SBSINews – Korps Pegawai Republik Indonesia memprediksikan pemerintah akan ‘memperbaikinya’ birokrasi dari para koruptor secara besar-besaran menyetujui legitimasi Mahkamah Konstitusi terhadap norma pemberhentian yang tidak sesuai dengan harapan pegawai negeri sipil yang melakukan perjanjian penggantian.
Melalui Putusan MK No. 87 / PUU-XVI / 2018, MK menyetujui pemberhentian tidak dengan menghargai pegawai negeri sipil (PNS) karena dipidana melakukan pembicaraan tentang pertanggungjawaban atau pertikaian yang ada dengan perjanjian konstitusi.
Klausul ini tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
SKB Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men-PANRB), dan Kepala Badan Kepegawaian Negara yang meminta penegakan hukum untuk PNS yang melakukan tindakan mencari tahu apakah perlu meminta bantuan.
Beleid yang diterbitkan pada 13 September 2018 itu mencantumkan permintaan kepada pejabat pembina untuk memberhentikan para PNS paling lambat pada Desember 2018.
Menyusul SKB tersebut, Men-PANRBerbitkan Surat Edaran No. 20/2018 tentang pelaksanaan Pemberhentian Aparatur Sipil Negara yang Terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi.
Koordinator Litigasi Hukum Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Provinsi Bengkulu Rofiq Sumantri menjelaskan bahwa SKB dan SE Men-PANRB telah menjadi payung hukum pemberhentian tidak sesuai dengan 700 PNS yang terkait. 2019, sekitar 1.200 PNS memperbaiki nasib serupa.
“Dengan adanya putusan MK, akan terjadi lagi pemberhentian secara besar-besaran. Total PNS yang vonisnya sudah berkekuatan hukum tetap itu 7.000 orang, ”katanya sidang pembacaan putusan ujian ASN di Jakarta, Kamis (25/4/2019).
Kendati menerima putusan MK, Rofiq mengaku kecewa karena norma pemecatan PNS yang melakukan kejahatan kepemilikan masih eksis. Menurutnya, pemohon gugatan hanya meminta keadilan dari pendampingan pemberhentian yang sudah ada di depan mata.
Rofiq mengatakan, PNS harus mendapatkan bantuan yang mirip dengan anggota TNI / Polri yang meminta hukuman tambahan atas hukuman penjara. Namun, UU ASN mengizinkan PNS diberhentikan hanya sebagai hukuman administrasi atau di luar pengadilan.
“Kan sudah menebus kesalahan, dibatalkan hukuman dan denda. Ini kemudian malah diberhentikan, ”katanya.
Di samping itu, Rofiq menambahkan sekitar 30% dari 7.000 PNS ditambah dengan delik korupsi dan delik ikut serta dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sehingga tidak termasuk kategori yang sesuai dengan prioritas. Dia mengklaim, kesalahan mereka lebih menentang administrasi, bukan hukuman.
“Kalau begini, bisa ada tambahan PNS lakukan tugas tambahan. Berarti kami ada masalah kedinasan, ”tuturnya.
Rofiq merupakan pendamping dari pemohon Perkara No. 91 / PUU-XVI / 2018 yang seperti pemohon Perkara No. 87 / PUU-XVI / 2018 meminta pembatalan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN. Terhadap gugatan itu, MK tidak melihat ada persyaratan konstitusionalitas dalam pengaturan pemberhentian PNS yang dipidana karena jabatan.
Pasal 87 ayat (4) huruf b dipertimbangkan kontradiktif dengan Pasal 87 ayat (2) yang mencantumkan PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena pengadilan hukum tetap karena melakukan hukuman penjara minimal 2 tahun dan hukuman penjara yang dilakukan tidak direncanakan.
MK lantas mengeluarkan frasa ‘dan / atau pidana umum’ dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN. Meski demikian, dasar hukum pemberhentian PNS koruptor tetap eksis.
Di tempat yang sama, Kepala Subbagian Advokasi Hukum Kementerian PAN-RB Setiawati menolak memberikan komentar atas putusan MK tersebut. (kabar24.com)