SBSINews – Sejak saat itu ia lebih dikenal dengan K’tut Tantri dibandingkan Muriel Stuart Walker. Dalam bahasa Bali, Ktut Tantri memiliki arti ‘’anak keempat’’.

Saat Jepang datang, Kempetai (satuan polisi militer milik Jepang) ‘’memburu’’ Tantri. Dia sempat melarikan diri ke Solo, namun keberadaannya diketahui Kempetai Jepang. Tantri dibawa paksa ke sebuah penjara di daerah Kediri.

Kondisi selnya saat itu sangat memprihatinkan. Dia menceritakan bahwa tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal terbuat dari merang yang sudah menjadi tempat kutu busuk bersarang, jamban yang hanya berupa lubang di lantai tanah dengan seember air kotor di sampingnya.

Makan pun hanya diberi segenggam dengan garam sebagai perasa dan diberikan dua hari sekali.

Alih-alih ditangkap karena membela Indonesia, rupanya alasan Jepang menangkap Tantri hanya karena tuduhan menggelikan.

‘’Agen rahasia Amerika! Aku hampir saja tertawa kalau tidak sedang setengah mati ketakutan saat itu,’’ ungkapnya dalam autobiografinya dikutip Kompas.

Tantri pernah menjelaskan bahwa dirinya sama sekali tak memiliki hubungan dengan Amerika Serikat. Namun penjelasan itu tidak digubris oleh Jepang.

Hingga beberapa kali perwira Jepang memaksa dia mengaku dengan membuka pakaiannya hingga sobek sambil ditampar bertubi-tubi dan dipukul dengan bambu habis-habisan.

Beberapa kali Jepang memaksa Tantri mengaku sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. Sampai habis kesabaran mereka, Tantri harus berkeliling sekitar Kediri dalam kondisi telanjang bulat dengan gantungan kertas yang bertuliskan ‘’Mata-Mata Amerika’’.

Namun, Tantri tidak gentar. Sampai akhirnya dia bertahan menjalankan penderitaan selama tiga minggu.

Hilang akal untuk membuat Tantri mengaku, akhirnya Jepang menyerah. Malah mereka mengajak Tantri bekerja melawan Amerika Serikat dengan cara menjadi penyiar radio untuk siaran yang ditujukan ke Amerika Serikat.

Ganjarannya, dia akan mendapatkan uang, rumah bagus, mobil, dan benda mewah lainnya.

Lagi-lagi dia tak gentar dengan janji manis itu. Tantri menolak!

Pada masa inilah dia membuktikan bahwa darah Viking benar-benar mengalir dalam dirinya. Seorang gadis dari keturunan Suku yang terkenal akan sikap pemberani dan suka berpetualang.

Namun seiring berjalannya waktu, sepertinya darah ‘merah putih’ yang justru lebih mengalir deras dalam dirinya.

Lantang Membela Kemerdekaan di Siaran Radio Pemberontakan

Keinginannya untuk menghabiskan usia di Bali bisa dibilang tidak terpenuhi sepenuhnya. Tahun 1942, Jepang mendarat di Pulau Dewata. Dia sendiri sempat berhasil melarikan diri ke Surabaya. Takdir mengatakan bahwa di kota inilah dia memulai masa hidupnya berhubungan dengan para pejuang kemerdekaan.

Saat di Surabaya dia tinggal di studio Radio Pemberontakan, radio yang dioperasikan para pejuang yang dipimpin oleh Bung Tomo.

‘’Aku diharapkan akan mengadakan siaran dua kali semalam, dalam bahasa Inggris. Tujuan tugasku untuk menyampaikan laporan perkembangan yang terjadi di Indonesia pada bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris di seluruh dunia, dilihat dari sudut pandang bangsa Indonesia,’’ tulis Tantri dalam autobiografinya.

Tidak hanya melakukan siaran, Tantri juga kerap melukis spanduk dan poster untuk para pejuang kemerdekaan.

Atas tindakannya, Tantri pernah dijadikan sebagai semacam kompetisi perburuan oleh Belanda. Pasalnya Belanda mengumumkan bahwa mereka berjanji memberikan hadiah 50 ribu gulden pada orang Indonesia jika berhasil menyerahkan K’tut Tantri ke markas tentara Belanda.

‘’Kalian tahu, uang gulden Belanda kini tidak laku lagi di Indonesia. Kami sudah memiliki mata uang sendiri. Tetapi jika Belanda mau menyumbangkan setengah juta rupiah pada bangsa Indonesia sebagai dana perjuangan kemerdekaan, saya bersedia datang sendiri ke markas besar kalian,’’ balas Tantri dalam siaran radionya.

Sontak itu menjadi bahan tertawaan.

Cinta ‘Mati’ Kepada Indonesia
Buku Autobiografi K’tut Tantriinfo gambar
Pada November 1998, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra Nararya kepada wanita yang kini bernama lengkap Ni K’tut Tantri.

Penghargaan itu merupakan penghargaan tertinggi kedua yang dia terima bukan hanya karena keterlibatannya dalam Pertempuran Surabaya 1945, melainkan atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai Kementerian Penerangan pada 1950.

Dia bukan wanita Jawa, bukan wanita Bali asli, bukan pula wanita Indonesia. Namun kecintaannya terhadap Indonesia membuat dia patut dikenang dan Indonesia sudah menjadi bagian dari takdir hidupnya.

Tantri wafat di sebuah panti jompo di Redferd, Sydney, New South Wales, pada Minggu malam, 27 Juli 1997. Jelang kremasi, bendera Indonesia dan lembaran kain kuning dan putih khas Bali terhampar di atas petinya.

Sayang, wasiatnya untuk diaben di Bali tak pernah terlaksana. Keinginan untuk membuat film dari buku autobiografinya pun belum terlaksana. (GoodNews/SM)

Sumber: Liputan6.com | Kompas.com | National Geographic | Posmetro-Medan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here