Oleh: Jacob Ereste

Apa artinya May Day jika cuma sekedar serimoni. Toh, semua orang cukup mahfum bila pada 1 May seratus tahun lalu itu menjadi hari bersejarah bagi perjuangan serikat buruh dalam upaya memperjuangkan hak-hak kaum buruh hingga layak bekerja cuma delapan jam per hari. Karena sebelumnya kaum buruh diperas untuk bekerja lebih lama dari itu dan upahnya pun tidak layak.

Sekarang jam kerja kaum buruh sudah relatif lebih pendek dan upahnya paling rendah satu dolar per jam. Artinya, jika dikonversi dengan nilai dolar sama dengan 15 ribu rupiah, maka hanya dalam sehari kerja kaum buruh bisa menerima upah minimal sebedar 8 X 15 ribu rupiah. Jika rata-rata upah sehari buruh sebedar 120 rupiah, maka untuk satu bulan kerja kaum buruh dapat menerima upah minimal 3 juta rupiah. Padahal upah buruh di dunia yang normal tidak kurang dari dua dolar.

Jadi kalau pada perayaan May Day 2019 tidak memberi dampak apa-apa terhadap kondisi kesejahteraan buruh, maka May Day tidak lebih dari nostalgia belaka. Karena idealnya apa yang pernah diraih kaum buruh pada masa silam itu dapat ditingkatkan lagi mutu dan kualitasnya dari perjuangan yang dilakukan sekarang. Misalnya tentang outsourcing yang justru dilangengkan oleh pemerintah dengan sistem menerapkan kerja kontrak pada PNS yang baru direkrut tahun 2018 lalu.

Kecuali itu juga, momentum May Day hendaknya bisa dimanfaatkan untuk refleksi diri, bagaimana caranya untuk menyatukan organisasi buruh sehingga tidak lagi terkesan masih ikut mengekploitasi kaum buruh sebagai komoditi politik maupun ekonomi oleh organisasi kaum buruh itu sendiri. Fenomena ini marak diorganisasi buruh Indonesia. Wajar jika dinilai oleh aktivis dari negara tetangga kita sungguh tak sehat. Karena fenomen itu mengisyarakan ada persaingan yang tidak sehat, sehingga kaum buruh pun menjadi komoditi di pasar bebas yang tumbuh liar hingga semua telah dikuasai kaum kapitalis.

Dalam kondisi kaum buruh Indonesia seperti sekarang, pasti akan semakin sulit mengharap adanya langkah maju untuk memperbaiki kondisi kaum buruh di Indonesia untuk lebih baik dan lebih beradab. Misalnya untuk membangun partai politik yang dapat menyalurkan aspirasi serta apa yang hendak diperjuangkan oleh kaum buruh, tampaknya masih sangat jauh, seperti bumi dengan langit.

Pada pasca reformasi tahun 1998 kaum buruh maupun pekerja pernah mempunyai nyali membentuk partai politik, meski semua keok karena salah kaprah cara mengelolanya, toh tetap lebih baik dibanding sekarang — setelah 20 tahun reformasi — tidak lagi pernah berani tampil kecuali bergelayut pada partai politik yang sudah ada.

Jika jumlah pemilih pada Pemilu 2019 benar sebanyak 192 juta, maka betapa besar potensi partai buruh jika bisa mengelola 132 juta angkatan kerja Indonesia yang ada.

Cuma memang harus dilakukan dengan kajian yang matang, terutama dalam model tata kelolannya yang tidak bisa lagi mengabaikan keberadaan dari organisasi buruh, sehingga person yang berasal dari bilik partai tidak lagi boleh punya anggapan paling hebat dari aktivis dan fungsionaris organisasi buruh.

Bahan pelajaran dari partai buruh atau partai pekerja pada beberapa kali menjadi peserta Pemilu di Indonesia sejak reformasi kiranya cukup dijadikan bekal bila masih memiliki nyali untuk membuat partai buruh atau partai pekerja, sekalian untuk menyatukan gerak langkah perjuangan kaum buruh Indonesia agar bisa lebik baik, dapat lebih sejahtera dan lebih manusiawi serta lebih beradab. Setidaknya, jika ada partai buruh atau partai pekerja di Indonesia, pasti istilah parlemen jalanan tidak lagi perlu ada. Kecuali hanya untuk hal-hal yang memang urgen dan memaksa.

Agaknya pada momen May Day 2019 urgensi dari acara serimoni seperti yang sudah-sudah pun perlu direnung ulang. Apa sesungguhnya essensi dari May Day itu bagi eksponen serta aktivis buruh di Indonesia pada hari ini.

Jika sekedar untuk mengenang, toh uraian sejarah dari May Day itu sendiri sudah berulang kali dipaparkan. ***

Banten, 28 April 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here