SBSINews – Beberapa tahun lalu, media diramaikan oleh pemberitaan soal Tsunami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menerpa industri perbankan. Digitalisasi menjadi faktor industri perbankan mengganti sistem yang lebih mengandalkan teknologi.
Di tahun ini, kabar tidak sedap datang dari beberapa industri. Pertama, industri baja yang bersaing dengan terjangan impor dari China.
PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) dikabarkan siap melakukan pemutusan hubungan kerja hingga 1.300 orang.
Jumlah itu terdiri dari karyawan organik dan outsourcing. Mulai 1 Juni 2019, 300 karyawan outsource dirumahkan. Kebijakan itu akan terus berlanjut hingga 1 Juli mendatang dengan merumahkan 800 karyawan. Angka itu dilaporkan belum termasuk karyawan organik di BUMN baja tersebut.
“Kalau yang sudah dirumahkan itu hampir 300 orangan dan mungkin per 1 Juli lagi ada pabrik yang akan penambahan lagi. Kalau itu (terjadi) bisa 800-an, bisa jadi,” kata Ketua Serikat Buruh Krakatau Steel, Sanudin dilansir detikFinance.
Namun hal tersebut langsung dibantah oleh manajemen KRAS, walaupun memang ia mengaku perseroan melakukan restrukturisasi.
Direktur Utama KRAS Silmy Karim menampik kabar adanya PHK 1.300 orang yang dilakukan Krakatau Steel (KS) dalam dua bulan ke depan.
Silmy menjelaskan, Krakatau Steel memang tengah melakukan restrukturisasi/perampingan dalam tiga hal, yakni model bisnis, utang, dan organisasi. Restrukturisasi ini krusial dilakukan untuk menyelamatkan kinerja perseroan yang terus menelan kerugian dalam tujuh tahun terakhir.
“Kemudian kita lihat posisi utang naik terus, artinya kita punya masalah bukan saja di keuangan, tapi pastinya ada penyebab lain, baik model maupun proses bisnisnya. Setelah berdiskusi dengan bank dan Kementerian BUMN, akhirnya kami mendapatkan lampu hijau untuk restrukturisasi,” kata Silmy kepada CNBC Indonesia di kantornya, Senin (1/7/2019).
Ia mengakui, setiap upaya perampingan organisasi pasti ada konsekuensinya dan tidak bisa memuaskan semua orang. Direksi pun memilih kebijakan yang dampak dan risikonya paling minimal.
PHK Karyawan Nissan
Nissan membawa kabar yang bikin terkejut banyak orang. Produsen mobil Jepang ini melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia dan di negara lainnya.
Nissan mem-PHK ratusan karyawan di Indonesia sebanyak 830 pekerja. Sebelumnya Nissan, berencana total memangkas lebih dari 12.500 karyawannya di seluruh dunia. Ini sebagai usaha agar bisnisnya bisa terus berjalan. Demikian dilansir detikcom.
Dilansir dari Reuters, Rabu (24/7/2019), pemangkasan karyawan ini terkuak setelah pada Mei lalu, Nissan menyatakan bakal memangkas 4.800 karyawannya di seluruh dunia. Saat ini jumlah karyawan Nissan sekitar 139.000 orang.
President Director PT Nissan Motor Indonesia Isao Sekiguchi dalam pernyataan kepada detikcom mengatakan PHK merupakan bagian dari upaya Nissan untuk memperbaiki operasi dan efisiensi investasi.
“Seperti yang disampaikan CEO Hiroto Saikawa kami mengambil tindakan untuk menghentikan atau mengurangi kapasitas di lini produksi di 8 lokasi. Dari FY20-FY21 kami akan menghentikan atau mengurangi kapasitas, di lini atau pabrik di 6 lokasi. Total pengurangan jumlah karyawan akan menjadi sekitar 12.500 orang. Tidak ada detail spesifik yang dapat dibagikan saat ini,” ujarnya.
CEO Nissan Hiroto Saikawa sebelumnya mengatakan ada 14 negara yang akan mengalami PHK, tapi ia tidak menyebutkan satu per satu negara atau pabrik yang akan mengalami PHK karena sensitif.
“Selama tahun fiskal 2018-2019 kami sudah dan mulai mengurangi pekerja di 8 lokasi, sebanyak 6.400 orang lebih dan 6 lokasi mulai tahun fiskal 2020 sampai 2022 sebanyak 6.100 orang, jadi totalnya 12.500 pekerja,” ujarnya.
PHK di Industri Ritel
Tak berhenti sampai di situ, PT Hero Supermarket Tbk (HERO) memutuskan melakukan penutupan 26 gerai dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 532 orang karyawan.
Selain efisiensi, General Manager Corporate Affairs PT Hero Supermarket Tbk Tony Mampuk juga menjelaskan beberapa hal yang mendorong keputusan perseroan. Mulai dari kerugian operasional, hadirnya belanja online hingga tantangan regulasi yang harus dipenuhi.
Publik kemudian kembali mengingat momen saat ramai-ramai perusahaan ritel menutup gerainya pada 2016 hingga 2017. Dimulai dari Seven Eleven, WTC Mangga Dua yang sepi ditinggal pedagang, hingga Matahari sampai Debenhams yang menutup gerai mereka di Jakarta.
Said Iqbal, Presiden KSPI kepada CNN Indonesia menuturkan jumlah PHK pada 2015 lalu sebanyak 50 ribu orang. Kemudian, karyawan yang dirumahkan pada 2016-2017 jumlahnya diklaim mencapai 100 ribu dan 2018 pun ribuan.
Beberapa perusahaan yang memutuskan hubungan kerja kepada karyawannya, kata Said, misalnya PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk, dan PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk. Ia menilai produk semen dan baja Indonesia kalah bersaing dengan produk asal China, sehingga terjadi penutupan beberapa pabrik.
“Krakatau Steel di Cilegon banyak melakukan PHK terhadap karyawan kontrak karena masuknya pabrik baja China, industri baja di Indonesia kalah karena harga baja China lebih murah,” tutur Said.
Namun, manajemen dari Krakatau Steel, Holcim Indonesia, dan Indocement Tunggal Prakasa kompak membantah pernyataan dari KSPI. Masing-masing pihak menyebut tidak ada penutupan pabrik dan PHK yang mereka lakukan.
Tapi menurut Said, data Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan sepanjang tahun 2018, hanya ada 3.362.
Perbankan pun Alami PHK
Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan) menyebut sudah ada 50.000 karyawan bank yang kena PHK atau Pemutusan Hubungan Kerja. Pasalnya, berkembangnya teknologi menjadi penyebab manusia kini digantikan oleh mesin.
Narahubung dari Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan Abdoel Mujib mengatakan gelombang PHK sudah terjadi sejak 2016.
“Sudah sejak 2016 PHK terjadi, sampai saat ini atau akhir 2018 kemarin mungkin sudah 50.000 lebih,” ungkap Abdoel Januari lalu.
Dijelaskan Abdoel, semata-mata PHK terjadi karena efisiensi yang dilakukan perbankan yang mulai melek digital. Beberapa lini bisnis perbankan sudah tak lagi membutuhkan manusia untuk bekerja.
“Misalnya di bagian divisi penjualan atau sales itu ter-reduce (berkurang) hingga 80%. Kemudian, divisi pelayanan di mana teller-teller sudah ditinggalkan nasabah sehingga bank kurangi jumlahnya,” ungkapnya.
Hal ini juga terlihat dari banyaknya ATM khusus setoran atau Deposit Cash Machine. Menurut Abdoel, hampir separuh teller dan customer service yang paling terdampak. (Sumber: kaskus)