POLITIK bumi hangus ala Pemerintahan Hindia Belanda dibalas balatentara Jepang dengan menerapkan politik kejam dan bengis. Ideologi politik Jepang pun dikenal dengan sebutan Hak ko I Ciu.
SEJARAWAN Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung Mangkurat, Rusdi Effendi dalam makalahnya pada 2019, mengurai fakta kekejaman Jepang saat masa pendudukan di Banjarmasin.
“Setelah Balikpapan jatuh pada 25 Januari 1942 ke tangan Jepang, lambat laut Banjarmasin pun menyusul,” kata Rusdi Effendi dikutip jejakrekam.com, Minggu (14/11/2021).
Begitu serdadu Dai Nippon telah merangsek masuk di Hulu Sungai Utara (HSU), pada 8-9 Februari 1945 dikeluarkan instruksi oleh Pemerintah Hindia Belanda melancarkan politisi bumi hangus di Banjarmasin.
Penghancuran ibukota Borneo bagian selatan ini ditandai dengan bunyi sirine, lonceng dan peledakan dinamit. Lidah api menyala di atas kota Banjarmasin. Saat itu, Pasar Baru jadi lautan api, begitu pula Fort Tatas (Benteng Tatas), Jembatan Coen (Jembatan Ringkap kini Jembatan Dewi) diledakkan.
Tak terkecuali, pelabuhan, gudang-gudang, pabrik listrik Aniem tinggal puing. Toko-toko dipasar Ujung Murung sampai Pasar Lima habis terbakar, termasuk daerah Sudimapir, Percetakan harian Suara Kalimantan dan Bumi Putera ludas dimakan api.
“Sebagian besar Fort Tatas yang diisi dengan karet menyala dengan hebatnya, termasuk beras makanan tentara Belanda. Demikian pula penyimpanan bensin di Banua Anyar dan Bagau,” tulis dosen senior sejarah ini.
Menurut Rusdi, politik bumi hangus ini diterapkan Belanda guna menyambut kedatangan pasukan militer Jepang ke Banjarmasin. Dalam catatan sejarah, penghacuran fasilitas umum dan lainnya di Banjarmasin berlangsung selama dua hari. Hingga pukul 10.00 pagi, 9 Februari 1945, Jembatan Coen kembali diledakkan.
“Saat itu, seluruh kota bergetar. Semua kendaraan mobil dirusak, dikumpulkan di Sungai Bilu. Bahkan, Pasar Lama hampir saja jadi lautan api, tapi bisa digagalkan penduduk,” kata Rusdi.
Ketika itu, Pemerintahan Belanda di Banjarmasin vakum. Tentara dan pegawai Belanda mengundurkan diri, penduduk Banjarmasin ribut, penjarahan pun terjadi di mana-mana.
Saat itu, Pasar Lima dan Pasar Baru diserbu warga, gudang-gudang dan toko-toko orang Cina, Belanda dan pribumi dijarah. Massa datang bukan hanya dari dalam kota, tapi juga luar kota Banjarmasin.
“Sebagian tentara dan pegawai pemerintah Belanda menjelang kedatangan Jepang mengungsi ke Puruk Cahu. Ini karena, pertahanan Belanda di Kalimantan Selatan lemah, tidak mampu membendung kedatangan tentara Jepang yang masuk ke Banjarmasin,” beber Rusdi.
Ketika itu, serdadu Negeri Matahari Terbit datang ke Kalsel melalui dua jalur. Jalur pertama lewat Angkatan Darat yang berjalan kaki dari Balikpapan – Muara Uya – Tanjung – Kelua – Pasar Arba – Haur Gading – Palimbangan – Amuntai – Kandangan. Mereka merampas sepeda di daerah yang dilalui. Tiba di Banjarmasin pada 10 Februari 1942.
Masih menurut Rusdi, jalur kedua melalui jalur Laut Jawa dilakoni Angkatan Laut Jepang. Mereka tiba dengan kapal di Jorong, terus ke Pelaihari dan tiba di Banjarmasin pada 11–12 Februari 1942.
Saat Jepang menguasai kota, aksi balas dendam atas politik bumi hangus diterapkan. Sontak, Walikota Banjarmasin R.H. Mulder dan sejumlah petinggi Belanda lainnya dihukum. Mereka ditembak mati di Jembatan Coen.
“Saat penembakan, tiga orang Cina disuruh menyaksikan, kemudian orang Cina tersebut dipancung, semua mayat-mayat dilempar ke Sungai Martapura di sekitar jembatan,” kata Rusdi.
Pejabat Belanda tersisa Walikota Banjarmasin Van der Naulen dan Kepala Javasche Bank Konig menyerahkan Banjarmasin kepada pimpinan tentara pendudukan Jepang JAC (Japanese Army Command) Banjarmasin.
