Oléh: Dr. Bambang Noorsena
1. PRAWACANA
Salam nasional ini sekarang sangat jarang kita dengar dalam interaksi sosial kita sehari-hari, bahkan dalam acara-acara resmi kenegaraan sekalipun. Pekik salam nasional “MERDÉKA” ini, sekarang malah diidéntikkan dengan salam partai-partai-politik nasionalis tertentu, khususnya PDI Perjuangan.
Bagaimana asal-usul pekik salam nasional kita “MERDÉKA”?
Apakah makna filosofis yang terkandung di dalamnya?
Mengapa salam nasional itu sejak zaman Orde Baru tidak populér lagi?
Dengan memahami asal-usul, kedudukan yuridis, dan makna filosofis dari salam itu, kita akan memahami relevansinya dalam kehidupan kebangsaan kita.
2. KEDUDUKAN YURIDIS DAN RELEVANSINYA
Pada zaman revolusi kemerdékaan, pekik salam “MERDÉKA” seolah-olah memiliki makna magis religius yang telah membakar semangat para patriot Indonesia, sehingga bangsa kita berhasil mencapai kemerdékaan pada 17 Agustus 1945.
“MERDÉKA” bukan sekedar salam biasa, sebab sejak awal kemerdékaan pekik salam perjuangan ini telah ditetapkan sebagai salam nasional, sesuai dengan Putusan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tanggal 31 Agustus 1945, dan secara resmi mulai berlaku sejak 1 Septémber 1945.
Dengan demikian, sampai saat ini secara yuridis, “MERDÉKA” adalah salam resmi nasional kita, karena maklumat
Pemerintah Republik Indonesia ini tidak pernah dicabut, sehingga berlaku sampai sekarang. Bung Karno lah yang mempopulérkan salam nasional itu. Ketika menyampaikan kabar kemerdékaan Indonesia, Bung Karno selalu mengajarkan pekik perjuangan nasional kita.
Begitu juga, semboyan “Sekali merdéka tetap merdéka!” dan “Merdéka atau mati”, menjadi ungkapan umum para pejuang untuk menunjukkan tékad bulat seluruh komponén bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdékaan kita.
Di balik ungkapan “Merdéka atau mati”, mengalirlah gelora jiwa setiap anak-anak bangsa untuk berjuang tanpa kompromi melawan penjajah. Pilihannya hanya satu: MERDÉKA, atau kalau tidak nyawa taruhannya.
“Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia”, kata Bung Karno, “warga Republik Indonesia berjumpa dengan warga Republik Indonesia, péndék kata orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia selalu memekikkan pekik “Merdéka”.
Jangankan di surga, di neraka pun “Merdéka, Merdéka, Merdéka!”.
Apakah makna filosofis yang terkandung dalam pekik salam “MERDÉKA” tersebut?
“Pekik MERDÉKA, saudara-saudara, aaldalah pekik pengikat”, kata Bung Karno dalam pidatonya di Surabaya, 4 Septémber 1955.
“Bukan saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialisme, dengan tiada ikatan penjajahan sedikitpun. Oléh karena itu, saudara-saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini, fase revolusi nasional belum selesai, jangan lupa kepada pekik MERDÉKA!
Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah “MERDÉKA!”.
Lebih lanjut, dalam autobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Sang Penggali Pancasila itu menjelaskan seputar penetapan salam nasional tersebut. “Sebagaimana Nabi Besar Muhammad SAW, memperkenalkan salam untuk mempersatukan umatnya”, kata Bung Karno, “kami pun menciptakan satu salam kebangsaan bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal, 1 September 1945 aku menetapkan supaya setiap warga negara Republik Indonesia memberi salam kepada orang lain dengan mengangkat tangan, membuka lebar kelima jarinya sebagai pencerminan lima dasar negara dan meneriakkan Merdeka!” (Cindy Adams, 2018:273).
Apakah tidak cukup dengan salam islami “Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh?” (Semoga sejahtera, rahmat dan berkah Allah atas kalian semua).
Paripurna maknanya dan universal cakupannya, bukan? Tetapi terlepas dari aplikasi teologisnya menurut Islam, bukankah ungkapan “Assalamu ‘alaikum” itu maknanya sama persis dengan ungkapan bahasa Ibrani “Shalom alaikhem”, Atau bahasa Aramaik “Shlama lekhon”? Karena maknanya yang universal, saya yakin umat non-Muslim pun tidak ragu-ragu untuk mengucapkan “Assalamu ‘alaikum”.
Masalahnya, apakah semua umat Islam mau menjawab salam non-Muslim? Apa tidak haram hukumnya? Alih-alih bukan membawa damai ketika salam damai itu diucapkan, tetapi justru menciptakan dan membangun tembok pemisah.
