Oleh Timbul Siregar
Selain ada beberapa aktivis SP SB berprofesi sebagai pengusaha outsourcing, ada juga aktivis SP SB yg jadi HR dadakan.
Ketika PHK dilakukan pengusaha, proses bipartit dilakukan dengan pekerja dan atau diwakili SP SB nya. Ketika gagal di bipartit, proses dilanjutkan ke proses mediasi. Pengusaha masih diwakili oleh HR nya yg sesungguhnya.
Kalau gagal juga ya keluar surat anjuran dari disnaker.
Pengusaha bertahan tidak mau gugat dan tidak mau bayar upah. Terpaksa pekerja yg gugat ke PHI.
Ketika persidangan dimulai di PHI, pihak pekerja terkejut karena yg dihadapi adalah aktivis SP SB yang dadakan menjadi HR Perusahaan. Dengan dibuatkan tanda pengenal perusahaan dan surat kuasa dari perusahaan utk beracara, jadilah aktivis SP SB tsb menjadi HR perusahaan yg bisa mewakili perusahaan beracara di PHI. Kalau sudah selesai perselisihan tsb, ya tidak jadi HR perusahaan lagi. Nunggu kalau ada perselisihan lagi baru dipanggil.
Buat aktivis SP SB tsb ini rejeki yg nggak ditolak, mengenai lawannya adalah pekerja, ya itu nggak masalah yang penting hepeng bro…..
Bagi perusahaan, ini cara utk menekan biaya. Kalau pakai lawyer sesungguhnya wah…sudah mahal. Tapi kalau menggunakan aktivis SP SB ya super murah dan dianggap tahu beracara di PHI dan buat jawaban, duplik, bukti2 serta saksi dan kesimpulan.
Kan para aktivis SP SB tersebut sudah dilatih oleh federasi maupun konfederasinya di tempat2 dengan suasana tenang serta makan minum gratis dan pulang diongkosin pula, tentang beracara di PHI, dari proses di UU no. 2 tahu 2004, buat gugatan, jawaban, replik, duplik, bukti serta menghadirkan saksi2 serta buat kesimpulan, termasuk cara mengajukan kasasi dan buat memori kasasi atau kontra memori kasasi. Kan juga selama ini sudah punya pengalaman mewakili pekerja di PHI atas nama organisasi SP SB, sehingga tahu lah.
Ya sah2 saja ilmu tsb digunakan utk cari uang, tapi ketika pekerja kaget karena yang dihadapinya adalah temannya juga, ya ini yg menjadi masalah. Kenapa pekerja kaget, dan kenapa ada HR dadakanπππππ
Mengingat Klaster Ketenagakerjaan lebih berwajah konflik sehingga berpotensi menyuburkan proses perselisihan dari bipartit, mediasi, PHI hingga MA, maka ini artinya ruang lebih lebar bagi aktivis yg selama ini kerap kali jadi HR dadakan, utk bisa mengais rejeki lebih banyak. Apalagi UU no. 2 tahun 2004 gagal terus direvisi.
Klaster ketenagakerjaan lebih membuka bisnis bagi para aktivis, paling tidaj sebagai pengusaha outsourcing dan HR dadakan.
Pinang Ranti, 19 Oktober 2020