Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis 98’ dan Kelomok Cipayung.

Saya bukan Descartesian atau pengikut Rene Descartes yang mengandalkan kehidupan berlogika dan nalar sebagai sentrum kehidupan. Namun bernalar dan berlogika seringkali menjadi penting tidak hanya di dunia akademia tetapi juga pentingnya logika dalam merancang bangun negara bangsa (nation-state) seperti Indonesia yang bangunan tata praja dan pranata hukumnya belum sempurna.

Apakah bernalar jika seorang Presiden yang pemimpin tertinggi sebagai Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan juga perlu dilindungi dari sekedar ancaman verbal? bukankah seorang Presiden adalah orang terpilih, terbersih, terbaik  dari sisi pengetahuan (Knowledge), ketrampilan memimpin (skills) juga bermental baik (attitute) yang dipilih oleh partai-partai politik melalui tahapan seleksi secara ketat.

Ironi, bahwa saat ini partai-partai yang justru mengusung kader terbaik mereka menjadi Presiden Republik Indonesia berusaha keras untuk menyelamatkan dan melindungi secara hukum terhadap ancaman kekerasan verbal adalah sesat pikir dan sesat nalar. Presiden sebagai Kepala Negara merupakan pengguna kekuasaan yang bersumber dari konstitusi, namun sebagai Kepala Pemerintahan adalah pemegang otoritas tertinggi karena kita menganut sistem presidensial.

Di saat presiden yang berada di Bizantium Kekuasaan yang saban hari disembah sujud oleh semua elemen bangsa justru negara memberi perlindungan  hukum yang luar biasa kepada orang yang berkuasa luar biasa. Sementara rakyat kecil berjuang setengah mati mencari perlindungan dan keadilan di negeri ini.

Sangat naif, bila mana Pasal Penghinaan terhadap Presiden tersebut diakomodir di dalam KUHP maka perwujudan nyata dari apa yang sering diungkapkan dan dikhawatirkan rakyat bahwa ternyata hukum memang tajam ke orang-orang kecil tetapi tumpul pada penguasa di singgasana kekuasaan. Harus disadari bahwa dimana-mana di dunia ini, seorang Presiden hanya dilindungi dari ancaman keselamatan jiwa dan fisik yang terdiri ancaman luar (external treath) dan keamanan dan kenyamanan di dalam negeri.

Dalam konteks ancaman ini, semua upaya perlindungan secara protokoler telah diberikan oleh negara sehingga tidak terlalu penting diberi perlindungan secara hukum apalagi terkait ujaran  rakyat terhadap Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Negara kita menganut sistem meritokrasi termasuk jabatan Presiden Republik Indonesia. Terpilih melalui seleksi dan hasil pemilihan umum.

Kedaulatan Presiden merupakan resultante dari kedaulatan individu melalui kumpulan satu orang, satu suara, satu nilai (Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu rakyat berhak mencabut kedaulatan, apalagi hanya sekedar menyampaikan pikirkan, perasaan dan pendapat untuk menilai kemajuan (progress) dan kemunduran (regress) atas kinerja Presiden.

Presiden sebagai Pemangku jabatan publik mutlak untuk dinilai baik dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab maupun juga cara bertutur, bertindak juga mentalitas dan moralitasnya sebagai panutan seluruh rakyat. Presiden juga harus siap menerima berbagai cacian, makian, kritikan yang berorientasi kepada merendahkan harga diri dan martabat sekalipun sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara jabatan Presiden dan pribadi.

Sekali lagi bahwa Presiden  itu orang yang terseleksi secara ketat termasuk kadar moralitas dan persoalan pribadinya sehingga sejatinya secara otomatis nyaris terhindar atau bahkan jauh dari ujaran kebencian. Namun jika rakyat menyampaikan kata-kata yang mengandung ujaran kebencian maka tentu saja terdapat persoalan yang serius dan kronis karena dilakukan oleh seorang presiden yang disegani dan dihormati.

Pasal penghinaan terhadap Presiden itu warisan pemerintah orde baru yang otoriter dan kejam. Jika pemerintah mau hidupkan kembali sistem kadaluwarsa ini maka reformasi secara substansial belum berjalan secara maksimal. Dan inilah problem serius bangsa ini, dimana kita tersandera dengan pola pikir dan nalar orde baru bahwa presiden adalah simbol negara sehingga harus diselamatkan dan dilindungi. Padahal tidak ada satu pasal dalam konstitusi yang menyatakan Presiden simbol negara.

Jabatan Presiden itu bukan simbol negara bangsa (nation state simbolis) seperti Pancasila, UUD 1945, Burung Garuda, adagium unitarian Bhinneka Tunggal Ika. Secara hukum kekuasaan presiden juga tidak tak terbatas, artinya kekuasan presiden dibatasi oleh konstitusi, selain sebagai mandataris MPR juga sebagai warga negara biasa dihadapan hukum.

Oleh karena itu Presiden memiliki hak untuk mengajukan gugatan dan juga kewajiban untuk mematuhi hukum. Adanya Pasal Penghinaan terhadap Presiden merupakan sesat logika dan sesat hukum bahkan secara politis akan berbahaya karena selain mengkultuskan individu Presiden juga apapun yang dikatakan Presiden bisa dianggap sebagai sebuah Tita yang tidak terbantahkan semacam devine right of the King seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Jhon di Inggris aband ke-15, akhirnya juga diakhiri dengan perlawanan rakyat yang melahirkan magna charta.

Baca Juga: http://sbsinews.id/terbunuhnya-kebenaran/

Pada saat ini, kita mesti mencari jalan keluar bagaimana negara memberi ruang ekspresi bagi kelompok oposisi dan intelektual atau juga masyarakat untuk menjalankan keseimbangan (check and balances) terhadap kekuasaan. Hal ini penting untuk antisipasi agar kekuasaan tidak memupuk pada seorang individu yang  cenderung otoriter dan bernafsu menyalahgunakan kewenangan (Powers tens to corrupt and Will corrupt absolutely). Sepertinya para politisi dan birokrat gila jabatan dan penjilat terhadap kekuasan.

Untuk kepentingan apa dan siapa, negara sampai mengatur urusan privat  seorang warga negara yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Jika ada tindakan ujaran publik yang mengarah ujaran yang mengandung unsur pidana kebencian maka tanggung jawab pribadi untuk menggunakan haknya sebagai warga negara untuk ajukan gugatan hukum. Dan presiden bisa saja menunjuk pengacaranya sendiri tanpa harus menggunakan Jaksa sebagai pengacara negara.

Bagaimanapun harus diakui bahwa kelemahan kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kala 2014-2019 ini adalah ketidakmampuan membangun bangsa dan memantapkan karakter kebangsaan. Kegagalan terbesar adalah membiarkan disharmoni sosial atau horisontal juga secara vertikal antara negara dan rakyat dampaknya terjadi kerusakan fundamental soal kebangsaan.

Hal ini patut diduga karena kontribusi tumpukan pemilik nalar orde baru di lingkaran istana negara jadi wajar jika nalar progresif dan reformasi stagnan alias tidak berjalan.

Ditulis Oleh: Natalius Pigai

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here