SBSINews – Secara yuridis dan politik struktural kita telah sepakat memilih jalan Demokrasi Dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ditandai dengan lahirnya UU No. 7/2017, tentang Penyelenggaraan Pemilu, yang mencakup Pilpres, Pileg, Pilkada dan Pilkades.

Begitu juga dengan pengaturan kehidupan dibidang industri dan ketenagakerjaan/hubungan industrial, yang ditandai dengan diratifikasinya Konvensi ILO No.98/1948 dengan UU No.18/1956 dan Konvensi ILO No.87/1947 serta sahkannya UU No.21/2000.

Tetapi sampai saat ini kita belum memiliki landasan hukum tentang Demokrasi Ekonomi sebagaimana yang diamanatkan Pasal 33 ayat (1) (UUD’45 Asli) dan ayat (4) UUD’45 Hasil Amandemen, yang menegaskan;

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Fakta menunjukkan, Demokrasi Politik tanpa disertai dengan Demokrasi Ekonomi telah menimbulkan ketimpangan yang menganga lebar. Para Konglomerat (pengusaha) dengan modal ekonomi yang kuat mudah mencengkeram harkat dan martabat pekerja/buruh sebagai manusia dengan menjadikannya seperti robot.

Sebagai pihak yang lemah secara ekonomi dan politik, banyak pekerja/buruh yang tak berdaya menghadap tekanan tsb. Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan akut, pada saatnya berpotensi menimbulkan kerawanan sosial.

Mau tidak mau dan suka tidak suka, saat ini arus ekonomi global yang kapitalistik secara terselubung atau terang-terangan ingin mengurangi, bahkan menghilangkan segala bentuk campur tangan Pemerintah terhadap perlindungan hak-hak konstitusional warga negaranya, termasuk hak-hak warganegara yang terkait dengan bidang ketenagakerjaan/hubungan industrial. Dengan demikian kapitalisme dengan serakah dapat lebih leluasa memasuki semua relung kehidupan, khususnya dibidang ketenagakerjaan dan hubungan industrial.

Kapitalis merasa sangat terganggu dengan adanya perlindungan negara didalam UUK 13/2003. Sudah lebih dari 30 kali para pengusaha berupaya menghilangkan perlindungan negara terhadap hak-hak warganegara yang diatur dalam UUK 13/20O3, dengan melakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi terus mengalami gagal total.

Betapa pun saat ini masih banyak kelemahan dalam UUK 13/2003, tapi setelah ada sekitar 15 putusan MK yang dicabut dan batalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, UUK 13/2003 sedikit sudah memperlihatkan wajah ke-Indonesia-an nya, yakni suatu UU yang berbasis nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi Negara.

Sejumlah Putusan MK tsb dapat menjadi Potret sekaligus referensi betapa lemahnya komitmen dan konsistensi Pemerintah dan DPR RI sebagai pihak pembuat kebijakan dan regulasi terhadap implementasi nilai-nilai Ideologi dan Konstitusi Negara dan UUK 13/2003.

Padahal Hubungan Industrial suatu negara pada umumnya merupakan implementasi dari nilai-nilai Ideologi dan Konstitusi Negara yang bersangkutan.

TAP MPR-RI NO.III/MPR/2000, tanggal 18 Agustus 2000, menegaskan, bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD’45 dan batang tubuh UUD’45;

TAP MPR-RI tsb juga menegaskan, bahwa sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh berteñtangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi Salah satu contohnya PP 78/2015.

Saat ini Pemerintah sedang memproses produk Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, yang diprediksi oleh kalangan pekerja/buruh dan SP/SB berpotensi mendegradasi perlindungan negara terhadap hak-hak pekerja/buruh yang serba minimum dengan tuntutan kerja yang serba maksimum (produktivitas)

Selain berpotensi menimbulkan degradasi terhadap pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang layak bagi pekerja/buruh, globalisasi juga sesungguhnya berpotensi menjadi peluang bagi industriawan untuk merahi kemajuan dan perbaikan kondisi ekonomi perusahaan secara menyeluruh, termasuk didalamnya perbaikan terjadap nasib pekerja/buruh dan keluarganya dengan pemberdayaan secara optimal fungsi dan peran SP/SB dengan menyelenggarakan dialog secara inten dan produktif kepada pengusaha dan pemerintah dengan prinsip Berpikir secara Global, tapi bertindak secara Lokal dengan komitmen upaya bersama untuk kepentingan bersama sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD’45 berikut penjelasannya.

Dalam penjelasan Pasal 33 ayat (1) UUD’45 ditegaskan : Produksi dilakukan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan. Kemakmuran bersama yang diutamakan, bukan kemakmuran orang perorang. Inilah politik ekonomi ketenakerjaan yang sesungguhnya yang harus diimplementasikan secara aktual dilapangan.

Dengan semangat Gotong Royong, Demokrasi Industri di perusahaan harus mampu menciptakan keadilan ditempat kerja sehingga tidak boleh ada penindasan, diskriminasi dan eksploitasi terhadap pekerja/buruh.

Karena pekerja/buruh adalah subyek sekaligus obyek dari tujuan pembangunan ekonomi nasional, yakni kemakmuran untuk seluruh rakyat Indonesia. Karena itu pekerja/buruh harus dilindungi harkat dan martabatnya sebagai manusia seutuhnya. Tidak boleh ditempatkan sebagai komoditi atau alat produksi yang bisa diperjual-belikan tenaga dan kompetensinya dari satu perusahaan kepada perusahaan lainnya yang dikemas dengan sebutan alih daya

Kehadiran negara dalam suatu kebijakan politik hukum Ketenakerjaan adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional pekerja/buruh dan mengatur segala kewajibannya secara manusiawi serta mendayagunakan potensi dan kompetensinya sesuai kemanusiaan, agar berhasilguna bagi kepentingan pembangunan ekonomi bangsa dan negara.

SP/SB harus menjadi Pilar Demokrasi Ekonomi dalam hubungan industrial.

Sehubungan itu, diperlukan SP/SB yang kuat, independen dan demokrasi. Dengan demikian SP/SB merupakan unsur penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi dibidang ketenagakerjaan dan hubungan industrial yang demokrasi dan berkeadilan sosial.

Kehadiran SP/SB di Perusahaan harus benar-benar menjadi Pilar Demokrasi Industri dan demokrasi ekonomi ketenagakerjaan yang sangat penting.

Tanpa SP/SB tidak akan pernah ada demokrasi industri dan demokrasi ekonomi ditempat kerja.

Tanpa demokrasi industri dan demokrasi ekonomi ditempat kerja, tidak akan pernah ada perundingan dan tidak akan pernah ada Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagai pengejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) UUD’45. (SM)

Tiada hari tanpa kerja

Tiada perusahaan, tanpa serikat pekerja/buruh

dan

Tiada serikat pekerja/buruh, tanpa perjanjian kerja bersama (PKB)

SofyanALatief, Pengurus SPSI tinggal di Kota Tangerang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here