Setelah ternyata saya kembali terpapar Covid,melalui tes Rapid Antigen, sebelumnya pada bulan Sepemberpun saya sudah merasakan semua tanda-tanda Covid setelah pulang dari Jogya. Pertama terpapar, berkali-kali mau tes Rapid tidak jadi karena harus antri panjang dirumah sakit dekat rumah.
Saya putuskan mengikuti semua saran dokter-dokter yang ada di lis pertemanan FB saya, minum parasetamol, bedrest dan asupan vitamin C dosis tinggi, Zink, E dan berlama-lama dibawah paparan sinar matahari pagi.
Bedrest total ketika demam,itu yang diwanti-wanti. 7 hari saya tidur dikamar, isolasi kamar, sholatpun berbaring dan hanya bangun dari tempat tidur untuk keperluan ke toilet. Hamdalah, saya survive.
Apa saja gejalanya ? Diare hebat selama 3 hari, lalu disusul demam diatas 38°, batuk kering, tenggorokan sakit dan benar-benar terasa tercekat,kerontang,perih,kehilangan daya penciuman dan perasa, badan serasa lemah dan pegal luar biasa. Setelah 7 hari isoman, badan perlahan membaik dan saya masih istirahat selama seminggu lagi, meski masih diselingi beberes taman dan rumah dengan santai, tidak bekerja yang terlalu serius banget.
Pada serangan kedua ini, terasa lebih berat. Mengapa ? Setelah seminggu bedrest dan RT antigen kedua masih positif, pada malam ke 7, tengah malam, tiba-tiba saya terbatuk-batuk dan dada kanan terasa sakit, sakit yang rasa-rasanya tidak pernah seperti itu. Ke-esokan harinya, saya dengan membawa hasil tes antigen, meminta dokter untuk dironsen. Sekitar 1 jam saya menunggu hasil sembari berbaring.
Lalu dokter menghampiri saya, dengan mengambil jarak lebih jauh, pelan ia berujar : ” Bu, hasil ronsen sudah dibaca, diparu-paru sebelah kanan ibu sudah ada kabut yang menandakan infeksi khas Covid meski baru sedikit, dan ibu juga ada Bronkitis Kronis yaa ?bla..blaa..blaa.. Ujung kaki dan tangan saya serta merta terasa dingin, kaget bukan kepalang. Tulisan-tulisan tentang Covid yang menginfeksi paru-paru akhirnya harus saya rasakan juga yang saya baca, kondisi ini cukup riskan. Dokter terlihat berusaha menyemangati saya : ” Untung sekali ibu cepat datang memeriksa ya Ibu jangan drop phisikisnya ya nanti mempengaruhi imunitas ibu.Saya tidak semangat menyauti, karena masih berusaha berdamai dengan kagetnya.
2 hari setelah itu, suami meminta saya untuk tes PCR, agar tau kondisi virus sudah digrade berapa, dan tubuh mereaksinya bagaimana melalui angka CT. PCR menjadi penting agar kita paham bahwa virus dan tubuh sedang dikondisi yang bagaimana : masih aktif menularkan, sudah tidak menularkan dan dimasa pemulihan atau bahkan sudah sembuh.Dibutuhkan waktu 12 jam untuk mendapatkan hasilnya. Hasil PCR saya 32,29 artinya sudah tidak aktif menularkan, sedang masa pemulihan. Hamdalah.
Bisakah hasil PCR tiba-tiba turun ? Seorang sahabat yang dirawat di Wisma Atlit bercerita, bagaimana angka PCR nya turun dan dia yang dijadwalkan pulang harus menunda kepulangam karena kondisinya drop lagi. Sahabat saya ini butuh waktu 4 hari untuk menaikkan PCR nya yang sempat turun agar naik ke angka yang disyaratkan pihak wisma atlit untuk boleh pulang. Apa yang menyebabkan angka PCRnya turun ? Imunitas tubuhnya sempat drop karena 2 malam berturut-turut sebelum tes PCR, dia sempat menangis tersedu-sedu dan dihinggapi kecemasan. Sedangkan makanan di wisma atlit begitu melimpah, vitamin dan obat juga konsul kedokter bebas dan gratis.
Sahabat, saya berbagi cerita tentang Covid ini semata-mata untuk kembali mengingatkan, bahwa Covid bukan hoax, ia benar nyata, dan siapa saja bisa saja terpapar. Seberapa bahaya Covid ? Jangan pernah meremehkan C-19 ini, tapi juga tidak perlu menjadi paranoid. Tuntutan Prokes 3 M itu sebenarnya simpel kan ? Tidak memberatkan, andai saja kita semua punya kesadaran untuk saling menjaga. Ajakan : Saya memakai masker, cuci tangan dan tidak berkerumun, karena saya peduli kamu adalah ajakan yang sangat bijak dan sadar bahwa siapa saja potensial untuk menularkan atau ditulari, dan kita tidak pernah bisa memprediksi kapan tubuh menjadi rentan terpapar.
Pada kasus infeksi yang kedua kali ini, tubuh saya mereaksi lebih serius, hingga harus menimbulkan flek diparu akibat infeksi Covid, dan sakit didada mengakibatkan ngobrolpun membuat saya tersengal dan terasa perih didada.
Saran saya, perbanyaklah membaca ulasan-ulasan dari para dokter yang banyak mengedukasi di FB ini, perlukan juga membaca pengalaman para pasien Covid yang bisa survive atau juga yang meniggal karena penyakit penyerta. Semua itu bisa menjadi bekal untuk kita agar tidak panik, jika kita atau salah satu anggota keluarga tiba tiba saja menunjukan gejala yang mengindikasikan C-19. Rasa-rasanya perlulah kita kenali si Covid ini, agar tidak panik ketika terpapar atau bahkan malah sebaliknya,abai.
Tetap semangat, berpikir positif, mulailah pola hidup sehat dan mari patuhi Prokes 3 M.
Andi Naja FP Paraga
Pemred SBSINEWS