Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis 98’ dan Kelomok Cipayung.

Ditulis Oleh: Natalius Pigai

(Hari ini, 3 orang Rakyat Sipil dibunuh Pemerintah Jokowi di Keneyam, Nduga Papua) Ironis memang, judul ini sedikit keras, sekeras kepala batunya orang Papua dan sekasar-kasarnya orang Papua.

Apa adanya, tanpa tedeng aling-aling dan munafik. Kami juga bukan manusia tipe kedondong tetapi tipe durian. Kasar di luar halus di dalam. Kami tidak perlu dipaksa berlanggam Jawa terlihat seperti halus, terlihat harmoni. Namun kasar dan keji.

Jokowi sampai saat ini tidak pernah bicara tentang persoalan manusia dan bagaimana menyelamatkan manusia Papua serta menghentikan kejahatan kemanusian dan menciptakan prospek perdamaian. Jokowi lebih banyak eksploitasi penderitaan infrastruktur tentang Nduga sebuah kabupaten kecil di Papua yang memang satu-satunya ruas jalan hasil keringatnya selama 4 tahun di Papua dan sebuah pasar mama-mama senilai 50 miliar, sebuah proyek kecil yang bisa saja dibangun oleh Pemerintah Kota Madya Jayapura sendiri.

Lebih ironis! Bahwa eksploitasi infrastruktur di Nduga ternyata bukan sekedar pembangunan yang luhur dan niat yang tulus. Hari ini rakyat Nduga berada dalam teror dan ancaman karena operasi militer yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi. Masyarakat Alguru berada dibawah kepungan militer. Hari ini 3 sipil di Keneyam dibantai karena operasi militer.

Berbagai hasil penelitian oleh lembaga kredibel internasional telah menyatakan adanya ancaman pemusnahan etnis Papua secara perlahan (slow motion genocide) dan genocida yang diabaikan (neglected genocide in west Papua). Kedua laporan yang dikeluarkan baik oleh gereja Katolik Brisbane Australia juga oleh Amnesti International ini juga melengkapi berbagai laporan lainnya termasuk laporan-laporan penyelidikan Komnas HAM RI.

Sekarang sudah tidak bisa dibendung lagi bahwa Papua sudah berada dalam genggaman dunia internasional. Papua setelah lebih dari 50 tahun berada dalam sunyi dan bisu sebagai arena pembantaian yang tersembunyi karena negara pandai menutupi semua kejahatan kemanusiaan yang terus menerus berlangsung.

Dunia internasional mengenal Papua adalah pulau terbayang (tera incognita), arena tragedi terlupa (killing filed in the darkness atau blank spot). Kemajuan teknologi informasi yang bergerak cepat secara bebas hambatan menembus batas wilayah negara (borderless nations) telah membuka berbagai kedok dan kejahatan dan tragedi kemanusiaan di Papua yang telah berlangsung lama dan kebencian masif pada Indonesia semakin hari makin solid.

Quo vadis adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara harafiah berarti: “Ke mana engkau pergi?”

Apakah Indonesia akan tetap bertahan? Pertanyaan ini untuk dijawab, tetapi juga hanya sekedar untuk bisa di renungkan. Di lihat dari sudut pandang historiografi dan kartografi politik, maka Indonesia adalah negara yang paling labil dan memiliki potensi disintegrasi politik paling mungkin di dunia. Meski pun dalam negeri Britania raya terancam pecah karena perbedaan keyakinan dengan Irlandia utara, namun Kepulauan Inggris Raya adalah negeri sentrum utama penjajah. Sampai saat ini tidak ada negara besar dan luas yang terdiri dari gugusan pulau-pulau bisa bertahan selama Indonesia.

Dalam historiografi politik, Sriwijaya negeri maritim yang disegani dengan armada laut dan tata niaga sektor laut yang kuat akhirnya runtuh. Demikain pula Majapahit dengan wilayah kekuasaannya dari Madagaskar sampai Formosa juga hanya tinggal nama. Inggris raya negeri asal penjajah dengan imperiumnya luas dibawah naungan britis commonwealt of nation, negara maritim seperti Jepang, sejak 1945 paska peritiwa penyerangan ke Hawai dan kekalahan akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki sektor pertahanan masih dibawah protektorat Amerika yang berkedudukan di Okinawa. Demikian pula Philipina negara yang mungkin paling kuat sebagai negara Katolik di bawah pengaruh imperium Vatikan dan juga Amerika Serikat.