Jepang kemudian membentuk Pimpinan Pemerintahan Civil (PPC) ditunjuk Pangeran Musa Ardi Kusuma sebagai Ridzie untuk seluruh Kalimantan Selatan dan Dr. Soesoedoro Djatikoesoemo serta Mr. Rusbandi sebagai Pimpinan PPC. Mereka berkantor di ruangan bekas Gubernur Belanda.
Rusdi menceritakan serah terima itu dilakukan sesuai keputusan Kepala Balatentara Nippon, Kapten W. Okamato, tertanggal 18 Maret 1942. Kemudian, pada 1 April 1942, pucuk pimpinan pemerintahan sipil yang dipimpin Kapten W.Okamato diserahterimakan kepada Omori dibantu K. Shogennyi. Sah, Jepang pun menduduki Kalimantan Selatan berpusat di Banjarmasin.
Ada kengerian dan kekejaman Jepang saat menduduki Banjarmasin dan sekitarnya. Dalam makalah Rusdi terungkap pemerintahan militer Jepang terkenal disiplin dan beringas, serta kejam. Terutama, terhadap orang-orang Belanda yang menjadi tawanan atau masih dalam pengejaran.
“Sistem pemerintahan tantara pendudukan Jepang bersifat otoriter karena diterapkan di situasi perang. Ini sesuai dengan ideologi politik Hak Ko I Ciu,” kata mantan Ketua KPU Kabupaten Tanah Bumbu ini.
Prosesi Japanisasi dalam bidang ideologi, politik, ekonomi dan kebudayaan dijalankan dengan sangat intensif. Rusdi mengatakan sejak 10 Februari 1942 di masa pendudukan Jepang di Banjarmasin, penderitaan harus dirasakan warga.
Dengan propaganda Anti Sekutu pada 1944 dan jelang Perang Pasifik yang menjadi bagian dari Perang Dunia II, banyak pemuda dididik secara militer oleh Jepang.
“Jepang menerapkan wajib militer kepada para pemuda di Banjarmasin. Bahkan, kepada mata-mata musuh pun banyak ditangkap. Walau terkadang militer Jepang juga bisa salah tangkap orang,” tutur Rusdi.
Salah satu situs kekejaman Jepang adalah wadah eksekusi di sebuah desa di Sungai Lauk, Kecamatan Tamban, Barito Kuala. Kelak desa dinamakan Sungai Pembunuhan, berada di seberang Pulau Kembang.
“Sungai Pembunuhan merupakan tempat eksekusi bagi narapidana dengan hukuman pancung dengan pedang serdadu Jepang,” kata Rusdi.
Menurut dia, hingga kini, Sungai Pembunuhan itu masih melekat namanya, karena banyak tawanan baik Belanda, Cina, hingga warga Banjar yang jadi korban kekejaman serdadu Jepang. Kekuasaan Jepang tak berlangsung lama, tepat pada akhir Februari hingga Agustus 1945, serangan tentara Sekutu ke Banjarmasin, makin meningkat.
Pengeboman dari pesawat tantara gabungan Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Belanda membuat berbagai kerusakan dan kebakaran di Banjarmasin. Tercatat, Pacinan Laut dekat Laksus, saat itu ada, sebuah rumah Tionghoa habis, pengeboman di Pasar Klenteng (kini kawasan Pasar Niaga) serta Dok Koonan Kayoon di Cerucuk dan daerah Trisakti sekarang, kapal-kapal laut di atas dok habis terbakar.
“Sebuah kawah bom Sekutu yang menghabiskan rumah Administratur Koonan Kayoon di daerah Trisakti, setelah perang jadi kolam besar. Sekarang kawasan ini dikenal dengan sebutan Banyu Biru,” tutur Rusdi.
Begitu pula, bom-bom juga dijatuhkan di daerah Kuin, puluhan rumah hancur dan terbakar. Tercatat, ada lebih 50 orang mati dan terbakar menjadi korban. Muara Kelayan pun tak luput dari sasaran pengeboman disertai kebakaran yang luar biasa hebatnya. Termasuk, Rumah Sakit Romusha di Rantauan-Kuliling berakibat tujuh buah bangunan besar beserta isinya ludes kena bom api dan mitralyur.
“Berikutnya, Lapangan Ulin “distoomwals” dijatuhi bom-bom tiap hari dan bahkan para korban romusha pun terbilang besar. Ini menandakan Sekutu mulai bisa menguasai Banjarmasin,”
Sumber: www.jejakrekam.com
Reposted: @jasmerah
Catatan Sejarah: Bukti Otentik yang tidak akan bisa dirubah oleh siapapun,dan untuk sejarah bangsa harus tetap diingat dan dikenali oleh seluruh generasi bangsa.
Redaksi SBSINEWS
21 Juni 2022