Saat para guru honorer tengah disibukkan oleh upaya untuk mempersiapkan diri ikut test calon PPPK setelah sekian lama tak kunjung diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, maka status sebagai pekerja kontrak pun terpaksa diterima. Begitulah nasib jutaan guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun lamanya, cuma akan menjadi pekerja kontrak yang tengah dipersiapkan pemerintah.
Kisah pilu guru honorer kita di Indonesia mungkin dapat bercermim pada balada tragis Hervina dari Bone, Sulawesi Selatan yang sudah bekerja selama 16 tahun di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 169, Desa Sadar, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan dipecat oleh Kepala Sekolah tempat dia mengajar itu.
Pasalnya hanya karena menposting cerita dukanya yang sudah 16 tahun mengajar itu hanya menerima upah atau gaji cuma sebesar Rp 700 ribu rupiah untuk empat bulan mengajar. (Law Justice.Co, 12/02/2021), dia dipecat dari sekolah tempatnya mengajar.
Nasib malang yang nyaris serupa dari bilik lain bagi pekerja di Indonesia seperti yang menimpa Toloni Zendrato yang berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja karena sudah satu tahun lebih tidak menerima upah atau gaji, meski masalahnya sudah memiliki keputusan hukum tetap dari Dinas Tenaga Kerja di Kalimantan Barat.
Toloni Zendrato sepatutnya mendapatkan hak-hak aras gajinya yang sudah setahun lamanya itu dari PT. ASL Kalimantan Barat tempat dia bekerjanya sejak beberapa tahun silam. Namun hingga hari ini nasibnya nyaris tak berbeda dengan apa yang dialami oleh Hervina (34), seorang guru honorer yang telah 16 tahun lamanya mengabdi di republik ini.
Alih-alih bisa diangkat menjadi PNS agar bisa lebih terang masa depannya atau diterima menjadi PPPK seperti yang sedang digalakkan oleh pemerintah, justru nasib malang yang menimpa Hervina sangat tragis, dia dipecat tidak hormat dan tanpa pesangon.
Ikhwal kisah Hervina yang malang ini bermula dari keinginannya untuk curhat, mengunggah nilai upah atau gajinya yang cuma Rp 700 ribu untuk empat bulan itu. Ujungnya justru dipecat begitu saja oleh Kepala sekolah tempat dia bekerja, tanpa mengindahkan jasa pengabdian yang telah dilakukan Hervina sebelumnya.
Kisah Hervina yang malang ini menjadi bukti betapa bobroknya moralitas dan akhlak warga bangsa Indonesia sejak terjajah oleh sifat dan sikap kapitalistik, egois, dan cenderung memeras pihak lain untuk memperkaya diri sendiri.
Karena itu pemerintah daerah setempat harus dan patut untuk tanggap serta memberi sanksi keras pada Kepala Sekolah SDN 169 Desa Sadar, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Sebab prilaku serupa itu patut diduga adanya tindak pemerasan dengan hanya memberi upah atau gaji dalam jumlah yang tak layak.
Demikian juga perlakuan pihak PT. ASL terhadap Toloni Zendrato yang tidak juga mau memberikan hak-hak yang segarusnya diterima oleh pekerjanya. Sebab tragedi serupa ini jelas akibatnya bukan cuma sekedar masalah tindak pidana ekonomi, tetapi juga akibatnya dapat berakibat pada sosio-budaya bangsa yang semakin bobrok. Kapitalistik, egoisme dan korup.
Bagaimana bisa seorang guru honorer yang telah bekerja selama 4 (empat) bulan harus dibayar Rp 700.000 saja dari dana BOS yang ada.