SBSINews – “Apakah akan ada rapat, sidang, di masa reses?” “Enggak boleh, enggak boleh. Kami harus ke dapil. Menurut tatib (tata tertib), kami nanti ya susahlah kalau kami rapat, kalau enggak ke dapil.” Percakapan itu terjadi antara perwakilan demonstran yang menolak omnibus law RUU Cipta Kerja [dulu disebut Cilaka] dengan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, pada Kamis (16/7/2020). Demonstran menanyakan apakah akan ada rapat pembahasan RUU Cilaka selama masa reses DPR. DPR memasuki masa reses sejak 16 Juli 2020 sampai 17 Agustus 2020 mendatang. Pada masa ini, semestinya legislator kembali ke daerah pemilihan masing-masing untuk menyerap aspirasi masyarakat. Perwakilan demonstran kemudian menjelaskan alasan menyampaikan pertanyaan itu. Sebab kata mereka, pada masa reses sebelumnya, DPR juga menggelar rapat. Dasco pun membenarkan adanya rapat konsultasi pimpinan yang membahas keamanan Idulfitri kemarin. “Karena untuk situasi tertentu itu boleh [rapat saat reses]” kata Dasco. “Berarti dimungkinkan, Pak?” balas perwakilan demonstran. “Oh enggak, jadi kami ngomong enggak ada pembahasan,” tegas Dasco. “Omnibus law maksudnya. Apakah akan ada pembahasan omnibus law, persidangan pembahasan omnibus law saat reses?” tanya perwakilan demonstran lagi. “Enggak ada sidang-sidang,” kata Dasco menegaskan. Namun fakta di lapangan, jaminan itu ternyata hanya berlaku seminggu. Kamis (23/7/2020), di tengah masa reses, Badan Legislasi DPR RI justru menggelar rapat untuk membahas daftar inventaris masalah dari Bab III Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha RUU Cipta Kerja. Baca juga: Reses, DPR Ogah Bahas Djoko Tjandra tapi Tidak untuk Omnibus Law Hal itu pun menyulut kekecewaan dari buruh yang hadir dalam audiensi Minggu lalu. Nining Elitos, Ketua Konfederasi Aksi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menyebut hal ini membuktikan sekali lagi bahwa pemerintah dan DPR tidak pernah menangkap aspirasi rakyat. “Kalau masyarakat marah, rakyat marah, itu karena memang wakil rakyat tidak pernah melihat dan mendengar apa yang jadi suara suara kritis rakyat,” kata Nining saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (23/7/2020). Sebelum demonstrasi pada 16 Juli 2020 lalu, gelombang penolakan terhadap RUU Cipta Kerja memang telah bergolak, bahkan sejak sebelum draf RUU diserahkan oleh pemerintah ke DPR. Pada April 2020 lalu, di tengah pandemi, ribuan buruh “membombardir” wakil rakyat melalui SMS dan pesan WhatsApp. Penolakan terhadap RUU Cipta Kerja juga disuarakan pada perayaan Mayday 2020. Pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja memang dinilai mencekik kaum buruh. Sedikit di antaranya, Pasal 89 RUU Cipta Kerja, menghapus Pasal 59, Pasal 88, Pasal 90, Pasal 93, dan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan (UUK). Dengan dihapusnya Pasal 59 UUK tentang ketentuan Pekerja Kontrak Waktu Tertentu (PKWT), artinya tidak ada batasan kontrak berlaku sehingga pekerja tidak mendapatkan kepastian dalam bekerja. Pasal 88D, penghitungan kenaikan upah minimum tidak lagi berlaku dengan standar nasional, melainkan mengacu pada pertumbuhan ekonomi daerah. Artinya, jika pertumbuhan daerah tersebut minus, maka UMK akan turun. Pasal 90 UUK juga dihapus, padahal pasal ini mengatur tentang sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan upah minimum. Sementara itu perubahan Pasal 151 UUK menghilangkan peran serikat pekerja dalam negosiasi pemutusan hubungan kerja. Perubahan Pasal 93 tentang cuti dan izin, menghapus hak cuti pada hari pertama menstruasi bagi perempuan. RUU Sapu Jagat ini juga menghapus izin khusus untuk menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anak, istri melahirkan/keguguran, dan jika ada anggota keluarga satu rumah yang menikah. Baca juga: Bobroknya Omnibus Law: Kepentingan Parpol di atas Tuntutan Rakyat Bank Dunia Soroti Soal Lingkungan Hidup di Omnibus Law RUU Cilaka Selain soal ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja juga mengancam lingkungan, agraria, dan pada akhirnya akan menggilas kelompok marjinal seperti warga miskin dan masyarakat adat. Nining mengatakan, di masa pandemi COVID-19 pemerintah dan DPR semestinya bekerja keras untuk menjamin bahwa tidak ada lagi pekerja yang diputus hubungan kerja, masyarakat bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, dan anak-anak bisa tetap bersekolah dengan baik. