Kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai amanat UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mengubah wajah hubungan industrial Indonesia khususnya masalah pengupahan. Sistem Pengupahan yang diatur dalam PP no. 78 tahun 2015 sebagai amanat UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diubah dengan sangat fundamental oleh PP No. 36 Tahun 2021 ini.
Pasal 2 PP no. 36 tahun 2021 mengamanatkan setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun ukuran layak yang diatur dalam instrument Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang memuat 64 item yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan junto PP No. 78 Tahun 2015 untuk menghitung nilai upah minimum, tidak berlaku lagi di UU Cipta Kerja junto PP No. 36 Tahun 2021 sehingga kebutuhan layak yang diamanatkan Pasal 2 tersebut hanya diatur melalui rumus-rumus perhitungan upah minimum yang memang sangat ruwet, berdasarkan berbagai variable yang menurut saya tidak ada kaitannya dengan upah minimum.
Secara filosofis upah minimum adalah jaring pengaman yang ditentukan Pemerintah untuk menjamin pekerja dan keluarganya bisa hidup layak, sehingga tidak ada kaitannya dengan tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah. Kalau penentuan upah minimum ditentukan oleh tiga variable yang diatur di Pasal 25 ayat 4 yaitu Paritas Daya Beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah maka upah minimum sudah diposisikan sebagai upah berdasarkan mekanisme pasar yang ditentukan oleh Kurva Supplai – Demand (kurva S-D) upah. Memposisikan upah dalam bingkai Kurva S-D merupakan pelepasan tanggungjawab Negara untuk mensejahterakan kaum buruh. Ini bentuk nyata liberalisasi upah minimum.
Saya nilai penggunaaan variable-variabel tersebut cocok digunakan untuk menentukan nilai Upah yang nilainya di atas upah minimum, bukan untuk menentukan upah minimum. Apalagi dalam Pasal 26 disebutkan secara eksplisit nilai upah minimum disesuaikan setiap tahun berdasarkan rumus yang menggunakan variable rata-rata konsumsi per kapita dan rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga. Tentunya variable ini melibatkan jumlah anggota rumah tangga yang menganggur sehingga pengangguran mempengaruhi penyesuaian upah minimum tiap tahunnya.
Penggunaan rumus variable rata-rata konsumsi per kapita dan rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga disajikan untuk menentukan batas atas upah minimum dan batas bawah upah minimum. Penggunaan batas atas upah minimum dan batas bawah upah minimum justru akan mendorong ketidakpastian upah minimum pekerja. Kondisi ini akan lebih menyuburkan tingkat perselisihan tentang penetapan upah minimum.
Saya kira Pemerintah dalam mengkalkulasi upah minimum dengan rumus-rumus yang ruwet dan tidak ada relevansinya dengan nilai upah minimum, membuktikan bahwa Pemerintah tidak memiliki kajian akademik atas PP ini yang mengkaji secara filosofis, sosiologis dan yuridis.
Saya menilai dengan perhitungan upah minimum yang diatur dalam PP no. 36 Tahun 2021 ini maka daya beli pekerja akan menurun sehingga mengancam pekerja dan keluarganya gagal meraih kesejahteraan. Demikian juga, perhitungan upah minimum seperti ini akan derampak buruk bagi penerimaan iuran jaminan sosial yaitu akan semakin menurun sehingga mengancam keberlangsungan program jaminan sosial seperti JKN, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Pensiun.
Pinang Ranti, 22 Februari 2021
Tabik
Timboel Siregar