Coto Makassar hadir ketika Islam masuk pertama kali di Sulawesi Selatan pada 1500 masehi lalu.Tepatnya di sebuah daerah di antara perbatasan Kabupaten Takalar dan Gowa di Sulsel.Di sana terdapat kerajaan kecil yang bernama Bajeng.
Di kerajaan itu ada seorang juru masak yang sering dipanggil Toak yang sangat suka berkreasi dengan berbagai jenis masakan. Kala itu, belum ada daging sapi, hanya terdapat daging Kerbau. Jadi setiap harinya raja-raja diberi sajian daging tersebut. Karena yang diambil hanya dagingnya, maka seluruh isi perutnya dibuang.
Toak yang merupakan koki handal kerajaan merasa sayang setiap melihat bagian dalam hewan itu dibuang percuma. Sedangkan masyarakat di luar kerajaan tidak pernah merasakan nikmatnya daging. “Pasti aku bisa menjadikannya sesuatu yang enak dengan bagian dalam perut ini (Jeroan, Red). Jadi masyarakat bisa merasakan nikmatnya daging,”(gumamnya seorang diri).
Kala itu, Toak memiliki kekerabatan yang baik dengan pedagang rempah-rempah dari Tiongkok, Persia, dan beberapa negara lainnya.Maka tak heran jika dia memiliki beragam ramuan bumbu dapur, baik rempah dari Indonesia maupun negara-negara lain.
Akhirnya dengan segala keahliannya, dia mulai membersihkan jeroan itu. Mengukus dan meracik bumbunya. Namun anehnya dia tidak menggunakan santan sebagai campuran kuah. Tetapi air beras dan diberi kacang. Akhirnya hidangan yang kita sebut Coto Makassar tersebut jadi dan dibagikannya kepada warga miskin di sekitar kerajaan.
Bahkan Toak juga menyajikan kepada rekan-rekannya dari negara lain yang kebetulan ada di kawasan itu. Mereka menyebut, kuliner yang diciptakan Toak sangat nikmat. Hingga akhirnya dia pun percaya diri untuk menyuguhkan hidangan tersebut kepada sang raja.
Singkat cerita sampailah makanan itu ke lidah raja. Dan ternyata disukai, bahkan menjadi makanan favorit raja-raja di kerajaan itu.
Bahkan kala itu, Coto Makassar menjadi makanan yang meledak di pasaran karena rasanya yang nikmat.
Sebelum Coto Makassar melejit, Toak pernah mencoba mengganti daging kerbau ke daging kambing. Tapi tidak bisa. Aroma khas daging kerbau tak bisa tergantikan.
“Dari situlah asal muasal Coto Makassar. Bahkan saat itu, makanan ini hanyalah makanan rakyat jelata. Karena bahan dasarnya dari jeroan, jadi makanan ini tergolong junk food dan masuk kategori soto-sotoan,” Memasaknya pun harus menggunakan wadah kuali dari tanah liat di atas perapian yang tepat. “Membuat bumbunya pun harus bersih.
Tempat membuat bumbu tidak boleh dicampur. Dan selamanya, Coto Makassar selalu di masak di depan rumah. Tidak bisa di belakang karena rasanya akan berbeda,” jelasnya.
Tidak sampai di situ, keunikan lainnya adalah Coto Makassar tidak mau dimadu. Dalam artian, menjual makanan ini tidak bisa bersama dengan soto lainnya. Misal Sop Konro, Soto Banjar, dan semua jenis soto dan sop-sopan lainnya. Karena jika itu dilanggar, rasanya akan jauh berbeda.
Bahkan untuk menikmatinya pun ada aturannya. Coto Makassar bukanlah makanan untuk sarapan maupun makan siang, apalagi malam. Karena makanan ini merupakan makanan perantara. Sehingga makanan ini paling nikmat disantap pada pukul 09.00 Pagi hingga 11.00 siang.
Porsinya pun tidak boleh banyak. Jadi mangkuknya harus kecil dan sendoknya harus sendok bebek.
Karena makanan ini memiliki unsur makanan China (Tiongkok) di dalamnya. Karena perpaduan rempah dari beberapa negara tadi itu.
“Itulah sejarah Coto Makassar”
Makan coto yuk..
Penyuka Coto Makassar
Andi Naja FP Paraga