tabik
Timboel Siregar, BPJS Wacth