Sbsinews– Bola ada pada Kapolri. Jika betul menyingkirkan Irjenpol Fadil Imran berarti mengakomodasi tekanan dari kelompok² yg selama ini menggunakan agama sebagai alat tekan politik.
Kelompok kanan memahami situasi Kapolri yg non-Muslim dengan mencoba menjebaknya ke dalam situasi seolah Kapolri tidak mengapresiasi keputusan berani Fadil Imran.
Padahal publik tahu bahwa keberanian Fadil untuk meringkus FPI justru membuka jalan bagi Presiden Jokowi untuk membuat banyak kebijakan dalam keadaan tanpa tekanan.
Ini termasuk menerbitkan Perpres nomor 3 dan nomor 7 Tahun 2021, penunjukan Kapolri sendiri dan reshuffle kabinet yg penuh dg terobosan.
Secara obyektif kita semua merasakan bahwa pasca dibubarkannya FPI, suasana kehidupan beragama kita jauh lebih tenang. Stabilitas politik juga lebih landai. Diakui atau tidak, ini semua dipicu oleh keberanian Fadil Imran sebagai pemantik awal.
Keberanian yg kemudian memicu keberanian orang lain ini justru harus diapresiasi oleh Kapolri. Setidaknya, salah satu bentuk apresiasi itu:
Kapolri menunjuk Fadil sebagai tandem pengawalan berbagai programnya di Mabes Polri. Jika tidak, keberanian Fadil selama ini di mata publik berkesan tidak diapresiasi oleh Polri, terlebih “disingkirkan” seperti permintaan Abdullah Hehamahua ini.
Fadil Imran saat itu tidak bertindak represif terhadap kelompok Islam, ini harus kita sadari. Fadil hanya menjalankan amanat UU untuk memerangi premanisme, radikalisme, ekstremisme dan terorisme – dimanapun mereka berakar.
Jika ada sekelompok orang yg berusaha mendevaluasi peran Fadil dalam “memerangi” radikalisme, apalagi berusaha menjatuhkan, tentunya bisa kita prediksi: mereka adalah bagian dari kelompok radikal yg dendam atas sikap Fadil. Ini secara logika sederhana saja.
Oleh karena itu, perlu ada apresiasi kepada Fadil Imran dari Kapolri. Entah apapun bentuknya. Tujuannya adalah untuk mempertegas komitmen Polri terhadap pemberantasan radikalisme dan ekstremisme, sesuai amanat UU.(ANFPP090221)