Ada beberapa faktor yang bisa menjadi ancaman serius integrasi nasional:

1). Sebagai negara Kepulauan secara geopolitik Indonesia berada dalam kekuatan Eksternal (external treath) sebagai ancaman Labilitas integrasi nasional. 2). Selain itu juga berbatasan langsung dengan 13 negara tetangga sebagai musuh. 3). problem politik kawasan Asia Tenggara seperti konflik laut China Selatan. 4). dinamika politik yang ditunjang persaingan pengaruh penetrasi kapital kekuatan China dan Barat. 5). fragmentasi ideologi agama paska perang teluk dan 911. 6). Belum lagi Indonesia terancam bahaya perang proxy melalui jaringan teknologi informasi yang bergerak cepat membuat dunia ini tanpa batas (borderless nations).

Selain penetrasi kapital juga hegemoni sipil dan militer telah menjadi kian mengancam negeri ini. Korporasi asing yang menguasai sendi-sendiri perekonomian nasional, konglomerasi kelompok elit oligarki yang menguasai lebih dari 70 persen kekayaan nasional baik berupa sumber daya alam, penguasaan tanah juga penguasa fiskal dan moneter melalui permainan volatilitas mata uang baik Juan maupun juga USD dan akhir-akhir ini sing dolar.

Selain ancaman eksternal juga Indonesia adalah negara memiliki labilitas integrasi nasional dari ancaman internal. Selain keanekawargaan suku, agama, ras dan antar golongan hari ini telah menjadi komoditas politik yang membahayakan. Politik rasisme yang makin mengkristal, demikian pula kelomok oligarki politik tingkat nasional yang mengedepankan politik primordialisme, penuh dengan nepotisme.

Monopoli suku bangsa Jawa yang menguasai politik nasional adalah ancaman serius Indonesia akan bubar. Bayangkan 72 tahun Indonesia merdeka Presiden selalu bersuku bangsa Jawa, sedangkan luar Jawa dianggap sebagai kacung dan babu politik. Sistem demokrasi satu orang, satu suara dan satu nilai (One men, One vote and One value) hanya dibuat untuk menguntungkan dan melestarikan adidaya bangsa Jawa menguasai panggung politik nasional. Pada hal sistem perwakilan dan sistem proporsional atau sistem pemilu berbasis representasi wilayah jauh lebih relevan dibandingkan pemilihan berbasis penduduk.

Kenyataannya, kita lihat pemimpin amatiran muncul dari pulau Jawa dan akan terus muncul jika sistem demokrasi tidak disesuaikan dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia. Presiden Jawa yang terbaik hanya Ir. Sukarno dan SBY, sedangkan Suharto alumni SMP di Godean Yogya bernalar otoriter, Megawati, Gusdur orang hebat di tempat yang tidak telat (rightmen on The bed place), juga Joko Widodo pemimpin. Presiden dari Jawa muncul hanya sebagai pemimin yang melakukan ekperimen atau coba-coba untuk menjadi pemimpin karena didorong mayoritas suara, maka negara dikelola secara amatiran dan negara cendrung menjadi amatiran, kata Yusril. Monopoli kekuasan oleh suku bangsa Jawa akan menjadi benih perpecahan. Pengusiran besar-besaran terhadap orang Jawa di Aceh, peristiwa Sampit, Sambas, Armopa di Papua telah memberi signal bahwa ancaman terhadap suku bangsa Jawa itu akan ada pada masa yang akan datang.

Faktor kepemimpinan nasional menjadi problem penentu integrasi nasional. Berbagai persoalan yang muncul di bangsa kita ini hanya karena Presiden tidak mampu mengelola politik dan pemerintahan secara baik dan benar. Mungkin bangunan sosial baik vertikal antar suku, agama, ras dan antar golongan ikut hancurkan, selain itu adanya hegemoni negara secara wewenang-wenang menekan rakyat, sementara rakyat apatis pada negara dan negara kian kehilangan wibawa di hadapan rakyat.

Problem hak asasi manusia adalah faktor terpenting yang mengancam keutuhan NKRI atau Indonesia bubar 2030, bahkan sebelumnya. Tesis ini paling mungkin karena hari ini kita berada di era milenium kemanusiaan (human right milenium) di mana pilar demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian menjadi pilar penting.

