Oleh: Johannes Dartha Pakpahan
Orang bijak berkata, semua ada hikmahnya. Tapi jujur saja, sampai umur yang sekarang ini ada banyak hal yang telah dialami oleh orang-orang namun si hikmah belum ditemukan atau memang tidak ada.
Mulai dari hal-hal yang besar sampai hal yang kecil, seringkali si hikmah kelihatan tidak ada tapi sebenarnya ada. Kalau kata orang pintar temannya orang bijak tadi, mungkin kita harus melihat dari luar kotak atau bahasa daerahnya ‘think out of the box’.
Begitu juga dengan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah, yang seringkali kelihatan tidak ada hikmahnya kecuali menunjukkan kesewenangan pemerintah sebagai penguasa. Salah satunya PP 78/2015 berjudul Pengupahan, yang saat ini dianggap oleh buruh menyengsarakan dan dianggap menguntungkan oleh pengusaha.
Disebut menyengsarakan karena penghitungannya menggunakan rumusan, menggantikan peran Dewan Pengupahan sebagai perwujudan dialog sosial dan pengakuan kebebasan berserikat baik buruh maupun pengusaha.
Pemberlakuan PP 79/2015 tersebut secara tidak langsung mengatakan: silakan buruh dan pengusaha berserikat dan berorganisasi, tapi ingat keputusan tetap di tangan pemerintah.
Kemudian secara tiba-tiba nilai upah minimum untuk tahun 2019 telah ditentukan. Menurut surat Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor B.240/M-NAKER/PHI19SK-UPAH/X/2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahun 2018 tertanggal 15 Oktober 2018 kenaikan upah tahun 2019 adalah 8.03% yang didapat dari tingkat inflasi 2,88% dan tingkat pertumbuhan PDB (GDP) 5,15%. Menurut surat tersebut, data inflasi dan PDB didapat dari Badan Pusat Statistik.
Masalahnya data 2,88 tersebut tidak jelas darimana asalnya, karena bila dilihat dari data inflasi BPS di situsnya BPS maka jumlah 2,88 tersebut didapat dari bulan Oktober 2018. Lalu bagaimana dengan inflasi bulan Januari sampai September 2018, apakah tidak dijadikan perhitungan?
Coba bandingkan data inflasi bulanan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, ternyata BI mencatat tingkat inflasi yang lebih tinggi dengan rata-rata 3,2% perbulan. Satu-satunya data yang bisa ditemukan secara online yang tepat mengatakan 2,88 adalah data yang terdapat di situs tradingeconomics.com yang dalam inflation rate bulanannya menyatakan memang inflasi Indonesia di bulan September tepat 2,88% seperti yang dikatakan Menteri Tenaga Kerja.
Kemudian pertanyaannya tetap sama, bagaimana dengan inflasi sebelumnya seperti yang diperintahkan oleh PP 78/2015: “Inflasi yang dihitung dari periode September tahun yang lalu sampai dengan periode September tahun berjalan.”
Kemudian data PDB yang dijadikan dasar perhitungan sebesar 5,15% juga lain dengan PDB yang terdapat dalam situs BPS yang nilainya 5,17%. Data situs BPS tersebut juga sama dengan data tradingeconomics.com yang menetapkan nilai 5,17% untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bila dibandingkan dengan data lain seperti World Bank 5,2%, atau www.statista.com 5,3%, www.indonesia-investments.com 5,27% dan www.focus-economics.com 5,3% maka terdapat ketidak-sesuaian data yang disampaikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Tapi tulisan ini bukannya mau mengajak kita semua untuk berpikir soal itu, karena itulah yang selalu kita lakukan selama ini, memikirkan upah minimum dan menghujat PP 78/2015. Tulisan ini mau mengajak kita berpikir out of the box untuk mendapatkan hikmah dari PP 78/2015.
Di satu sisi penetapan rumus menggantikan manusia dalam menentukan upah minimum memang telah menodai prinsip kebebasan berserikat yang dijadikan standar perburuhan internasional oleh ILO. Prinsip perburuhan internasional sangat mengedepankan prinsip kesepakatan tripartit dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan hubungan industrial.
Namun di sisi lain terdapat peluang untuk menegakkan prinsip tersebut melalui penetapan upah. Harap diperhatikan baik-baik, pasal 14 PP tersebut mengatur mengenai:
(1) Penetapan besarnya Upah berdasarkan satuan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilakukan dengan berpedoman pada struktur dan skala Upah.
(2) Struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun oleh Pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(3) Struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan kepada seluruh Pekerja/Buruh.
(4) Struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampirkan oleh Perusahaan pada saat permohonan:
a. pengesahan dan pembaruan Peraturan Perusahaan; atau
b. pendaftaran, perpanjangan, dan pembaruan Perjanjian Kerja Bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Kemudian pasal 42 PP yang sama mengatur:
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya berlaku bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada Perusahaan yang bersangkutan.
(2) Upah bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha di Perusahaan yang bersangkutan.
