Catatan Siang
Oleh: Timboel Siregar
SBSINews – Baru saja Bang Johnly Poerba menginformasikan kabar meninggalnya Prof. DR. Arief Budiman, Kamis (23/04). Sedih mendengarnya. Saya coba mengingat kembali ketika bekerja di Yayasan Bina Darma, Salatiga (bentukan UKSW dan PP GMKI) selama setahun (1994 – 1995), pada awal bekerja di sana saya diajak Bang Johnly main ke UKSW dan diperkenalkan dengan beberapa akademisi di sana termasuk Pak Arief. Kesan pertama terhadap Beliau adalah Pak Arief orangnya sederhana dan senang berdiskusi.
Beberapa hari setelah berkenalan, ketika saya lagi makan di Kemiri, Pak Arief lewat mengendarai Vespanya. Saya spontan panggil Beliau, Pak Arief…. Beliau berhenti dan menyapa juga heii Timboel dengan melambaikan tangan. Setelah itu, Beliau langsung melanjutkan perjalannya menuju UKWS.
Pak Arief dan Bu Leila orangnya baik. Mereka sederhana dan ramah. Rumah Pak Arief dekat dengan Kampus Bina Darma di Desa Bugel Salatiga. Kebetulan saya tinggal di Kampus Bina Darma sehingga dekat bila main ke Rumah Pak Arief. Rumah Pak Arief sangat bagus dan artistik. Arsitekturnya adalah Romo Mangun. Kalau ada yang datang maka soang-soang peliharaan Pak Arief bersuara, menandakan ada yang datang, dan keluarga Pak Arief tahu kalau ada tamu yang datang.
Ketika Pak Arief mau mantu, saya diminta jadi panitia perkawinan Mas Adrian (anak pertama Pak Arief), yang acara pernikahannya diadakan di Kampus Bina Darma. Dekorasi tempat pernikahannya sangat sederhana namun bagus. Kami meminjam bangku sekolah anak SD sebagai kursi bagi tamu-tamu yang datang. Tamu undangan pada saat itu adalah tokoh-tokoh kritis Orde Baru.
Waktu itu saya mempersilahkan Romo Mangun naik mobil jemputan untuk sampai ke Kampus Bina Darma, mengingat letak Kampus Bina Darma ditempuh dengan menanjak. Romo Mangun menolak naik mobil dan memilih jalan kaki ikut menanjak bersama dengan yang lainnya.
Bekerja di Bina Darma selama setahun adalah momentum untuk pertama kali mengenal dunia pergerakan. Tokoh-tokoh kritis banyak di UKSW, selain Pak Arief, ada Pak Liek Wilarjo, Almarhum George Junus Aditjondro (GJA), Ariel Heryanto, Almarhun TH Soemartana, Chris Timotius, dsb. Berkenalan juga dengan sahabat-sahabat Pak Arief seperti Bang Johny Nelson Simanjuntak, Setiawan, Poengky Indarti, dan teman-teman Yayasan Geni seperti Bung Otto, Faby Tumiwa, Danang ICW, dsb. Bergaul dengan teman-teman Geni menambah wawasan sosial saya. Pak Arief, Pak GJA, Pak Ariel, dsb aktif ikut berdiskusi di Yayasan Geni membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap Orde Baru. Sampai pernah Yayasan Geni mengundang Oei Tjoe Tat, sahabat dan loyalis Bung Karno, namun dibubarin oleh Korem Makutarama Salatiga. Kantor Yayasan Geni beberapa kali digrebek dan dilempari kotoran manusia karena terus mengkritisi Orde Baru.
Pada akhirnya konflik UKSW tahun 1995 yang memisahkan saya dengan pergaulan di Salatiga. Memilih mendukung perjuangan Pak Arief dkk di UKSW merupakan pilihan tepat saya, walaupun akhirnya saya harus diputus hubungan kerja dengan Yayasan Bina Darma.
Ketika Pak Arief mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award, Bang Johny Simanjuntak mengajak saya. Saya bertemu Kembali dengan Pak Arief. Pribadi yang tetap konsisten dalam perjuangannya.
Selamat jalan Pak Arief, saya bersedih tapi saya bahagia melihat Pak Arief konsisiten dalam hidup dan berjuang terus untuk rakyat. Senang pernah bergaul dengan Pak Arief dan keluarga.
Pinang Ranti, 23 April 2020
Tabik
Timboel Siregar, BPJS Watch