Saya kemarin iseng melemparkan kemungkinan 3 periode. Eh, ternyata ada yang memang serius menggarap isu ini. Dan tidak main-main, para pembicaranya adalah “pemain” semua.
Perbincangan ini kelihatan berimbang. Ada yang pro dan kontra. Sehingga tampak obyektif.
Obyektif?
Ya nanti dulu. Seperti polling atau survey misalnya. Dia bisa dipakai mengukur ‘mood’ para pemilih. Kita tahu siapa yang disukai para pemilih.
Namun disisi yang lain, polling atau survey juga bisa dipakai untuk membentuk pandangan pemilih. Orang yang belajar politik elektoral biasanya paham bahwa sebagian pemilih (kalau tidak sebagian besar) adalah pemilih yang tidak ideologis.
Pemilih jenis ini jumlahnya kalaupun tidak besar akan sangat signifikan untuk menentukan kemenangan. Pemilih non-ideologis ini biasanya memilih berdasarkan pengetahuan tentang siapa yang punya kans untuk menang paling besar. Psikologis ikut yang menang inilah yang menentukan dalam pemilihan.
Pemilih non-ideologis inilah yang biasanya disasar oleh polling atau survey. Sehingga ketika melihat calon yang peluang menangnya besar, mereka akan segera lari kesana.
Nah, seminar macam ini memang tampak obyektif. Namun persis seperti polling atau survey, ia punya fungsi lain, yakni membentuk narasi. Ia menciptakan agenda pembicaraan. Ia melempar ide dan melihat reaksi masyarakat.
Ini adalah fase awal pembentukan narasi. Fase kedua biasanya akan diikuti mobilisasi. Tidak terlalu heran jika setelah pembentukan opini ini berhasil maka akan diikuti dengan periode “mobilisasi.”
Akan bermunculan organisasi-organisasi yang menyatakan “kebulatan tekad” untuk mendukung ide ini. Mereka yang besar pada jaman Orde Baru pasti akan ingat betul istilah ini.
Juga, proses kebulatan tekad ini akan diusahakan tampak seperti suara arus bawah (lagi-lagi, ini istilah jaman Orba!).
Nah, mulai sekarang kita harus bicara soal tiga periode, bukan? Memang itulah tujuannya.
Penulis adalah Wartawan Senior
(ANFPP010321)