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Fomappi) Lucius Karus pun tak habis pikir dengan ulah wakil rakyat ini. Masa reses adalah waktu anggota DPR kembali menemui konstituen untuk menyampaikan pertanggungjawabannya selama bertugas di masa siding, sekaligus menyerap aspirasi pemilihnya. Justru di saat seperti inilah anggota DPR menjalankan fungsi representasinya. Untuk kebutuhan ini, kata dia, ratusan juta dianggarkan APBN untuk setiap anggota DPR pada setiap masa reses. Lucius mempertanyakan bagaimana anggota DPR akan mempertanggungjawabkan dana ini nantinya kalau mereka malah sibuk menggodok RUU yang ditolak publik. “Wakil rakyat yang tidak kembali ke dapil mungkin bukan wakil rakyat, tetapi wakil makhluk antah berantah,” ujar Lucius. Lucius pun menilai DPR melakukan tebang pilih, karena hanya mengebut pembahasan RUU Cipta Kerja padahal saat ini ada 38 RUU Prioritas lainnya yang harus diselesaikan pada 2020. Baca juga: Ketika DPR Ngotot Pakai Dana Reses Saat Corona Tak Kunjung Reda Pada saat bersamaan, pimpinan DPR pun mementahkan rencana Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Bareskrim, Ditjen Imigrasi, dan Jampidum untuk membahas skandal DJoko Tjandra. Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin beralasan pada masa reses semua anggota harus berkegiatan di luar sesuai tata tertib. “Ini kan aneh, tatib sama-sama mengatur soal kegiatan reses yang dilakukan DPR di luar parlemen, tetapi pimpinan DPR ternyata tebang pilih. Pembahasan RUU Cipta Kerja dibolehkan pada saat reses, padahal ini jelas-jelas membuat anggota tidak bisa kembali ke dapil,” kata Lucius. Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah menilai ngototnya pemerintah dan DPR merampungkan RUU Cipta Kerja menegaskan keberpihakan mereka kepada pemodal, baik dalam negeri maupun asing, alih-alih kepada masyarakat. Menurut dia, itu adalah timbal balik terhadap kaum pemodal yang telah menopang kekuasaan selama ini. “Dia harus menunaikan janjinya kepada kepentingan investasi, kepentingan modal untuk membuat aturan hukum atau undang-undang yang memberikan karpet merah bagi kepentingan kapitalisme itu sendiri,” kata Ilhamsyah kepada reporter Tirto, Kamis (23/7/2020). Karena itu, kata dia, buruh akan kembali merapatkan barisan. Ilhamsyah mengatakan pihaknya dan serikat buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) akan menggelar konsolidasi nasional menyiapkan aksi yang lebih besar dari aksi Minggu lalu. Baca juga: RUU Cilaka: Cara Elite Bawa Indonesia ke Orde Otoriter Gaya Baru Respons DPR Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan dirinya tidak pernah berjanji tidak membahas RUU Cipta Kerja. Yang ia janjikan dalam pertemuan Minggu lalu adalah, tidak ada sidang pengambilan keputusan, dalam hal ini sidang pengambilan keputusan tingkat 1 dari badan legislasi untuk dibawa ke sidang paripurna. “Waktu itu saya jamin tidak akan ada sidang-sidang, itu di masa reses supaya jangan sampai mereka merasa kecolongan. Tetapi dalam pertemuan itu, saya juga ngomong bahwa rapat-rapat FGD, apalagi menerima aspirasi masyarakat tentang omnibus law itu kita tetap jalan,” kata Dasco kepada reporter Tirto pada Kamis (23/7/2020). Dasco juga menyebut pada masa sidang, Badan Musyawarah (Bamus) DPR sudah merestui adanya rapat pembahasan RUU pada saat reses. Namun Bamus tidak merestui rapat dalan rangka pengawasan sebagaimana yang akan dilakukan Komisi III terkait skandal Djoko Tjandra. “Saya kan enggak boleh juga sudah ada keputusan di Bamus kemudian saya melarang tidak boleh ada rapat ya,” ujar politikus Partai Gerindra. (tirto.id – brn/abd)