Sikap téologis éksklusif ini tentu tidak mewakili seluruh umat Islam. Bung Karno buktinya,
“Islam is the religion of salam”.
Karena itu, salam Bung Karno tak sebatas untuk sesama Muslim, tetapi juga untuk Cindy Adams yang Kristen. “Assalamu ‘alaikum, Mrs. Cindy Adams”, wejang Bung Karno pada peringatan Nuzulul Qur’an di Jakarta, 1 Februari 1964.
Tetapi kalau ada orang Muslim yang tidak mau mengucapkan atau menjawab salam non-Muslim, “Ma fish musykilah”. “No problem”.
Tidak usah debat téologis untuk itu. Namun justru di sini relevansi salam yang diajarkan Bung Karno itu kita sadari. So, semua kita pasti sepakat bahwa yang diperlukan bahasa yang melintas batas, menyapa semua tanpa sekat, lebih menghentak, dan menggelorakan jiwa. Dan yang penting lagi, salam yang menyatukan semua, di mana setiap sudi mengucapkan dan ikhlas menjawab salam itu, menyapa yang lain sebagai saudara, apapun agama, suku, warna kulit, budaya, adat istiadat, bahasa daerah, dan perbedaan primordial lainnya.
Lebih-lebih semua anak-anak bangsa yang menempati tanah air yang sama selama berabad-abad, melengkapi definisi bangsa yang menurut Ernest Renan dan Otto Bauer, “ada kehendak untuk bersatu” (le desir d’etre ensemble), dan “ada persamaan perangai yang timbul karena persamaan nasib” (eine aus schiksalsgemeinscaft erwachhsene charaktergemeobschaft). Bukanlah ketiga faktor ini yang menjadi “modal dasar kebangsaan kita”, yang telah membuahkan kemerdékaan bagi semua? Dan itu semua diwakili oleh salam nasional kita “MERDÉKA!”, Merdeka!”, Merdeka!”.
3. MENGURAI MAKNA “MERDÉKA”
Kata “MERDÉKA” merupakan kata serapan dari bahasa Jawa kuno “maharddikha” yang secara harfiah bermakna “berkualitas, istiméwa, luar biasa, khas, unggul, sempurna, bijaksana, berbudi luhur, suci” _(Zoetmulder, 1997:632-633)_.
Bagamaina seseorang mencapai kualitas istiméwa, bijaksana dan suci?
Karena meréka telah mengalami kebebasan jiwa dari segala nafsu duniawi. Dalam makna ini “maharddhika” berarti telah mengalami kesempurnaan, karena itu seorang yang mati dalam kebenaran disebut oleh Mpu Tantular dalam Kekawin Arjunawijaya 54:4 “sighra mulihen maharddhikhapada” (kembali ke alam kemerdékaan yang sempurna).
Perlu dicatat pula, kata bahasa Jawa kuno “maharddikha” ini dijumpai dalam beragam pustaka kuno, bisa dilacak mulai abad X M, seperti yang dijumpai dalam Wirataparwa, Udogyaparwa, Ramayana, hingga karya-karya kekawin dari masa Kediri dan Majapahit, seperti Arjunawijaya, Sutasoma, Nitisastra dan Nagara Kertagama.
“Maharddhika” dalam makna bebas dari ikatan duniawi ini, misalnya disebutkan dalam Kekawin Nitisastra III,4, karya Dang Hyang Nirartha, cucu Mpu Tantular, yang berbunyi:
“Suwastra maka bhusané ulakulina minukya sira teka ri madhyaning sabha
Susastra maka bhusana ksama mahangresepi manahi sang maharddikha”.
Artinya: “Dengan pakaian yang bagus, orang terlihat gagah dalam pergaulan dan dianggap terkemuka. Tetapi bagi seorang yang maharddikha hanya pengajaran yang cerdas dan suka mengampuni itu yang menyenangkan hatinya” (Miswanto, 2015:165-166).
Lebih lanjut, Kekawin Nitisastra IV, 19 juga menekankan:
“Lwirning mandadi madaning jana sarupa dhana kalakulina yowana. Lawan tang sura lén kasuran, agawé weréh i manahikang sarat kabéh. Yan wwanten sira sang dhaneswara, surupa guna dana kulina yowana. Yan tan wada, maharddhika pangaranya sira putusi sang pinandita”.
Artinya: “Hal-hal yang menjadikan orang mabuk adalah keindahan, kekayaan, kebangsawanan dan usia muda. Juga minuman keras dan keberanian, bisa membuat hati menjadi mabuk. Jika ada orang kaya, élok wajahnya, pandai, banyak harta benda, bangsawan dan muda usia, tetapi karena semua itu ia tidak mabuk dibuatnya, maka orang itu dinamakan maharddikha, dan ia termasuk berjiwa pendeta” (Miswanto, 2015: 225-226).