Jadi bersama dengan penetapan upah secara sepihak oleh pemerintah yang diatur oleh PP 78/2015 dan pasti membuat pengusaha tersenyum dengan kenaikan yang hanya 8.03% tersebut, ada hal lain yang mungkin dapat menjadi pelipur lara bagi buruh.
PP 78/2015 bertujuan agar kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi Pekerja/Buruh. Oleh karena itu PP ini juga menegaskan bila upah bagi Buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih harus dirundingkan secara bipartit antara Buruh (serikat buruh) dengan Pengusaha di Perusahaan yang bersangkutan (pasal 42 ayat 2). Kemudian penetapan upah yang disepakati tersebut harus didasari pada struktur dan skala upah (pasal 14 ayat 3) yang memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi (pasal 14 ayat 2).
Struktur dan skala upah tersebut harus segera didaftarkan saat pengesahan peraturan perusahaan atau perpanjangan PKB (pasal 14 ayat 4). Apabila pengusaha menolak untuk menyusun dan memberitahukan struktur dan skala upah kepada buruh, maka pengusaha dapat dikenai sanksi administratif (pasal 59 ayat 1 huruf c) yang dapat berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi sampai dengan pembekuan kegiatan usaha.
Untuk dapat melakukan hal tersebut, langkah yang harus dilakukan oleh buruh adalah:
1) Melakukan pemeriksaan apakah perusahaan tempatnya bekerja memiliki peraturan perusahaan atau tidak. Menurut UUK No. 13/2003 pasal 108 ayat (1) perusahaan dengan buruh di atas 10 orang wajib memiliki peraturan perusahaan yang diberitahukan kepada buruh (pasal 114 UUK). Hal tersebut bisa di cek di dinas ketenagakerjaan setempat. Kemudian perhatikan tanggal berlakunya serta ingatkan dinas setempat untuk meminta perusahaan menetapkan struktur dan skala upah pada saat perpanjangan.
2) Apabila perusahaan menolak untuk menyusun, melampirkan atau memberitahukan struktur dan skala upah maka segera laporkan hal tersebut kepada pengawas ketenagakerjaan dengan tembusan Menteri Ketenagakerjaan dan lain-lain (boleh serikat buruh, dinas, pemegang saham, kepala daerah, kepolisian, ormas setempat, orang tua, keluarga, atau siapapun yang berhubungan dan tidak ada hubungannya). Karena PP 78/2015 dikeluarkan untuk memberikan kepastian atas pendapatan buruh dan memastikan kesenjangan upah yang tertinggi dan terendah dalam sebuah perusahaan tidak terlalu mencolok. Oleh karena itu seharusnya hal tersebut bukan rahasia perusahaan.
3) Apabila nilai upah minimum telah ditetapkan yang biasanya menjadi nilai upah buruh dengan jumlah penerima terbesar, maka semua buruh yang memiliki masa kerja lebih dari 1 tahun dapat meminta perundingan dan meminta perusahaan menunjukkan struktur dan skala upah. PP ini sendiri yang menegaskan bahwa jumlah nilai upah yang diterima oleh buruh dengan masa kerja lebih dari 1 tahun harus berdasarkan perundingan buruh dan pengusaha. Maka sebagai warga negara yang baik buruh wajib untuk taat kepada aturan ini sampai ada penggantinya yang sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Semua ini harus dilakukan oleh buruh dalam mendukung gerakan menolak lupa. Jadi bila sebelumnya nilai upah merupakan kewenangan perusahaan dan pengusaha maka menurut PP 78/2015 ini struktur dan skala upah perusahaan merupakan informasi publik yang harus dipublikasikan kepada semua buruh. Selain itu bila pengusaha tersenyum dengan kenaikan upah yang hanya 8,03% untuk tahun 2019, maka berdasarkan PP ini pula dinyatakan bila kenaikan tersebut hanya berlaku bagi buruh dengan masa kerja 1 tahun atau kurang sedangkan buruh yang sudah bekerja di atas 1 tahun wajib diajak berunding berdasarkan struktur dan skala upah.
Bila buruh merasa kenaikan upah yang 8,03% tersebut tidak signifikan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka buruh yang bekerja di atas 1 tahun sekarang memiliki kewenangan untuk merundingkan upahnya dan meminta kepastian dalam bentuk struktur dan skala upah. Bahkan hal tersebut jauh lebih menguntungkan karena nilai kenaikan upah sebenarnya menjadi rahasia yang mungkin tidak akan menimbulkan kenaikan harga secara signifikan. Mungkin inilah hikmahnya PP 78/2015. Lagi pula buruh jangan hanya berjuang untuk upah minimum, tapi perjuangkanlah kenaikan nilai pendapatan melalui perundingan atau think out of the box.
Jadi peningkatan upah buruh yang memiliki masa kerja lebih dari satu tahun ditentukan melalui perundingan berdasarkan struktur dan skala upah yang terbuka mungkin adalah hikmah dari PP 78/2015 ini. Lalu merundingkan nilai upah dengan mengutamakan dialog sosial dibandingkan turun ke jalan merupakan pola pemikiran yang out of the box saat ini buat buruh Indonesia.
Johannes Dartha Pakpahan: DPP SBSI, Advocate Muchtar Pakpahan & Associates.