Oleh: Prof. DR. Muchtar B. Pakpahan, SH., MA.
JAKARTA SBSINews – Pada hari Minggu 5 April, (K)SBSI mendapat daftar jadwal rapat Balegnas DPR-RI, yang salah satunya adalah RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) tentang RUU Omnibus Law pada Selasa 7 April mulai jam 13.00, di DPRRI. Serta kami tidak mendapat undangan, padahal pada jadwal sebelumnya pada permulaan masuknya covid-19 SBSI mendapat undangan, tetapi rapat dibatalkan pimpinan DPR demi menghadapi covid-19.
Saat ini Indonesia seharusnya sedang fokus memusatkan perhatian menghadapi covid-19 yang setiap hari bertambah jumlahnya secara significan. Lihatlah peningkatan angka kasus covid-19 berikut ini, dimulai ditemukannya 2 Maret sebanyak 2 kasus di Depok, 9 Maret 19 kasus, 26 Maret 893 kasus, 1 April 1677 kasus, dan 5 April 2273 ketika tulisan ini dituliskan. Salah satu penyumbang yang signifikan terhadap angka kasus adalah berkumpul dari semua jenis.
Materi RUU Omnibus Law adalah seperti hantu pembawa maut bagi masa depan kehidupan buruh, sehingga setiap mendengar RUU Omnibus Law akan dibahas atau akan disahkan, buruh langsung seperti mengalami naik tekanan darahnya. Akibatnya, buruh Bersatu melakukan aksi menentang di ratusan kabupaten/kota dan hampir semua ibukota provinsi. Serta tekanan darahnya sempat normal, bersamaan dengan datangnya pandemic covid-19, sidang pembahasan yang sempat terjadwal di DPRRI, dihentikan hingga waktu yang tidak ditentukan.
Tetapi tiba-tiba saat mengganasnya covid-19 diadakan rapat balegnas DPRRI pada Selasa 7 April 2020 dimulai jam 13,00. Bagaikan tersengat oleh hantu yang menakutkan ini, serentak semua pengurus Serikat Buruh aras nasional melakukan rapat Rabu 8 April 2020, rencana menentukan sikap terhadap rapat Balegnas DPRRI tersebut.
Pasti menolak dan melawan RUU Omnibus Law, tentu diperhadapkan dengan adanya larangan berkumpul karena pandemic covid-19.
RDPU Balegnas sendiri sebenarnya sudah kumpul-kumpul yang tidak sesuai dengan PP 21 tahun 2020 PSBB.
Kemudian rapat-rapat Serikat di aras nasional, diikuti minimal 10 orang, juga sudah termasuk berkumpul yang melanggar PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Kemudian dapat saya perkirakan langkah lanjut adalah melawan pembahasan RUU Omnibus Law.
Caranya? Senjata ampuh buruh adalah mogok nasional dan atau demonstrasi nasional. Bila mogok atau demonstrasi akan berpotensi meningkatkan angka kasus covid-19 dan berpotensi bentrok dengan polri, karena sudah ada PP 21 tahun 2020.
Flash back ke masa pemerintahan orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Jenderal TNI Suharto, ABRI (TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU dan Polri) ditugaskan menjaga perusahaan, supaya steril dari SBSI. Sebab yang mempunyai hak hidup hanya SPSI. Ketika SBSI gagal menegosiasikan agar SBSI dicatatkan sebagai Ormas atau serikat buruh dan gagal juga menegosiasikan penerapan upah hidup layak sebagaimana digariskan Pasal 27 UUD 1945, DPP SBSI menyerukan mogok nasional Januari 1994, hingga tuntutan dipenuhi.
Presiden Suharto menyatakan “apa yang dituntut Muchtar Pakpahan adalah benar. Tapi masalahnya cara menuntut itu”. Lalu saya ditangkap.
Walaupun ABRI menodongkan senjata, buruh tidak takut. Mengapa tidak takut? Buruh sedang berjuang memperbaiki nasibnya dengan menghentikan upah minimum atas dasar kebutuhan minimum menjadi hidup layak. Buruh mulai tahu mengatakan, suatu kaum tidak akan mengalami perbaikan hidup bila kaum itu tidak berjuang memperbaiki hidupnya. Serta Walaupun ABRI ada di semua perusahaan, saya sudah ditangkap dan ditahan, 289 pengurus SBSI sudah ditahan di semua wilayah tetapi lebih banyak di Sumatera Utara, dan ada yang dibunuh, buruh tetap melakukan aksi.
Dari penjara selalu saya serukan “Teruskan Perjuangan”. Dan saya sendiri di dalam penjara, selalu dikawal ABRI.
Saya melukiskan peristiwa Januari 1994, dengan maksud menggambarkan agak sama sikap buruh terhadap materi RUU Omnibus Law.
Buruh takut? Akan mengalami kehidupan suram atau menderita atau perbudakan baru di masa depan. Buruh tidak takut bergerak, Social distancing terpaksa dilawan, karena melawan penderitaan. Presiden memanfaatkan corona untuk mencapai ambisinya mensahkan RUU menjadi UU Omnibus Law yang sudah berganti nama UU Cipta Kerja.
Solusinya apa? Dengan mohon maaf, Bapak Presiden yang harus menghentikan ambisinya mengundangkan RUU Omnibus Law. Kemudian PDI-Perjuangan diharapkan menyatakan menghentikan. PDI-Perjuangan jangan melakukan dua kali kesalahan fatal, bila diuji dari Trisakti dan dari ajaran-ajaran Sukarno. Pertama Memaksakan memasukkan Outsourcing ke dalam UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan kedua RUU Omnibus Law memanjakan Kapitalis/neolib, dan membuat Rakyat Marhaen menderita.
Semoga ada yang menyampaikan isi hati ini kepada Presiden Joko Widodo, mudah-mudahan PDI-P, mudah-mudahan relawan Jokowi, dan atau mudah-mudahan Jokower kami ucapkan terima kasih.
Prof. DR. Muchtar B. Pakpahan, SH., MA.
Ketua Umum DPP (K)SBSI & Guru Besar UTA45 Jkt.
Buruh adalah ujung tombak dari negara republik Indonesia. Saya sangat memohon kepada presiden bapak Ir Joko Widodo. Dan seluruh partai pengusung terutama . PDI perjuangan. Jangan sampai DPR. Mematahkan RUU. Omnibus law. Terimakasih.
Persoalan perburuhan memang teramat pelik. Antara nasib buruh dan keberlangsungan perekonomian. Jika pemerintah berencana melakukan perubahan besar2an, seyogyanya di jelaskan kepada publik tujuan yg hendak dicapai, dgn tetap memperhatikan kepentingan pokok dan aspirasi buruh. Semoga saja masukan dari Prof. Muchtar sampai kepada Presiden