Jadi, “maharddikha” dalam arti telah bebas dari segala ikatan inilah yang menjadi akar kata MERDÉKA dalam bahasa Melayu (dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia) yang juga bermakna bebas, baik dalam makna fisik, jiwa, maupun dalam makna politik, yang disebut Bung Karno sebagai “politiek onafhankelijkheid”.
Pada awal kemerdékaan, Bung Karno mengumpamakan kemerdékaan politik itu baru jembatan emas menuju pencapaian cita-cita yang sempurna. Konsép kemerdékaan ini akhirnya oléh Bung Karno ditekankan pada ajaran Trisakti, yaitu berdaulat di bidang politik, berbicara di bidang ékonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
MERDÉKA adalah kebébasan sejati yang didahului bangunnya jiwa, yang kemudian menggerakkan badan kita, dan bangun untuk mengabdi bagi Indonesia raya.
Karena itu, bukan kebetulan kalau refrain lagu kebangsaan kita menempatkan bangunlah jiwanya, sebelum bangunlah badannya: “Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Indonesia raya merdéka, merdéka…”
Pekik salam nasional “MERDÉKA!” bukan hanya harapan pasif atau doa sejahtera bagi semua, tetapi pembulatan tékad dan penggeloraan jiwa dalam diri setiap anak-anak bangsa untuk bersama-sama membébaskan diri dari hal-hal duniawi, agar kita bisa lebih tulus mengabdi bagi tanah air, bangsa dan negara. Berbareng dengan itu, bagi Bung Karno memekikkan “MERDÉKA” sambil mengangkat tangan dengan membuka lébar lima jari kita adalah éksprési dari getaran jiwa untuk setia dan bertékad bulat melaksanakan Pancasila.
Dengan mengajarkan salam itu penuh semangat dan menghébat-hébatkannya, Bung Karno telah mengulang wejangan leluhur bangsanya. Seolah-olah “in the world of the mind” dalam dialog spiritualnya dengan para leluhur bangsanya itu, Bung Karno dituntut kembali untuk mengulang pesan Mpu Tantular (1379 M): “Pancasila ya gégen dén teki hawya lupa!” (Pancasila harus dipegang teguh, jangan sampai dilupakan). Pesan yang sama disampaikan juga oléh Mpu Prapanca (1365 M), bagi setiap pemimpin bangsa supaya “Yatnagegwan i Pancasila” (waspada dan teguh memegang ajaran Pancasila).
4. WUSANA KATA
Pasca kejatuhan PrésidénSoekarno tahun 1967 dan berkuasanya rezim Orde Baru, salam nasional ini tidak pernah diucapkan lagi, laksana “hilang ditelan bumi”. Hilangnya salam kebangsaan ini tidak terlepas dari upaya Suharto melakukan Desukarnoisasi, yang menyebabkan segala hal yang berbau Soekarno harus ditutup-tutupi, dilupakan atau kalau mungkin dihilangkan sama sekali. Akibatnya, generasi muda kita tidak tahu bahwa dari zaman revolusi kemerdékaan sampai sekarang, salam nasional kita adalah “MERDÉKA”.
Pekik salam nasional ini bukan milik partai politik tertentu, tetapi milik semua anak-anak bangsa. Padahal maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 mengenai salam nasional ini tidak pernah dicabut, karena itu secara yuridis tetap berlaku.
Sudah saatnya salam nasional “MERDÉKA” kita pekikkan kembali untuk menggelorakan jiwa kita, menggelegarkan semangat kita dan menggegap gempitakan tékad setiap anak-anak bangsa untuk mewujudkan cita-cita jiwa maharddhika (das sollen) menjadi realita maharddhika (das sein).
Terutama di tengah-tengah sempit, pengap dan kering kerontangnya ideologi trans-nasional yang penuh caci maki, ukuran kebencian dan politisasi agama menjadi komoditas politik sesaat yang akan menggerus nilai-nilai kebersamaan, toleransi dan sikap respék terhadap perbédaan, maka jiwa maharddikha ini harus kita takhtakan kembali dalam keagungan singgasananya hati nurani kita.
Sudah saatnya setiap anak-anak negeri ini memperbarui komitmennya terhadap Pancasila, dan bertékad memerdékakan jiwa kita dari ideologi-ideologi lain yang mengajak kita berpaling dari Pancasila, karena bertentangan dengan kepribadian kita. “Kemerdékaan hanya diperdapat dan dimiliki oléh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tékad merdéka, merdéka atau mati”, pesan Bung Karno mengakhiri pidatonya bersejarah yang berjudul Lahirnya Pancasila, pada tanggal 1 Juni 1945.
Catatan:
ISCS, URL: www.bambangnoorsena.com