Oleh: Arsula Gultom
Setiap gerakan melahirkan perlawanan pahlawan. Begitu juga dalam dunia pergerakan buruh. Di tanah air, gerakan buruh sudah dikenal sejak penjajahan Belanda masih menguasai wilayah Nusantara. Salah satu tokohnya kala itu adalah Semaun. Lalu di awal kemerdekaan ada nama SK Trimurti, serta Marsinah, dan Rusli dari Medan yang menjadi martir di era Orde Baru.
Di luar negeri, organisasi buruh demikian kuat. Di sejumlah negara, mereka membentuk partai politik dan berhasil menjadi partai penguasa. Meski gagal meraih kursi di parlemen, Muchtar Pakpahan pernah mencoba mentransformasikan organisasi buruh yang dipimpinnya menjadi partai politik.
Berikut ini perjalanan sejumlah aktivis buruh yang kiprahnya menjadi catatan sejarah yang dihimpun :
SK Trimurti
Soerastri Karma Trimoerti, begitu nama lengkapnya. Di balik tubuhnya yang mungil, sepak terjang istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah Proklamasi, itu tercatat ada di berbagai bidang. Selain dikenal sebagai pengajar, penulis, dan jurnalis, SK Trimurti dikenal sebagai seorang pejuang hak kaum buruh dan pergerakan perempuan. Ia pernah terpilih menjadi pengurus Partai Buruh Indonesia (PBI) dan gencar memperjuangkan hak-hak pekerja.
Selama berada di PBI, Trimurti memimpin Barisan Buruh Wanita (BBW), yang tergabung dalam beberapa kelompok pekerja wanita. Kemudian BBW menjadi sayap perempuan Partai Buruh Indonesia.
Karena kreaktifannya di dunia perburuhan, pada masa pemerintahan Soekarno, ia menjadi Menteri Perburuhan kabinet Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, 1947-1948.
Marsinah
Ahli forensik dr Mun’im Idries, dalam buku ‘Indonesia X-Files’ (2013), menyimpulkan kematian Marsinah akibat luka tembak. Selain itu, buruh perempuan asal Sidoarjo itu mengalami penyiksaan yang dahsyat, termasuk di bagian tubuh yang sangat pribadi.
“Kerusakan sedemikian hebat, padahal pangkal kerusakan itu dimulai dari labia minora kiri. Sebagai saksi ahli, saya berpendapat, kematian Marsinah akibat luka tembak,” tulis Mun’im.
Kasus bermula dari sikap PT Catur Putera Surya (CPS) yang mengabaikan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No. 50 Tahun 1992 untuk menaikkan upah buruh. Marsinah bergerak bersama rekan-rekannya sesama buruh di pabrik itu pada 3 dan 4 Mei 1993 untuk menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250.
Selain luka memar di bagian leher dan kedua lengan dan kakinya akibat benturan benda keras, diduga Marsinah diperkosa sebelum dibunuh. Meski begitu, hingga sekarang otak pembunuhan tak terungkap. Para terdakwa yang pernah divonis dibebaskan MA pada 29 April 1995.
Marsinah memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien pada 1993. Kasus ini pun menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), yang dikenal sebagai kasus ‘1713’.
Rusli
Rusli adalah seorang buruh di PT. Industri Karet Deli Medan atau PT. IKD, yang juga pengurus komisariat SBSI PT.Industri Karet Deli.
11 Maret 1994 satu hari menjelang lebaran mereka mogok menuntut pembayaran THR, dengan Mogoknya spontanitas.
Tetapi aparat keamanan ABRI melakukan kekerasan membubarkan aksi mogok tersebut. Korbannya Rusli, mayatnya pada 12 Maret ditemukan di sungai deli yang melintasi PT. IKD.
Demo inilah yang memenjarakan 289 pengurus dan anggota SBSI. Di antaranya Muchtar Pakpahan, Amosi Telaumbanua, Daulat Suhombing, Riswan Lubis, dll.
Ribuan buruh pada tanggal 14 April 1994 melakukan pemogokan dengan turun ke jalan. Mereka berasal dari 50 pabrik yang berada di Kawasan Industri Medan (KIM) Sumatera Utara berjumlah kurang lebih lima puluh ribu buruh.
