Oleh : Andi Naja FP Paraga
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak mempunyai arti lain bagi buruh dan keluarganya daripada hilangnya lapangan pekerjaan sekaligus hilangnya penghasilan (upah) yang biasa diperoleh secara utuh.
Bagi Buruh PKWTT ketika PHK berhak dapat pesangon dan jika tidak dapat pesangon berarti ada persoalan lain yang menjadi penyebabnya. Tetapi tidak demikian dengan PKWT mereka benar tidak diberikan apapun selain diberikan Surat Pengalaman Kerja itupun jika diminta.
Padahal pesangon sebagaimana diatur dalam pasal 156 UUK 13/2003 adalah salah satu bentuk perlindungan ekonomi terhadap buruh dan keluarganya, karena selepas PHK jarang terjadi buruh langsung mendapatkan pekerjaan pengganti. Sebagian buruh menganggap PKWT harus menunggu giliran tanpa adanya kepastian mendapatkan pekerjaan yang diharapkan.
Selama masa tunggu untuk mendapatkan pekerjaan tersebut tentu membutuhkan biaya hidup dan kalau ia mendapatkan pesangon dari pekerjaan sebelumnya itulah yang menjadi penunjang hidupnya. Tetapi jika PHK tidak mendapat pesangon siapa yang menanggungnya. Jawabannya tak lain adalah masyarakat.
Pada umumnya Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) berlaku untuk semua buruh tanpa diskriminasi, tetapi faktanya menunjukkan nasib pekerja PKWT, harian lepas dan magang mengalami perlakuan diskriminasi. Jika mereka di PHK tidak mendapat pesangon. Pertanyaannya haruskah perlakuan diskriminas ini dibiarkan semakin kronis sedangkan secara konstitusional perlakuan diskriminasi dilarang sebagaimana Amanat pasal 28 1 ayat 2 UUD 1945 Jo pasal 6 UUK No.13/2003.
Untuk menghilangkan diskriminasi diperlukan kemauan politik yang kuat, konsisten, totalitas dan kerja nyata dari penyelenggara negara untuk menegakkan supremasi UUD 1945 dan peraturan –peraturan turunannya.
Disadari atau tidak korban PHK akan menjadi beban masyarakat termasuk beban pembangunan nasional. Masyarakat sudah terlalu berat mengatasi kemampuan daya beli dari UMK/UMP yang diterima jangan lagi dibebani dengan subsidi untuk orang – orang yang menjadi korban PHK tanpa pesangon tersebut.
Oleh karena itu perlakuan diskriminasi terhadap perlindungan ekonomi selepas PHK harus diperjuangkan tidak boleh dibiarkan menjadi semakin kronis. Hal ini harus menjadi perhatian bagi LKS Tripartit untuk menyusun “Rancangan Kebijakan Perlindungan Ekonomi bagi Pekerja PKWT” dengan berbasis Sila ke-2 Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam bentuk Uang Pisah saat berakhirnya hubungan kerja sebagai pengembangan dan perluasan bentuk jaminan perlindungan ekonomi selepas PHK sesuai yang diatur dalam pasal 156 UUK No.13/2003. Uang Pisah tersebut dimaksudkan sebagai kebijakan “Jaring Pengaman” kedua, setelah UMP/UMK agar Pekerja PKWT dan keluarganya tetap dapat bertahan memenuhi kebutuhan hidup selama belum mendapatkan pekerjaan baru.
Kita tidak ingin PHK akibat berakhirnya PKWT terus berlanjut membebani masyarakat. Karena itu perlindungan ekonomi sebagaimana diatut dalam Pasal 156 UUK No.13/2003 wajib dipertahankan dan Uang Pisah kepada Pekerja PKWT terus diperjuangkan agar bekerja yang bersangkutan tidak mengalami diskriminasi. Kita tentu tidak ingin aturan hukum tentang Larangan Diskriminasi hanya menjadi “Macan Kertas”. Kita juga tidak ingin terjadi perlakuan diskriminasi semakin kronis hanya disebabkan beda Status antara PKWT dan PKWTT. Mari kita perjuangkan bersama.