oleh: Abdillah Toha

Ketika Menteri Agama tidak lama setelah dilantik menyampaikan sambutan perdananya dan mengatakan bahwa Kementerian Agama yang dipimpinnya bukan kementerian untuk agama tertentu tetapi untuk semua agama, sebagian besar tanggapan mendukung dan lega. Inilah pernyataan menteri agama pertama yang jelas dan lugas menunjuk kepada pentingnya toleransi antar agama dan kerukunan hidup antar pemeluk agama.

Namun demikian, masih saja ada suara-suara yang tidak senang dan khawatir dari sebagian Muslim. Bahkan ada tokoh yang menuduh menteri agama sedang menyampaikan niatnya untuk “menggebuk” Islam. Inilah tokoh yang menurut pandangan saya mewakili suara mayoritas kerdil. Atau yang oleh kawan saya disebut sebagai mayoritas yang bermental minoritas. Kenapa begitu?

Biasanya yang ditindas itu minoritas dan penindasnya dari kelompok yang lebih besar. Tapi kali ini sang mayoritas justru merasa terancam bila hak-hak minoritas dilindungi. Kelompok-kelompok yang misinya “membela” Islam masuk kategori ini. Seakan-akan Islam sedang diserang oleh non Muslim, padahal mayoritas warga negeri ini Muslim.

Contoh lain adalah tentang ucapan selamat Natal. Tiap bulan Desmber selalu berulang kontroversi apakah umat Islam dibolehkan mengucapkan selamat Natal kepada rekannya yang beragama Nasrani. Ustad-ustad tertentu mengharamkannya, bahkan ada yang memvonis mereka yang melanggar sebagai murtad. Inipun disebabkan oleh mentalitas kerdil kekhawatiran kehilangan umat. Seakan kelompok minoritas sedang memghadang dengan mulut buaya terbuka untuk menerkam umat masuk kedalam rongga imannya yang berbeda.

Bayangkan bila mental demikian terjadi juga pada kelompok mayoritas jenis lain seperti mayoritas suku. Apakah negeri ini tidak akan kacau jika suku Jawa yang mayoritas dinnegeri ini selalu curiga kepada suku-suku lain yang minoritas. Apa yang akan terjadi bila orang Jawa minta agar pemerintah berpihak kepada suku Jawa dan mengawasi jangan sampai suku-suku lain diberi kebebasan dan keleluasaan sebagai warga negara.

Kita tahu bahwa jumlah tidak selalu menunjuk kepada kekuatan. Minoritas bisa lemah tetapi ada juga kelompok kecil yang kuat dan unggul karena keunggulan lebih ditentukan oleh kualitas daripada kuantitas. Negeri kecil seperti Israel yang dikelilingi oleh negeri-negeri kaya dan berpenduduk banyak sejauh ini dapat membuktikan keampuhannya melawan setiap tekanan dari luar.

Dalam hal minoritas mengungguli mayoritas, yang diperlukan mayoritas bukan menekan minoritas dengan menggunakan tangan penguasa atau cara represif lain. Bukan pula dengan menghimpun keroyokan dengan provokasi agar massa menjadi takut kehilangan “hak-hak istimewa”nya. Dalam kehidupan demokrasi yang sehat justru mayoritas diharapkan tidak semena-mena dan melindungi hak-hak minoritas.

Mayoritas juga bisa menjelma menjadi diktator. Tirani mayoritas namanya. Yaitu ketika keputusan diambil bukan atas dasar rasionalitas dan kemanusiaan tetapi berdasar manfaat untuk yang jumlah pengikutnya lebih banyak. Mayoritas tidak boleh mengambil keputusan yang melanggar azas keadilan. Sebagai contoh, tidak dibenarkan melalui voting, umpamanya, mengesahkan sebuah undang-undang yang melarang kelompok tertentu membangun rumah tinggal atau rumah ibadah.

Pemaksaan kehendak oleh mayoritas juga bisa berwujud dalam bentuk kekuatan massa. Massa menjadi penguasa (mob rule). Lebih lagi bila unjuk rasa massa dirancang untuk menakuti lawannya dengan menggunakan kekerasan dan perusakan aset rakyat. Mob rule, apakah berhasil atau gagal mencapai tujuan akhirnya, biasanya akan menimbulkan luka-luka dalam berupa perpecahan dan permusuhan antar bangsa sendiri yang lama dan sulit disembuhkan.

Mayoritas kerdil adalah mayoritas penderita penyakit paranoid. Paranoia adalah kelainan jiwa berupa delusi kecemburuan dan prasangka bahwa lingkungannya mengandung bahaya dan mengancam eksistensi mayoritas. Delusi bahwa yang kecil dan minoritas pun harus diwaspadai karena dianggap berbahaya.

Mayoritas kerdil ini tidak hanya di Indonesia. Pemeluk Hindu yang memperkusi minoritas Muslim di India, Budhis Myanmar yang memgusir Muslim Rohingya, juga mulai berkembang di Eropa yang kuatir akan makin pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk Muslim disana.

Gerombolan massa yang khawatir dan merasa terancam ini bisa benar memang karena ada ancaman nyata tetapi lebih sering hanya berupa delusi seperti dijelaskan diatas. Apakah ancaman itu nyata atau delusi yang diciptakan oleh seorang demagog, keduanya sering kali dimanfaatkan oleh politisi yang ingin melihat berubahnya arah kebijakan negara atau runtuhnya sebuah rezim dengan maksud menggantikannya.

Inilah yang kita saksikan beberapa tahun terakhir ini ketika kelompok agamawan menggerakkan massa, politisi-politisi berambisi yang pada hakekatnya jauh dari motif-motif religius, menumpang gerakan mereka dengan tujuan meraih kekuasaan yang belum tentu menguntungkan aspirasi keberagamaan mereka.

Ironinya, mereka yang bergerombol dan mengklaim sebagai mayoritas tidak selalu benar mewakili mayoritas sesungguhnya. Mereka sejatinya hanyalah bermodalkan teriakan yang keras dan vokal guna memberi kesan bahwa merekalah yang terbanyak. Mayoritas sebenarnya sesungguhnya ada diluar mereka. Hanya saja mayoritas sejati ini jarang bersuara dan sering disebut sebagai mayoritas diam (silent majority).

Mayoritas dengan mental minoritas ini hanya bisa sembuh lewat pendidikan dan perbaikan nasib ekonomi sehingga tumbuh rasa percaya diri. Bila gerakan massa mereka dibungkus dengan agama, maka pemahaman agama mereka harus diluruskan. Bahwa dakwah yang efektif bukan dengan menekan atau membatasi kebebasan pemeluk agama lain. Bukan pula menjauhkan Muslim dari sesama warga yang berbeda agama. Seperti melarang mengucapkan selamat Natal dan sejenisnya.

AT – 28122020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here