Tuntutan buruh antara lain agar upah dinaikkan dari Rp. 1600,- menjadi Rp. 7.000,-/hari, menuntut kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana telah dijamin oleh UU.
Muchtar Pakpahan
Pendiri sekaligus Ketua Umum Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) ini kerap melakukan demo di era Orde Baru. Organisasi yang dipimpinnya menjadi pesaing Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang cenderung kooperatif dan tunduk pada pemerintah. Tak mengherankan bila aktivitas Muchtar dan SBSI kerap dicitrakan negatif oleh penguasa.
Memasuki era reformasi, Muchtar mencoba mentransformasikan SBSI menjadi partai politik, Partai Buruh Nasional (PBN). Partai ini ikut dalam Pemilu 1999, tapi gagal mendapat suara signifikan.
Muchtar Pakpahan, lelaki kelahiran Bah Jambi 2 Tanah Jawa, Simalungun, Sumatera Utara, 21 Desember 1953 ini adalah pendiri dan Ketua Umum DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (1992-2003), yang merupakan organisasi buruh independen pertama di Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai anggota Governing Body ILO mewakili Asia, dan Vice President World Confederation of Labor, ILO. Pada tahun 2003 dia meninggalkan Serikat Buruh dan mendirikan Partai Buruh Sosial Demokrat.
Memperoleh gelar Sarjana Hukumnya di Universitas Sumatera Utara (USU). Dia menyelesaikan Program Pasca Sarjananya S2 politik di Universitas Indonesia (UI) tahun 1989 dan S3 gelar doktor hukum juga di Universitas Indonesia tahun 1993. Ia berhasil mempertahankan disertasinya dengan perjuangan yang sangat berat menjadi buku judulnya DPR SEMASA ORDE BARU.
Januari 1994 ditahan di SemarangAgustus 1994 – Mei 1995 dipenjarakan di Medan karena kasus demonstrasi buruh pertama di IndonesiaJuli 1996 – 1997 dipenjarakan di LP Cipinang, karena rangkaian disertasi ia menulis buku Potret Negara Indonesia yang isinya diperlukan reformasi sebagai alternatif Revolusi. Ancaman pidana mati, melakukan subersive.
LECH WALESA
Namanya tercatat sebagai tokoh di balik pemogokan massal pekerja galangan kapal di Polandia pada 1970 dan 1980. Organisasi Buruh Solidarnosc (Solidaritas) yang didirikannya begitu populer ke seantero dunia.
Anak petani kelahiran Popowo, 29 September 1943, itu dikenal sebagai penganut Katolik yang taat. Pada Desember 1981, rezim komunis di bawah Jenderal Edward Gierek memberlakukan darurat militer dan Solidarnosc dianggap ilegal. Walesa pun dipenjarakan hingga November 1982. Sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian 1983.
Pada Desember 1990, Walesa terpilih sebagai Presiden Republik Polandia. Tapi lima tahun kemudian dikalahkan oleh bekas tokoh komunis Aleksander Kwasniewski.
Lula Da Silva
Sejak usia 12 tahun, Lula hidup di jalanan Rio de Janeiro, Brasil. Ia menjadi tukang semir sepatu dan menjual kacang untuk menyambung hidup. Saat bekerja di perusahaan otomotif bertahun kemudian, jarinya putus dilibas mesin bubut. Kejadian itulah yang mendorong Lula mengorganisasi kawan-kawannya sesama pekerja membangun serikat dan memperjuangkan hak-haknya.
Pada 1971, istrinya, Maria de Lourde, meninggal dunia akibat hepatitis yang tak terobati karena ketiadaan uang. Tujuh tahun kemudian, Lula menjadi Presiden Serikat Buruh Pabrik Baja.
Tiga kali maju sebagai calon presiden, Lula akhirnya terpilih pada 2002. Rakyat kebanyakan begitu mencintai gaya kepemimpinannya yang egaliter hingga Lula kembali terpilih untuk masa bakti kedua.
Pada 2009, sutradara Brasil, Fábio Barreto, mengangkat kisah hidup Lula ke layar lebar. Judulnya ‘Lula, o Filho do Brasil (Lula, The Son of Brazil)‘.