Siapa yang bilang kalau Jokowi tidak memiliki catatan kelam atau catatan buram sebagai seorang yang dapat diindikasikan sebagai pelaku pelanggar HAM berat selama 4 tahun kepemimpinan, jika dilakukan penyelidikan secara profesional dan imparsial?

Dilihat dari kebijakan dan tindakannya dalam memimpin negeri ini selama 4 tahun sederet kasus pelanggaran yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki keterkaitan dengan kepemimpinan Jokowi jika dilihat dari perspektif hukum HAM:

1. Kasus Paniai tercatat sebagai kejahatan kemanusiaan (gross violation of human right) termasu dalam kategori pelanggaran HAM berat yang berkasnya sedang diproses dan terhenti di Komnas HAM. Kasus Paniai adalah salah satu hasil produk rezim kepemimpinan Joko Widodo. Jokowi menitipkan peristiwa kelam baru bagi bangsa ini. Sebagai kepala negara, Jokowi tidak bisa lepas tanggung jawab (commander resposibilities). Bagaimana pun juga Jokowi menambah 1 berkas pelanggaran HAM berat di Komnas HAM.

2. Adanya penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan/penganiayaan (torture) dan pembunuhan (kilings) terhadap lebih dari 6 ribu orang Papua selama 3 tahun merupakan catatan negatif rezim Jokowi. Jokowi tidak bisa menghindari sebagai kepala negara/kepala pemerintahan sebagai penanggungjawab komando (commander resposibilities).

3. Dugaan terjadinya genocida secara perlahan melalui berbagai kebijakan (slow motion genocide) di Papua berdasarkan hasil penyelidikan beberapa lembaga internasional, menguatkan dugaan Jokowi sebagai kepala negara, dengan sadar atau sengaja (by commision) melakukan pembiaran (by ommision). Hasil penyelidikan keuskupan Brisbane Australia menyatakan secara fakta terjadi genocida perlahan (slow motion genocida in west Papua) di Papua. Demikian pula amnesti internaional juga menyatakan genocida yang disembunyikan di Papua (neglected genocida in west Papua). Laporan kejahatan kemanusiaan ini telah mendunia dan Indonesia telah dikategorikan sebagai pelaku utama pembatain di tanah Papua. Peristiwa Rasialisme yang didorong atas dasar kebencian Etnis atau Papua Phobia atau Melanesiaphobia tidak hanya terjadi di Papua. Berbagai teror terhadap mahasiswa Papua di hampir seluruh kota studi di pulau Jawa termasuk peristiwa Obi di Yogya, Malang, Surabaya dan lainnya telah menujukkan ancaman kesalahan terhadap mereka.

4. Berbagai operasi militer di Papua yang berlangsung terus menerus bersendikan keamanan. Operasi militer justru menimbulkan berbagai korban di rakyat sipil. Penangkapan, penahanan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap rakyat sipil juga terus menerus menyertai dalam operasi militer hampir seluruh Papua. Berbagai peristiwa operasi militer sebagaimana terjadi di Timika, Nduga, Paniai, Wamena Barat, puncak Papua, Seluruh wilayah perbatasan.

Tindakan 1 dan 4 ini mengancam integritas nasional. Kita menyaksikan sendiri Pemerintah kepemimpinan Jokowi didemo di luar negeri sebagai penjahat kemanusiaan terhadap rakyat Papua. Berbagai kritikan oleh orang asing juga di dalam negeri menunjukkan bahwa kredibilitas Jokowi sudah mulai mulai hancur.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika faktor kepemimpinan sangat menentukan sebagai perekat bangsa, mampu mengontrol secara baik, tidak membohongi dan mengumbar janji, tidak mengejar citra, tidak haus kekuasan dan jabatan. Pemilihan umum sudah dekat, negara harus mencari solusi untuk menciptakan tanah Papua damai, aman, tenteram dan sejahtera. Oleh karena tabiat pemimin sekarang ini adalah pemimpin tanpa simpati kemanusiaan di Papua, maka Indonesia harus mencari figur yang tepat dan mampu membawa perubahan baik demokrasi, perdamaian dan hak asasi manusia di tanah Papua.

Penulisa adalah mantan Komisioner Komnas HAM, aktivis kemanusiaan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here