SBSINews – Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani mendesak pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Revisi tersebut dibutuhkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak.
“Rakyat miskin kita 96,8 juta orang, ini salah satunya gara-gara UU 13. Ke depan kita harus melihat UU untuk penciptaan lapangan kerja, bukan seolah untuk mengurangi hak-hak normatif para pekerja,” ujarnya di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (9/8).
Hariyadi mengatakan, revisi UU Ketenagakerjaan ini tidak akan mengurangi hak normatif pekerja. Namun akan menjadi suatu alat untuk menyerap tenaga kerja lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 60 persen.
“Kalau hak normatif pekerja kan tidak mungkin juga dikurangin. Problem serius negara ini adalah hampir 60 persen tamatan SMP ke bawah dan orang miskin masih besar karena tidak bisa punya kerja dan tidak dapat terserap di pekerjaan yang layak,” jelasnya.
Sejauh ini, kata dia, Apindo sudah menyiapkan draft yang akan diusulkan kepada pemerintah. Pihaknya juga meminta semua stakeholder memberi masukan kepada pemerintah agar seluruh masalah ketenagakerjaan di Indonesia bisa terselesaikan.
“Kami Apindo menyiapkan drafnya, masing-masing pihak menyiapkan draf. Kalau ada pihak yang punya kepentingan menentang kami mengimbau lihat dulu faktanya yang terjadi. Saya berharap semua pihak memberikan drafnya,” jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan menteri Kabinet Kerja di Istana Kepresidenan Jakarta. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan Jokowi membahas usulan revisi UU Ketenagakerjaan.
“Ini ketenagakerjaan, rencana Undang undang nomor 13 tentang Ketenagakerjaan,” ujar Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (24/6).
Menurut Moeldoko tidak tertutup kemungkinan UU Ketenagakerjaan tersebut direvisi. Namun, Jokowi terlebih dahulu mendengarkan masukan baik dari para menteri maupun asosiasi pengusaha. “Kita dengerin suaranya teman-teman dari asosiasi,” kata dia.
KSPI Minta Penundaan Revisi UU Ketenagakerjaan
Vice Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Obon Tabroni meminta, usulan pengusaha untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) ditunda.
“Persoalan ketenagakerjaan bukan persoalan sepele. Sebab akan berdampak pada sekitar 80 juta buruh formal di Indonesia. Karena itu butuh kajian yang mendalam,” ujar dia di Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan rapat koordinasi dengan pihak terkait untuk menindaklanjuti usulan pengusaha melakukan revisi UU Ketenagakerjaan.
“Tidak akan maksimal dalam waktu 3 bulan undang-undang tersebut disahkan. Butuh pengkajian yang lama kalau hasil ingin maksimal,” lanjut Obon.
Dia khawatir, menjelang akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan akan terjadi proses transaksional .
Sebagaimana diketahui, pasal-pasal yang ada dalam UU Ketenagakerjaan berkaitan dengan upah, outsourcing, PHK, tenaga kerja asing, jaminan sosial, dan lain sebagainya. Semua hal tersebut terkait erat dengan kepentingan pengusaha dan buruh.
Ironisnya, Obon melanjutkan, saat ini isu yang kencang terdengar revisi ditujukan untuk mengurangi kualitas upah, mempermudah PHK, hingga penghapusan pesangon.
“Karena itulah, sebagian besar serikat buruh menolak revisi UU Ketenagakerjaan jika tujuannya untuk mengakomodir kepentingan pengusaha,” tegas Obon.
“Namanya saja UU Ketenagakerjaan. Karena itu semangatnya adalah memberikan proteksi terhadap kepentingan tenaga kerja,” dia menandaskan.
Presiden KSPI: Jokowi Setuju Revisi PP Pengupahan
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyampaikan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui tuntutan buruh terkait revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Persetujuan ini disebutnya telah diutarakan Jokowi saat serikat pekerja diundang ke Istana Bogor pada Jumat lalu.
“KSPI mengapresiasi dan berterimakasih kepada presiden Jokowi yang menyetujui adanya revisi PP 78. Meski kita belum tahu siapa yang akan menjadi presiden berikutnya,” ujar dia saat sesi konferensi pers di Hotel Mega Proklamasi, Jakarta, Senin, 29 April 2019.
Dengan begitu, ia mengatakan, pernyataan Jokowi perihal revisi PP 78/2015 tersebut akan coba KSPI deklarasikan saat perayaan May Day pada 1 Mei mendatang.
Menurutnya, perubahan formulasi peraturan tentang pengupahan ini wajib diimplementasikan, sebab kaum buruh menuntut untuk mendapat upah yang berkeadilan. “Kami enggak setuju upah murah. Kami setujunya upah berkeadilan,” seru Said Iqbal.
Dia pun menyoroti dihapuskannya hal runding buruh dalam PP Nomor 78, sehingga membuat pemerintah seolah sepihak dalam penentuan data upah minimum seperti yang dilakukan beberapa negara beraliran kiri.
“Data upah minimum itu sepihak pemerintah. Itu kek yang dilakukan negara komunis seperti Kuba dan Korea Utara. Itu bertentangan dengan bermacam aturan pada undang-undang tentang pengupahan,” tuturnya. (Sumber: liputan6.com)