Oleh: Ida Fauziyah

SBSINews – Jangankan mengubah orang lain, apalagi masyarakat dan negara agar menjadi lebih baik, mengubah diri sendiri saja bagi kita bukanlah perkara mudah. Berapa banyak orang yang bertekad hendak diet sampai berulang kali menulis resolusi awal tahun di dinding rumahnya, namun berat badannya makin lama justru semakin bertambah.

Tak sedikit pula pemuda yang bercita-cita merintis bisnis, tetapi langkahnya berhenti di tahap perencanaan, atau berputar haluan usai mengalami kegagalan yang pertama. Begitu juga mereka yang antusias mencanangkan program rutin olahraga demi menjaga kebugaran tubuh, yang acapkali kehilangan semangat di hari kedua atau ketiga.

Dalam urusan keluarga pun cenderung sama. Tak jarang polemik yang memanas timbul lantaran serpihan-serpihan masalah kecil yang mulanya dipicu oleh pencederaan komitmen yang telah dibuat sebelumnya, alias terulangnya kembali kesalahan yang sama, meski janji untuk berubah sudah lebih dari satu kali diucapkan.

Bagaimana dengan hal ihwal ibadah? Kayaknya tak jauh berbeda. Optimisme yang besar untuk mampu mengerjakan qiyamul lail atau qira’atul Qur’an secara ajeg, misalnya, perlahan-lahan kerap mengecil seiring bergantinya hari karena berbagai alasan dan sebab, hingga kemudian menjelma menjadi aktivitas ‘dadakan’ yang bersifat insidentil belaka.

Memang bukanlah hal tercela kalau kita ingin berubah lebih baik, namun ternyata belum bisa konsisten. Bertekad memperbaiki diri terus-menerus, tetapi pada praktiknya berkali-kali mandek di tengah jalan karena kehabisan motivasi atau pun terdesak oleh kepentingan lain yang sukar dihindari.

Hanya saja, demi keberhasilan perubahan diri sebagaimana yang diharapkan, kita mesti membangun kebiasaan baru. Karena perubahan sebenarnya terkait erat dengan bergesernya kebiasaan. Rutinitas yang sama nyaris tidak menghasilkan output yang berbeda.

Jika kita sehari-hari terbiasa bertopang dagu, malas belajar, dan enggan berusaha keras maka bisa diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan pun nasib kita tak bakal banyak berubah. Kalau kita gemar mengeluh serta menyalahkan orang lain tanpa mau mengubah sikap dan pola pikir pribadi, sampai kapan pun transformasi diri tak akan pernah terjadi.

Lalu bagaimana supaya kebiasan baru terasa lebih mudah diciptakan? Pertama, target dibikin spesifik agar ukuran pencapaiannya lebih jelas. Kedua, memilih perubahan aktivitas yang ringan dan sederhana sehingga tidak malas untuk memulainya. Ketiga, menciptakan pemicu yang menyulitkan kita mengelak dari keharusan untuk berubah.

Setidaknya, tiga hal itulah yang disarankan oleh Brian J Fogg, Direktur Persuasive Technology Lab, Stanford University. Selain itu, kesabaran dan ketekunan merupakan faktor penting pula yang perlu diingat tatkala kita ingin melakukan perubahan. Ada yang cuma butuh waktu seminggu atau sebulan untuk berubah, tapi ada pula yang menghabiskan hitungan tahun, bahkan satu dasawarsa lebih untuk berhasil mencapai perubahan yang dikehendaki.

Untuk mendisplinkan diri saja, umpamanya, bisa jadi waktu setahun masih belum cukup menjadikan kita berubah sebagai individu yang betul-betul menghargai waktu dan taat asas, yang merupakan tanda utama kedisiplinan seseorang. Untuk berubah menjadi sosok yang selalu setia terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan, misalnya, latihan selama satu hingga dua dekade pun belum pasti menjamin keberhasilan perubahan yang diharapkan.

Tetapi jika suatu saat kita, entah sesulit dan seberat apa pun prosesnya, pada akhirnya dapat berubah menjadi lebih baik, maka orang-orang di sekeliling kita pun akan cenderung dapat merasakan vibrasi positif tersebut, sehingga berpotensi ‘ketularan’ menjadi lebih baik pula.

Jadi, kalau kita menginginkan adanya perubahan pada diri orang lain, atau keluarga kita, atau bahkan masyarakat kita, maka diri kita sendirilah yang pertama kali harus berubah lebih baik, sebagaimana anjuran Rasulullah SAW, “Ibda’ binafsik, tsumma man ta’ulu.” Mulailah dari dirimu sendiri, lalu orang-orang di sekitarmu.

Adalah aneh apabila kita suka berteriak menuntut keadilan, demokrasi, dan beragam perubahan positif lainnya, tapi di saat yang sama diri kita sendiri justru masih senang berkubang dalam sikap kesewenang-wenangan, keculasan, serta mau menang sendiri, tanpa kesadaran untuk bersedia berubah, seperti sindiran yang dilontarkan oleh Leo Tolstoy, sastrawan kenamaan asal Rusia: “Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself.” Setiap orang berpikir untuk mengubah dunia, namun tak ada seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.

Penulis adalah Ketua LKK PBNU, saat ini menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan RI.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here