Kapitalisme menghadirkan dua kelas terutama di dalam masyarakat:
1. kelas kapitalis sebagai pemilik modal dan alat-alat produksi,
2. kelas buruh yang menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis. Di antara kedua kelas ini ada berbagai lapisan lainnya: tani, nelayan, kaum miskin kota, kaum intelektual, kaum muda, dll. Tetapi dua kelas terutama di dalam masyarakat kapitalisme tetap adalah kelas buruh dan kelas kapitalis, sementara lapisan-lapisan masyarakat lainnya bersifat lebih cair dan tidak memiliki kohesi yang sama.
Ini sudah terbukti di dalam sejarah. Kelas buruh adalah satu-satunya kelas yang memiliki organisasi perjuangan yang paling terorganisir, konsisten dan kuat. Hanya buruh yang memiliki hari perjuangan (May Day) yang dirayakan di seluruh dunia oleh ratusan juta buruh, dan yang memiliki nilai historis yang dalam. Kendati berbagai usaha dari kelas penguasa untuk menyangkal keberadaan kelas buruh, sampai hari ini belum ada yang bisa menunjukkan bagaimana barang-barang bisa diproduksi tanpa buruh.
Kekuatan buruh ini bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Ia adalah sesuatu yang tumbuh dalam perjuangan seiring dengan berkembangnya kapitalisme. Pada masa awal kapitalisme, lebih dari 200 tahun yang lalu, belum ada pabrik-pabrik besar di mana ratusan bahkan ribuan buruh digiring bekerja di dalamnya. Hanya ada perusahaan-perusahaan kecil dengan segelintir buruh di dalamnya.
Karena kondisi ini, buruh belumlah sadar akan dirinya sebagai sebuah kelas. Ia masih terpecah-belah. Dalam perlawanannya terhadap penindasan yang dihadapinya, mereka menggunakan taktik-taktik yang bersifat individual.
Tetapi dengan semakin berkembangnya kapitalisme, kita temui semakin banyak perusahaan-perusahaan besar yang memperkerjakan ratusan kalau bukan ribuan buruh dalam satu tempat kerja.
Kondisi nyata inilah yang lalu mendorong buruh untuk mulai melihat ke sekeliling mereka, di mana mereka melihat kawan-kawan mereka yang bernasib sama.
Lewat pengalaman panjang, buruh menyadari bahwa kepentingan mereka akan lebih terlayani kalau mereka bekerja sama. Dari kondisi nyata inilah lahir solidaritas buruh. Untuk mewadahi solidaritas ini, dibentuklah organisasi perjuangan buruh yang kita kenal hari ini sebagai serikat buruh.
Awalnya tiap-tiap serikat buruh ini hampir tidak punya hubungan sama sekali. Tiap serikat buruh dari tiap pabrik hanya memperjuangkan kepentingan anggota mereka sendiri. Akan tetapi, cara pandang sempit seperti ini tidak dapat bertahan lama. Awalnya buruh cukup mogok di satu pabrik dan tuntutan mereka bisa terpenuhi. Tetapi semakin lama, taktik mogok yang hanya terbatas di satu pabrik saja semakin tidak efektif.
Dengan berkembangnya kapitalisme, seorang pemilik modal tidak hanya memiliki satu pabrik saja, tetapi juga banyak pabrik lainnya, dan bahkan berbagai macam usaha. Ini berarti, mogok di satu pabrik saja tidak akan cukup untuk memukul sang kapitalis dan menghentikan produksi secara total.
Dibutuhkan koordinasi yang lebih luas antar buruh di berbagai pabrik dan sektor. Kerja sama antar buruh dari berbagai serikat yang awalnya bersifat ad hoc (sementara) perlahan-lahan menjadi semakin permanen. Terbentuklah konfederasi-konfederasi buruh, yang menyatukan buruh dari berbagai serikat dan berbagai sektor.
Tidak berhenti di sini saja, serikat buruh juga mulai bergerak dari tuntutan-tuntutan yang awalnya hanya bersifat ekonomi ke yang bersifat politik. Ini tidak bisa tidak. Para pemilik modal tidak hanya memiliki alat-alat produksi, tetapi juga mengantongi para politisi dan pejabat pemerintah. Negara, dengan semua aparatus dan hukumnya, adalah organ yang digunakan oleh kapitalis untuk menindas buruh. Berbagai undang-undang yang memberatkan kelas buruh dan menguntungkan kapitalis diloloskan oleh pemerintahan ini. Untuk merespons ini, serikat-serikat buruh mulai melakukan perjuangan politik, dengan menuntut diloloskannya undang-undang yang lebih menguntungkan buruh dan dibatalkannya undang-undang yang anti-buruh.
Melihat para pemilik modal punya partai politik dan perwakilan di dalam pemerintahan ini, kaum buruh pun mencapai kesadaran bahwa mereka juga harus punya partai politik mereka sendiri dan perwakilan politik mereka sendiri. Seperti halnya kaum buruh tidak ingin bersandar pada kemurahan hati majikannya dan membentuk serikat buruh agar bisa memperjuangkan nasib mereka sendiri, begitu juga akhirnya para buruh belajar dari pengalaman bahwa mereka hanya bisa mengandalkan organisasi politik mereka sendiri.
Pada penghujung abad ke-19, kita saksikan lahirnya sejumlah partai buruh massa di Eropa: Partai Sosial Demokratik Jerman pada 1863, Partai Buruh Inggris pada 1900, Partai Buruh Prancis pada 1880, Partai Buruh Belgia pada 1885, dan banyak yang lainnya.
Partai-partai buruh ini tidak hanya berjuang untuk tuntutan ekonomi saja (upah minimum yang layak, tunjangan hari tua, perlindungan kerja, kepastian kerja, dll.) tetapi juga berbagai tuntutan demokratik (kesetaraan bagi kaum perempuan, hak memilih dan dipilih, kebebasan berpendapat dan berorganisasi, perlindungan bagi kaum minoritas tertindas, dsbnya).
Lewat partai mereka sendiri buruh belajar berpolitik.
Partai buruh ini juga menjadi alat pemersatu buruh yang bahkan lebih luas daripada serikat buruh. Buruh dari berbagai serikat dan industri – dan juga buruh yang tidak terorganisir – tersatukan di dalam partai buruh ini. Selain itu, partai buruh ini juga menjadi perekat persatuan antara buruh dengan lapisan rakyat tertindas lainnya: tani, nelayan, dan kaum miskin kota.
Partai politik adalah salah satu langkah terpenting dalam perkembangan kesadaran buruh. Kalau serikat buruh membangunkan naluri kelas buruh, maka partai buruh mempertajam naluri tersebut dan mengubahnya menjadi sebuah kehendak yang sadar, yang terekspresikan lewat program politik partai.