Catatan Kritis Soal Hukum
SBSINews – Anggota dan pimpinan SP/SB, serta pegawai dan pejabat yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan, umumnya seringkali membaca, menulis dan mengucapkan kalimat hak dan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya.
Tapi ironisnya ucapan itu tidak pernah mau diimplementasikan secara teknis operasional dalam bentuk norma hukum. Bahkan yang terjadi adalah kejahatan hukum melenyapkan tunjangan keluarga.
Fakta menunjukkan, selama ini Upah Minimum yang ditetapkan Gubernur atas dasar Peraturan Perundang Undangan dan Rekomendasi Dewan Pengupahan Daerah tidak pernah mencantumkan tunjangan keluarga sebagai komponen upah, sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 angka 30 UU No. 13/2003, tentang Ketenagakerjaan.
Diamputasinya norma hukum tentang tunjangan keluarga dalam PMTK No. 21/2016, tentang KHL dan PMTK No. 15/2018, tentang Upah Minimum, tujuannya tiada lain tentu agar upah sebagai bagian dari biaya produksi dapat ditekan menjadi lebih murah, dibanding adanya
tunjangan keluarga yang dimasukan dalam komponen upah.
Dengan demikian muatan materi dari 2 PMTK tersebut di atas, bertentangan dengan perintah UU No. 13/2003, khususnya Pasal 1 angka 30. Berpedoman kepada Pasal 7 ayat (2) UU No.12/2011 yang diubah dengan UU No.15/2019, tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, pada pokoknya menegaskan, kekuatan hukum peraturan perundang undangan sesuai dengan hierarki. Penegasan itu diperjelas dengan Pasal 1 ayat (4) TAP MPR RI No.III/MPR/2000, tentang Pancasila sebagai Sumber Hukum Dasar Nasional, dengan menyebutkan; sesuai tata urutan peraturan perundang undangan, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi
Sementara itu
Pasal 4 ayat (1) TAP MPR RI No. III/MPR/2000, tentang Pancasila sebagai Sumber Hukum Dasar Nasional menegaskan, sesuai dengan tata urutan peraturan perundang undangan, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi
Tentu sangat disesalkan apabila peristiwa yang kronis ini terus dibiarkan berjalan di luar hierarki hukum. Sebab dengan dihilangkannya hak pekerja/buruh untuk mendapat tunjangan keluarga sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 30, UU No 13/2003, dalam PMTK No. 21/2016 dan PMTK No.15/2018, telah menimbulkan akibat hukum berupa kerugian pekerja/buruh dan keluarganya secara ekonomi. Karena hak pekerja/buruh dan keluarganya untuk mendapat tunjangan keluarga hanya ada tertulis dalam buku UU yang bunyi huruf – hurufnya bagaikan Memberi Harapan
Dicantumkannya tunjangan keluarga dalam definisi atau pengertian upah sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 angka 30 UU No 13/2003, tentu ditujukan untuk memberikan perlindungan secara ekonomi kepada pekerja/buruh yang sudah berkeluarga, agar penghasilan yang diterima dapat memenuhi
penghidupan yang layak secara wajar terkait dengan kewajiban dan tanggung jawab pekerja/buruh sebagai kepala keluarga untuk memberikan nafkah dan keperluan lainnya, baik untuk pekerja/buruh sendiri mau pun untuk istri dan anaknya yang meliputi: makan dan minum, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi serta jaminan hari tua dan pensiun.
Secara logika Upah Minimum hanya patut dan layak digunakan untuk memenuhi Kebutuhan Hidup serba Minimum
Dalam rangka mewujudkan penghidupan yang layak secara wajar, baik untuk pekerja/buruh lajang mau pun pekerja/buruh yang berkeluarga, sangat diperlukan kebijakan yang adil dan layak dalam mengatur standar Upah Minimum secara proporsional dengan klasifikasi, antara lain sebagai berikut:
1. Pekerja/buruh lajang upahnya dibayar sebesar Upah Minimum, ditetapkan Gubernur berdasarkan peraturan perundang undangan dan Rekomendasi Dewan Pengupahan Daerah.
2. Pekerja/buruh beristri tanpa anak (K0), upahnya dibayar sebesar Upah Minimum + Tunjangan Keluarga 20% dari Upah Minimum, ditetapkan Gubernur berdasarkan peraturan perundang undangan dan Rekomendasi Dewan Pengupahan Daerah.
3. Pekerja/buruh beristri dengan 1 (satu) anak (K1) upahnya dibayar sebesar
Upah Minimum + Tunjangan Keluarga 30% dari Upah Minimum, ditetapkan Gubernur berdasarkan peraturan perundang undangan dan Rekomendasi Dewan Pengupahan Daerah.
4. Pekerja/buruh beristri dengan 2 (dua) anak (K2), upahnya dibayar sebesar Upah Minimum + Tunjangan Keluarga 40% dari Upah Minimum, ditetapkan Gubernur berdasarkan peraturan perundang undangan dan Rekomendasi Dewan Pengupahan Daerah.
5. Pekerja/buruh beristri dengan 3 (tiga) anak (K3), upahnya dibayar sebesar Upah Minimum + Tunjangan Keluarga 50% dari Upah Minimum, ditetapkan Gubernur berdasarkan peraturan perundang undangan dan Rekomendasi Dewan Pengupahan Daerah.
Kita tentu tak ingin mendengar, apalagi menyaksikan para pekerja/buruh penerima upah minimum yang hidup bersama keluarganya hanya bisa memenuhi penghidupan yang layak secara wajar selama 15 sampai 20 hari. Kita juga tentu tidak ingin mendengar para pekerja/buruh yang bekerja keras siang dan malam tanpah lelah memajukan perusahaan, tapi pemenuhan penghidupannya harus disubsidi oleh masyarakat.
Pertanyaannya, mau dan mampukah kita meperjuangkan perbaikan kondisi upah minimum dengan klasifikasi upah, mulai dari upah untuk pekerja/buruh lajang, sampai dengan upah + tunjangan keluarga untuk pekerja/buruh yang berkeluarga dengan 1 sampai 3 anak.
Ada baiknya perbaikan kondisi pengupahan dimulai pada SP/SB tingkat perusahaan (PUK) pada saat pembaharuan PKB dengan merundingkan konsep klasifikasi upah minimum antara pekerja/buruh lajang dengan pekerja/buruh yang berkeluarga, seperti contoh di atas, dalam rangka peningkatan kualitas PKB.
Selamat berjuang. Tindakan nyata sekecil apa pun jauh lebih baik dari pada 1000 rencana tapi belum dilakukan
Tangerang, 1 Juli 2020
Salam Sehat
Sofyan A Latief
Ketua Umum FSP PAR REF