Kenangan Dengan Jokowi Bagian Kedelapan
Oleh: Muchtar Pakpahan
Salah satu tema Kampanye sekaligus janji politik dari pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah Kabinetnya akan ramping artinya jumlahnya tidak banyak, dan akan diisi oleh tokoh-tokoh yang professional, bersih dan nontransaksional.
Pesannya jelas, Menteri-menterinya akan terdiri dari tokoh-tokoh yang menguasai tupoksi kementeriannya, tidak ada kesalahan sejarah seperti adanya tindak pidana korupsi dan tindak pidana kejahatan lainnya khusunya yang berhubungan dengan jabatan, serta tidak atas dasar jatah partai atau atas dasar dibayar.
Janji ini merasuk ke hati sanubari rakyat Indonesia, tentu dibarengi dengan janji lain, Joko Widodo-Jusuf Kalla terpilih dan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2014.
Terpengaruh dengan tema kampanye tersebut, hati nurani saya dan banyak kawan menyatakan saya memenuhi syarat menjadi Menteri ketenagakerjaan RI. Professional ? Ya, dan mempunyai visi dan konsep ingin membangun hubungan industrial sistem gotong royong pola Jepang. Bersih ? Ya, dari jaman Orde Baru terus menerus kampanye pemerintahan bersih dan anti korupsi dan anti transaksional. Lalu karena memenuhi syarat, hati nurani saya dan kawan-kawan mendorong menulis lamaran menjadi Menteri Ketenagakerjaan RI.
Apa sebabnya memenuhi syarat ? Saya pengajar ilmu hukum perburuhan di S1 dan Pascasarjana UKI sudah puluhan tahun. Saya aktivis pembela buruh sebagai advokat sejak tahun 1978. Saya Ketua Umum DPP SBSI 1992-2003, dan sejak 2013 – sekarang, Governing body ILO, bermarkas di Geneva 1999-2005, vice president of WCL (World Confederation of Labour) bermarkas di Brussel 2001-2005. Karena kegiatan membela buruh dipecat sebagai dosen dari Universitas HKBP Nommensen atas permintaan Pangdam dituduh PKI, dipenjarakan 3 kali, diancam dibunuh beberapa kali. Atas hal-hal tersebut, saya memajukan surat lamaran menjadi Menteri Ketenagakerjaan RI, dilengkapi dengan visi, program dan target kerja. Surat lamaran resmi saya serahkan kepada Presiden terpilih Bapak Joko Widodo di kantor Gubernur DKI Jakarta.
Saya berfikir akan ada fit and proper test, dan saya akan diundang/dipanggil menghadapi test. Ternyata tidak pernah ada panggilan atau undangan untuk peroper test. Tetapi waktu diumumkan susunan kabinet, yang menjadi Menteri Ketenagakerjaan adalah Hanif Dhakiri yang awam tentang hubungan industrial/perburuhan baik teori atau ilmu pengetahuan maupun pengalaman. Serta ternyata secara keseluruhan kabinetnya gemuk (tidak ramping), diisi oleh beberapa Menteri yang tidak professional serta ternyata transaksional politik.
Saya menyaksikan kenyataan tersebut tidak kecewa, karena saya yakin itu yang terbaik bagi bangsa Indonesia menurut pertimbangan bijaksana dari presiden dan wakil presiden terpilih. Tetapi sekarang kenyataannya, hubungan industrial memburuk, buruh tetap menderita, pasal 27 ayat 2 bagian pertama yang menyatakan “tiap-tiap warganegara berhak mendapatkan pekerjaan” tidak dapat dipenuhi. Buruh tidak puas dengan kinerja Hanif Dhakiri, tetapi kelihatannya Presiden puas dengan kinerja Hanif Dhakiri.