Copas dari Tigor Azaz Nainggolan: Catatan Singkat tentang Regulasi Taksi Online.
Beberapa waktu lalu kita mendapat kabar bahwa Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: 108 Tahun 2017 tentang Taksi Online (PM 108/2017) kembali dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI (MA).
Permohonan Uji Materil terhadap PM 108/2017 tersebut diajukan oleh beberapa orang pengemudi taksi online yang merasa bahwa regulasi tersebut merugikan usaha taksi online mereka. Keberatan mereka adalah karena PM 108/2017 tetap memuat 14 poin aturan yang sudah dibatalkan oleh MA atas Uji Materil terhadap regulasi taksi online sebelumnya. Para pemohon Uji Materil berpendapat bahwa 14 poin aturan dalam regulasi Taksi Online sebelumnya, PM 26/2017 yang dibatalkan MA seharusnya tidak boleh dimuat atau digunakan lagi dalam PM 108/2017.
Penolakan terhadap pemuatan 14 poin aturan kembali ke dalam PM 108/2017 inilah pangkal persoalannya. Pemuatan kembali 14 point memunculkan kesan buruk terhadap kinerja pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Awalnya Kemenhub membuat payung hukum usaha taksi online ini diatur dalam PM 32/2016. Namun PM 32/2016 ini ditolak oleh masyarakat pengusaha taksi online. Kemudian PM 32/2016 ini dirubah menjadi PM 26/2017. Keberadaan PM 26/2017 ini pun tidak lepas dari penolakan para pelaku usaha taksi online. Beberapa pemilik taksi online mengajukan permohonan Uji Materil terhadap PM 26/2017 ke Mahkamah Agung (MA).
Permohonan uji materil tersebut diterima dan MA membatalkan 24 poin aturan dalam PM 26/2017. Dalam putusannya MA memerintahkan pemerintah dalam hal ini kementerian perhubungan (Kemenhub) membuat peraturan baru. Putusan MA tersebut dipenuhi oleh Kemenhub dengan membuat peraturan baru yakni PM 108/2017. Namun PM 108/2017 itu kembali ditolak dan diajukan uji materil karena memuat kembali 14 poin aturan dari PM 26/2017 yang sudah dibatalkan oleh MA. Upaya uji materil tersebut diterima oleh MA dengan membatalkan PM 108/2017 karena memuat kembali pengulangan 14 poin yang sudah dibatalkan oleh MA.
Melihat proses pembuatan regulasi taksi online yang tiga kali ditetapi tetap gagal dan ditolak oleh MA menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan dan kualitas profesionalisme pemerintah dalam meregulasi keberadaan taksi online. Pertanyaan itu wajar karena sudah tiga kali membuat peraturan tetapi tetap ditolak dan dibatalkan.
Bagaimana kualitas pemerintah, dimana Kemenhub tiga kali gagal membuat peraturan ? Begitulah kritik yang muncul dari publik. Bayangkan saja dalam satu waktu dan topik sama tentang regulasi taksi online, Kemenhub tidak bisa membuat peraturan yang baik dan kuat ?
Ada baiknya presiden Jokowi mengevaluasi kinerja jajaran Kemenhub karena sudah tiga kali gagal membuat regulasi yang sama. Evaluasi atas jajaran Kemenhub harus dilakukan karena keledai saja tidak mau dua kali jatuh pada lobang yang sama. Sementara jajaran Kemenhub sudah tiga kali gagal dalam lobang yang sama, yakni gagal membuat regulasi taksi online.
Untuk itu seharusnya menteri perhubungan meminta pendapat dan arahan kepada Presiden dalam membuat regulasi taksi online. Sebaiknya menteri perhubungan menyatakan bahwa akan meminta pendapat dan arahan kepada Presiden untuk membuat regulasi pengganti PM 108/2017. Atas dasar itu presiden bisa meminta pendapat atau masukan kepada Mahkamah Agung agar pemerintah bisa membuat peraturan tentang taksi online yang benar dan kuat. Langkah perbaikan di atas perlu dijalankan agar kelak peraturan taksi online yang baru kuat, diterima publik dan tidak ditolak lagi oleh Mahkamah Agung. Jadi menteri perhubungan tidak perlu terlalu cepat mengatakan bahwa bulan Oktober 2018 akan ada regulasi baru tentang taksi online tanpa berkonsultasi dengan Presiden.
Semarang, 19 September 2018
Azas Tigor Nainggolan, Analis Kebijakan Transportasi dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA).