Gubernur DKI telah menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No. 103 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Propinsi (UMP) Tahun 2021 tanggal 30 Oktober 2020, sehari sebelum batas waktu penetapan upah minimum (UM) yang ditentukan pp NO. 78 Tahun 2015 yaitu tanggal 1 Nopember setiap tahunnya.
Tentunya Pergub DKI tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Perbedaannya adalah Pergub saat ini mengatur tiga hal yaitu pertama, menaikkan UMP 2021 sebesar Rp. 139.837 atau sekitar 3,27 persen menjadi Rp. 4.416.186,54 (Pasal 1 Pergub). Kedua, pengusaha dapat mengajukan permohonan penangguhan pelaksanaan UMP tahun 2021 (Pasal 2), dan ketiga, pengusaha atau pemberi kerja dapat mengajukan permohonan pembayaran UMP 2021 dengan besaran yang sama dengan UMP 2020 (Pasal 3).
Mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003, yang masih menjadi acuan kenaikan UM tahun 2021, hanya mengenal ketentuan Pasal 1 dan 2, sementara Pasal 3 tidak diatur sehingga tidak biasa diberlakukan. Baru kali ini ketentuan tentang Pasal 3 diberlakukan di Pergub DKI No. 103 Tahun 2020. Hanya Gubernur DKI yang memberlakukan ini, gubernur lainnya tidak ada yang memberlakukan Pasal 3 ini.
Kehadiran Pasal 3 ini memang terkait dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini, yang memang mempengaruhi dunia usaha. Yang membedakan maksud isi Pasal 2 dan Pasal 3 adalah kalau Pasal 2, mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu permohonan penangguhan pelaksanaan UMP dimaknai sebagai utang kepada pekerja yang harus dibayar pengusaha, sementara Pasal 3 adalah pengusaha dapat menerapkan UMP 2021 sama dengan UMP 2020 atau tidak ada kenaikan nilai UMP bagi perusahaan terdampak Covid-19.
Tentunya pelaksanaan Pasal 2 dan Pasal 3 didasari pada kriteria dan persyaratan. Untuk Pasal 2 kriteria dan persyaratan mengacu pada Pergub no. 42 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan UMP sementara kriteria dan persyaratan untuk Pasal 3 akan ditentapkan dalam Keputusan Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Propinsi DKI Jakarta.
Saya menilai Pergub no. 103 Tahun 2020 ini merupakan terobosan hukum yang memang menilai kondisi dunia usaha secara lebih obyektif, berdasarkan tingkat dampak Covid-19 kepada sektor usaha. Ada sektor usaha yang sangat terdampak oleh pandemi Covid-19, ada juga yang tidak terlalu berdampak, dan ada sektor usaha yang mendapatkan “berkah” dengan adanya Covid-19 ini. Terobosan hukum ini pun masih dalam koridor hukum yang memberikan kewenangan penetapan UM oleh Gubernur. Dengan ketentuan ini maka memang Gubernur diberi kewenangan untuk menetapkan UM tanpa mengikuti anjuran Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan.
Seharusnya Gubernur yang tidak menaikkan UM nya bisa mengikuti terobosan hukum yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, karena memang faktanya tidak semua sektor usaha terdampak dalam oleh Covid-19. Terobosan hukum ini untuk memastikan agar upah pekerja tidak tergerus oleh inflasi yang memang terjadi di seluruh propinsi.
Selain terobosan hukum yang dibuat Pak Gubernur DKI, Pasal 5 Pergub ini masih membuka ruang hadirnya UMP sectoral 2021 untuk ditetapkan, walaupun Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja menghapus UM sectoral. Saya berharap Pak Gubernur DKI tetap melakukan terobosan hukum untuk membuka ruang penetapan UMP Sektoral di 2022 dan seterusnya.
Satu hal lagi yang positif dari Pergub no. 103 tahun 2020 ini adalah ada di Pasal 6 yaitu Gubernur DKI memberikan kebijakan berupa insentif untuk mendukung kesejahteraan pekerja dan keluarganya berupa bantuan layanan transportasi, penyediaan harga pangan dengan harga murah, biaya personal Pendidikan.
Saya berharap seluruh gubernur lainnya juga bisa memberikan jalan keluar atas persoalan UM ini khususnya bagi UM yang tidak naik. Ke depan, saya berharap kebijakan berupa insentif dari Pemerintah baik dari APBN dan APBD bisa diformalkan secara sistemik sehingga isu pengupahan tidak menjadi masalah tiap tahun. Harus dibangun Sistem Pengupahan yang berbasis peran pemerintah.
Selain peran anggaran tentunya peran pengawasan ketenagakerjaan juga sangat dibutuhkan mengingat saat ini masih banyak pekerja yang belum mendapatkan UM, dan masih banyak pekerja yang sudah bekerja di atas 1 tahun seharusnya mendapatkan upah di atas UM namun faktanya masih mendapatkan sebatas UM. Persoalan klasik ini harus bisa diselesaikan oleh pengawas ketenagakerjaan.
Pinang Ranti, 8 Nopember 2020
Tabik
Timboel Siregar