Oleh : Andi Naja FP Paraga
Frase”Kafir” kembali menjadi perdebatan publik di Abad ini dimana semestinya sudah selesai sejak berabad-abad silam.
Tajamnya perdebatan kali ini khususnya di Indonesia lebih disebabkan oleh kepentingan politik menjelang pemilihan umum dan faktanya sejak pemilu era orde lama, orde baru hingga orde reformasi selalu saja frasa “kafir” digunakan menjadi salah satu alasan memilih atau mendukung seorang calon legislatif, calon presiden bahkan memilih partai politik.
Pasca Musyawarah Nasional (MUNAS) Nahdatul Ulama Tahun 2019 yang lalu perdebatan siapa sesungguhnya disebut kafir dalam pandangan Islam itu mulai terbuka kembali dikalangan Tokoh Ormas Islam dan Ulama.
Pandangan Moderat datang dari Prof. Dr KH Said Agil Siradj Ketua Umum Dewan Tandfidziyah Pengurus Besar Nahdatul Ulama.
Beliau berkata Frasa kafir didalam Islam era Nabi Muhammad SAWW hanya muncul saat beliau masih menetap di Mekkah selama 13 tahun menyampaikan misi dakwah yang kerap disebut periode Mekkah, sedangkan 10 tahun periode Madinah terhitung pasca pindahnya (hijrah) Nabi Muhammad SAWW dan Umat Islam dari Mekkah ke Madinah, frasa kafir untuk menyebutkan Non Muslim tidak muncul ssebagai julukan atau panggilan walaupun ada tiga suku besar Bani Israel yang sudah tinggal di Madinah sejak waktu yang lama, diantaranya Bani Nadhir, Bani Qainuqa dan Bani Quraidha.
Berbeda dengan pandangan KH Lutfhi Bashori yang berpandangan frasa kafir itu tetap ada pada periode Mekkah dan periode Madinah bahkan digunakan oleh Nabi Muhammad SAWW semasa hidupnya bahkan menjuluki Khiayanatul Aqal dan Khiyanatul Naqli (berkhianat terhadap Akal dan kitab suci) terhadap ulama-ulama yang berbeda pandangan dengannya.
Beliau mengatakan frasa kafir itu tetap muncul sebagai istilah terhadap non muslim dengan merujuk pada ayat – ayat suci yang diturunkan di Madinah yang kerap menggunakan frasa kafir.
Perbedaan pandangan didalam Islam itu sudah hadir sejak dahulu kala termasuk penggunaan kata”kafir”. Hanya saja ketika ditarik pada konteks kebangsaan tentu istilah kafir ini tidak perlu menjadi penekanan terhadap status keagamaan warga negara yang non muslim.
Pandangan ini termaktub dalam hasil Musyawarah Nasional Ulama – Ulama Nahdatul Ulama, bahwa dalam konteks kebangsaan frase ini tidak harus menjadi panggilan dan julukan karena penganut agama apapun di indonesia adalah warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama
Salah seorang tokoh dan dan cendikiawan Muslim Indonesia yang juga Politisi serta Anggota DPR RI Prof. Dr. KH Jalaluddin Rakhmat, MSC. berpandangan frasa kafir itu adalah persoalan moral dan julukan bagi orang – orang secara moral menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan, sifat – sifat hidup melampau batas, tidak bersyukur, berkhianat, menumpahkan darah sesama manusia tanpa hak, merampas hak orang lain justru itu perbuatan kafir.
Menurutnya beliau Frase”kafir” bukan dalam konteks keyakinan, bahkan menurutnya frase “beriman” didalam Al Qur’an itu meliputi semua pihak termasuk dari Kelompok Yahudi dan Kelompok Nasrani yang berjuluk “Ahlul Kitab” atau kelompok yang menganut Kitab Zabur, Taurat dan Injil. Siapapun mereka sepanjang menganut dan mempedomani kitab suci yang diyakininya semuanya adalah orang beriman.
Perdebatan fras “Kafir” memang tidak akan pernah berakhir atau tidak ada sama sekali, namun jangan sampai merusak kerukunan kita sebagai bangsa yang majemuk yang telah merawat keberagaman dan perbedaan ini berabad – abad dan selalu menjadi komoditi politik setiap memasuki pemilihan Umum.
Silahkan berdemokrasi sebebas – bebasnya tanpa menyeret – nyeret perbedaan keyakinan beragama dan menggunakan istilah – istilah yang mencedrai rasa persaudaraan sesama umat beragama di Indonesia.(04/03/19 ANFPP)