SBSINews – Tepat di 31 Desember penghujung 2019, saya sangat beruntung mendapatkan kiriman buku terbaru dari Kanda Prof. Amran Razak berjudul “Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional” yang ditulisnya bersama Dr. Chazali H. Situmorang, APT., M.Sc., CIRB.

Sebuah buku yang merupakan kompilasi dari 15 artikel bernas yang ditulis oleh dua orang yang sudah sangat ‘expert‘ di bidang asuransi kesehatan; Prof Amran Razak – Guru Besar Kebijakan Kesehatan di FKM Universitas Hasanuddin dan Dr. Chazali H. Situmorang – akademisi Kebijakan Publik yang juga mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) 2011-2015.

Tak ayal, buku ini memang bak menjadi sebuah sketsa politik yang menggambarkan bagaimana perjalanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan BPJS Kesehatan sejak diluncurkan 2014.

Membincang JKN – BPJS Kesehatan memang seolah tak akan pernah ada habisnya, terutama ketika mencoba menilik sejumlah keruwetan masalah di dalamnya, bahkan sejak ia diluncurkan pertama kalinya pada masa Presiden SBY.

Hingga hari ini, BPJS Kesehatan masih terus mengalami defisit. Sudah banyak skenario yang diusulkan untuk mengatasi hal ini, tetapi selama kurun waktu beberapa tahun terakhir, tak kunjung berhasil.

Buku “Sketsa Politik Jaminan Kesehatan Nasional” ini sesungguhnya cukup menggambarkan apa dan bagaimana permasalahan yang terjadi di lapangan mengapa defisit, bleeding, missmatch, atau istilah ketekoran lainnya, masih terus terjadi.

Bagaimanapun, kesalahan fatal utama dari aneka masalah BPJS Kesehatan saat ini adalah besaran premi yang ditetapkan tidak sesuai dengan perhitungan aktuaria. Sehingga dengan cara bagaimanapun, sepanjang premi BPJS tidak sesuai dengan angka yang seharusnya, maka tetap akan defisit. Kian membesar dan menumpuk setiap tahun. Istilahnya, besar pasak daripada tiang!

Meski fatal, rendahnya premi peserta BPJS Kesehatan bukanlah satu-satunya penyebab. Pada tataran pelayanan di fasilitas kesehatan, ada juga potensi fraud dan moral hazard yang dijelaskan dengan cukup gamblang di buku ini. Kesemuanya, sedikit banyak telah menggambarkan bagaimana lika-liku perjalanan BPJS Kesehatan dalam upayanya mencapai target Universal Health Coverage (UHC).

Sementara perjalanan menggapai UHC yang sebenarnya (menurut WHO) masih cukup panjang, menjadi PR bagi kita semua. UHC yang dicapai BPJS Kesehatan saat ini barulah sebuah fase awal, belum menggambarkan UHC yang sesungguhnya.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa UHC setidaknya menyangkut 3 dimensi, yakni cakupan penduduk (demographic coverage), cakupan pelayanan (service coverage) dan perlindungan finansial (financial protection). BPJS Kesehatan baru mencapai dimensi ketercakupan penduduk (demographic coverage) saja, belum 2 dimensi lainnya.

Soal kuantitas dan (apalagi) kualitas pelayanan kesehatan di era BPJS Kesehatan, Anda bisa menjelaskannya sendiri. Masih banyak kekurangannya, pun aroma ketidakadilan yang terjadi. Belum lagi soal dimensi perlindungan finansial terhadap pengguna BPJS Kesehatan ketika menggunakan layanan kesehatan. Oh, Tuhan!

Perjalanan BPJS Kesehatan untuk mencapai sebenar-benarnya UHC di Indonesia masih sangat panjang dan cenderung berliku. Ya, ini memang pekerjaan rumah yang panjang untuk bangsa sebesar Indonesia.

Penetapan kenaikan premi mengikuti angka aktuaria yang efektif mulai berlaku 1 Januari 2020 ini barulah sebuah langkah awal mengatasi masalah yang ada. Diperlukan banyak langkah-langkah lainnya yang melibatkan semua pihak terkait agar perjalanan BPJS Kesehatan mewujudkan tujuan JKN dapat berjalan baik.

Buku ini setidaknya juga mencatat sejumlah masalah lain yang harus segera diselesaikan, baik dari aspek administrasi hukum terkait BPJS Kesehatan, persoalan definisi ‘kelas standar’ dalam pelayanan di Rumah Sakit, soal aksesibilitas peserta BPJS Kesehatan terhadap fasyankes, dan sebagainya. (Astrada.com/Cob)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here