SBSINews – Sejumlah aksi kelompok buruh menentang wacana revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan digelar di beberapa daerah sepanjang tiga pekan terakhir. Kelompok buruh mensinyalir terdapat perubahan sejumlah pasal yang justru merugikan buruh dan pekerja.
Menurut catatan Ketua Departemen Hukum dan Advokasi Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Nelson Saragih, untuk sementara ini saja ia menemukan sedikitnya 50 pasal yang mengancam kesejahteraan kelompok buruh.
“Itu terus berkembang, tergantung tingkat pemahaman kita membedah poin tersebut. Kalau aku bilang sekarang sudah 50-an lebih, dan kemungkinan bertambah,” kata Nelson.
“Karena kan begini, mula-mula kita membaca, belum tertangkap. Tapi kan begitu kita pelajari, kita analisis, lalu apa yang mungkin akan muncul di lapangan, bagaimana sikap dan penafsiran orang. Nah itu jadi banyak,” tambah dia.
Seluruh perubahan itu penting untuk dikawal. Tapi tiga hal yang paling utama antara lain mengenai perubahan hubungan kerja, pengupahan, dan ide pengurangan pesangon serta peraturan pemutusan hubungan kerja.
Nelson mencontohkan misalnya tentang hubungan kerja, di mana ada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Kata Nelson, dalam perjanjian kontrak ada syarat-syarat kenapa sebuah pekerja tidak bisa dikontrak, misalnya untuk jenis pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, kemudian tidak boleh lebih dari 2 tahun dan bisa diperpanjang 1 tahun.
“Ini kan ada batasan-batasannya ya, nah di dalam revisi itu tidak ada lagi,” papar Nelson.
Perombakan pada status hubungan pekerjaan itu jadi penting lantaran bisa berdampak pada pengupahan, jaminan sosial hingga perlindungan keselamatan pekerja.
Nelson mencium indikasi bahwa pemerintah bakal menghapuskan upah minimum karena dianggap membuat seret masuknya investor industri padat karya.
“Kalau dikatakan untuk padat karya upahnya boleh di bawah upah minimum, itu artinya dengan sengaja, dengan sadar negara membolehkan warga negaranya masuk ke lembah kemiskinan,” kata dia.
Menurutnya diagnosa pemerintah keliru. Sebab berdasarkan analisis Bank Dunia, Nelson menyebut keengganan investor masuk ke Indonesia dipengaruhi oleh angka korupsi, birokrasi yang masih berbelit dan pengenaan pajak yang tumpang tindih. Sedangkan faktor buruh ada pada urutan di bawah itu.
Sementara berdasar dokumen yang beredar, pasal penetapan upah minimum ini salah satu pasal yang diubah. Dalam berkas berjudul Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Ketenagakerjaan 2018 itu ditulis alasan perubahan lantaran rumusan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dalam Undang-Undang dinilai tak sesuai dengan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
“Terdapat tumpang tindih aturan mengenai penetapan upah minimum, Pendapatan Domestik Bruto dan inflasi sifatnya nasional, sedangkan kebutuhan hidup sifatnya regional,” demikian tertulis dalam tabel analisis Pasal 88 dan 89 UU Ketenagakerjaan.
Direktur Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Mahatmi Parwitasari Saronto tak menjelaskan detail perubahan terkait upah minimum. Hanya saja berdasar kajian lembaganya poin upah minimum menjadi salah satu yang direkomendasikan untuk diubah.
Hal lain yang dikritik kelompok buruh adalah rencana perubahan ketentuan pesangon. Menurut Nelson, pemerintah berencana memangkas pesangon bagi pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Analisis ini didapat berdasar file presentasi Bappenas mengenai analisis regulasi tenaga kerja.
“Pesangon kita ini dianggap terlalu tinggi. Dia ada ukurannya, dengan dibandingkan dengan negara lain (Brazil). Dia boleh bilang begitu, tapi lihat nominalnya, kita lebih rendah,” kata Nelson. (Sumber: CNNIndonesia)