Ditulis Oleh: Jacob Ereste
Kemerdekaan itu memang sangat mahal. Nilainya terkadang tidak bisa ditebus dengan uang. Misalnya seorang yang tidak mau dibelenggu oleh cara kerja rutin seperti pegawai negeri sipil, maka baginya memilih kerja serabutan mungkin dia rasa lebih baik.
Seorang rekan yang bekerja sebagai jurnalis profesional, justru menolak dipromosikan menduduki kepala personalia diperusahaan tempatnya bekarja, sehingga ia memilih mundur dan pindah ke media lain untuk tetap menjadi pekerja pers yang tetap bisa menulis berita seperti pekerjaan sebelumnya.
Karena bagi seorang pekerja seperti dia, keleluasaan mengekspresikan diri melalui tulisan, laporan atau pemberitaan tidak hanya merupakan kepuasaan, tapi juga suatu kemerdekaan.
Kedaulatan bagi rakyat sebetulnya adalah wujud dari jaminan hak-hak paling mendasar dari kemerdekaan yang sejatinya bagi yang harus dan mutlak untuk dijalankan.
Jika tidak, maka rakyat patut jadi murka, lantaran rakyat sangat paham telah dikhianati mereka atau rezim yang harus dan mutlak menjalankannya sesuai dengan amanah UUD 1945, Pancasila yang menjadi falsafah bangsa Indonesia.
UUD 1945 adalah perjanjian luhur bangsa Indonesia sejak proklamasi dikumandangkan untuk dijadikan pedoman setiap warga bangsa dengan rumusan Pancasila yang dijadikan falsafah atau pandangan hidup yang tidak bisa ditawar-tawar.
Oleh sebab itu amandemen terhadap UUD 1945 pun menjadi sangat sensitif bagi banyak orang yang pada awalnya hanya ingin penegasan semata tentang jabatan Presiden harus dan mutlak boleh dijabat oleh orang Indonesia asli dan terbatas hanya dua priode saja. Artinya tak boleh dijabat seumur hidup.
Begitulah makna kemerdekaan pun tidak berarti tidak terbatas dalam tata negara kita. Amandenen UUD 1945 kita selain cacat hukum, cacat teknis dan cacat konsep karena adanya bab yang kosong, juga pasal yang mengatur hak orang banyak atau rakyat, bumi dan air serta sumber alam jadi terbantai atau diabaikan.
Itu sebabnya sumber alam kita berikut tanah dan air kita semakin habis tergadai pada bangsa asing. Dalam konteks inilah kedaulatan rakyat Indonesia itu sesungguhnya telah pupus. Apa lagi mau mimpi tentang hasrat kerdaulatan pangan.
Itu kedaulatan ekonomi kita yang mau diramu dalam konsep nawacita. Toh dalam politik sudah terbukti sejumlah UU dan peraturan lahir dari konsep asing juga.
Lebih ngeri dan amat sangat memprihatinkan ialah kedaulatan budaya kita yang membebek pada budaya asing pula.
Lalu dimanakah sesungguhnya kemerdekaan dan kedaulatan kita sebagai rakyat maupun selaku bangsa Indonesia yang telah sepakat serta bertekad hendak menghapus penjajahan di dunia?
Padahal, hanya untuk memproklamasikannya dahulu, para pendahulu kita telah banyak berkorban. Tidak cuma harta benda, tapi juga nyawa.
Jadi, betapa naifnya kita selaku generasi penerus tidak memahami betapa mahal nilainya yang tersia-siakan.
Penulis adalah aktivis Atlantika Institut Nusantara
“Tulisan ini untuk memenuhi permintaan khusus kawan-kawan dari PKRI untuk deklarasi menyongsong milad serta peringatan Proklamasi Republik Indonesia,17 Agustus 2018,”