Lelaki itu terbaring sendirian. Kamarnya pengab dan bau. Ginjalnya kronis. Tubuhnya mulai bengkak. Wajahnya sembab. Obat-obatan yang selama ini menjadi penopangnya, telah dibuang oleh tentara. Dokter yang merawatnya seringkali menangis diam-diam. Hanya ada vitamin dan royal jelly yang boleh diberikan untuk pasiennya.

Ini bukan pengobatan. Ini hanyalah cara halus untuk membunuh.

Dokter itu sadar, kekuasaan yang baru saja berdiri hanya membolehkannya datang untuk merawat sebisanya. Bukan untuk penyembuhan. Di kamar yang pengab itu, seorang lelaki perkasa, seperti dibiarkan mati pelan-pelan. Jiwanya di penjara. Badannya dikurung. Bathinnya dikungkung.

Kadang, pada malam hari, lelaki itu menangis menahan sakit yang luar biasa. Para tentara yang berjaga di depan kamarnya, sebagian tidak tahan. Satu-dua mereka ikut mengusapkan air mata mendengar rintihan orang yang dulu dikaguminya.

Setelah dipindahkan dari istana Bogor, Soekarno diasingkan ke Wisma Yaso, Jakarta. Ditempatkan dalam kamar yang sumpek dan bau, dia dibiarkan berjuang dengan penyakitnya. Dijaga dengan ketat seperti layaknya seorang tahanan.

Hatta, sahabatnya, mendengar derita Soekarno dengan perasaan yang hancur. Di rumahnya sering dia menangis sesegukkan membayangkan seorang sahabat, yang dulu bersama-sama menorehkan proklamasi bagi negeri ini, kini teronggok dengan rasa sakit yang menggigit dan jiwa yang robek. Dia menulis surat kepada penguasa saat itu, meminta untuk membesuk sahabatnya itu.

Atas desakannya, penguasa Orde Baru memberikan izin terbatas.

Di kamar, di Wisma Yaso, Hatta memandangi Soekarno yang tergolek lunglai. Lelaki yang dulu gagah dengan suara menggelegar, kini wajahnya membengkak akibat ginjal yang tidak normal. Matanya berat. Guratan rasa sakit terlihat jelas.

“Bagaimana kabarmu, No,” bisik Hatta ke telinga sahabatnya. Dia menggenggam tangan Bung Karno. Air matanya jatuh melihat kondisi itu.

“Hoe gaat het met Jou?” jawab Bung Karno, dengan bahasa Belanda –Bagaimana juga kabarmu. Setelah itu keduanya terdiam. Soekarno tetap memejamkan matanya yang berat. Hatta hanya sanggup menatap. Memandangi sosok yang terbaring lunglai hanya menggenakan kaos dalam yang lusuh. Ia memandang orang yang seluruh jiwanya ditumpahkan untuk rakyat dan bangsa ini. Kini Soekarno ditahan di kamar sempit. Menderita penyakit kronis dan dibiarkan menahan tusukan rasa ngilu.

Mereka berpelukan. Lama sekali. Pembuangan ke Boven Digul atau ke tempat lain oleh penjajah Belanda, mungkin tak ada artinya bagi Soekarno. Ia menjalani sebagai konsekuensi perjuangan. Tapi dipisahkan dari rakyat dengan cara yang menyakitkan, sungguh penyiksaan yang sangat perih.

Pernah sekali waktu, menjelang diusirnya Bung Karno dari Istana Bogor, seorang ajudan memprotes. “Kenapa bapak tidak melawan? Kenapa bapak diam saja diperlakukan seperti ini?”

“Aku tidak mau bangsa ini terseret dalam perang saudara. Dulu kita melawan Belanda. Tubuhnya beda, hidungnya beda dengan kita. Sekarang aku tidak mau melawan bangsa sendiri. Yang wajahnya sama. Keluarga dan kerabatnya sama. Aku tidak mau bangsa ini hancur berkeping-keping,” ujar Bung Karno tegas.

Jawaban itu disambut dengan sesegukan para ajudan dan pembantu setianya. Mereka tidak tega melihat seorang Proklamator diperlakukan begitu bengis. Sementara rasa cintanya pada Indonesia tidak jua terkikis.

Di kamar pengab Wisma Yaso kini, kedua proklamator menangis bersama. Meneteskan air mata dalam rasa perih. Beginikah ungkapan terimakasih sebuah bangsa kepada seorang yang seluruh hidupnya diabdikan untuk kemerdekaan?

Tidak lama setelah pertemuan itu, Bung Karno meninggal. Penguasa Orde Baru melarang rakyat melampiaskan rasa berkabung. Tentara mengusir kerumunan orang dari jalan-jalan.

Tapi duka itu terlalu dalam. Isak tangis terdengar dari rumah-rumah. Orang tetap memenuhi jalan. Melepaskan kepergian seorang bapak bangsa. Langit sedikit mendung siang itu. Seperti mengantarkan sang putra fajar kembali menemui Tuhannya.

Praibadi-pribadi besar, yang kepergiannya ditangisi jutaan orang. Kekuasaan sebengis apakah yang mampu membendung air mata?

Hari itu, 21 Juni 1970. Tercatat sebagai hari duka bagi Bangsa Indonesia.

Pada tanggal yang sama sembilan tahun sebelumnya, 21 Juni 1961. Seorang lelaki bernama Wijiatno Notomijarjo menunggui kelahiran anak pertamanya di RS Bersalin Brayat Minulyo, Solo. Sujatmi, istrinya yang baru berusia 18 tahun sedang berjuang di ruang bersalin.

Puji syukur, bayi lelaki itu lahir sehat. Ayahnya memberi nama Mulyono. Karena usia Sujiatmi masih muda, bayi mungil itu tidak dibawa ke rumah kontrakan mereka di Gilingan. Keluarga kakek dari pihak ayah, membawa bayi itu ke Giriroto, Boyolali, untuk diasuh. Biasanya sampai puputan tali pusar. Selama 40 hari bayi Mulyono diurus disana.

Setelah ibunya pulih, bayi itu diasuhnya sendiri. Dengan kehidupan yang sederhana di sebuah rumah kontrakan, di pinggiran kota Solo. Ayahnya seorang pedagang kayu, yang nantinya usaha itu diteruskan anak lelaki tersebut.

Sayangnya, saat masih Balita, Mulyono sering sakit-sakitan. Sebagaimana kebiasaan orang Jawa dulu, kedua orang tuanya memutuskan untuk mengganti nama anaknya.

Setamat kuliah dari Fakultas Kehutanan UGM, Joko Widodo meneruskan bisnis kayu yang dirintis ayahnya. Usahanya maju. Mebel produksinya disukai di berbagai negara.

Salah seorang klien dari Perancis, kadang tertukar nama ketika hendak berhubungan dengannya. Karena Joko adalah nama umum yang digunakan banyak orang Solo. Klien itulah yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan Jokowi, agar tidak tertukar dengan Joko-joko lainnya.

Sekarang kita saksikan, lelaki kurus yang dilahirkan 21 Juni 1961 lalu, sedang menghela perjalanan bangsa ini. Dia menorehkan prastasi. Diplomasi di panggung internasional dijalankan dengan baik dan konsisisten. Carut marut ekonomi dibenahi.

Memang belum seluruhnya beres. 32 tahun di bawah rezim Orde Baru, lalu memasuki kegagapan reformasi dan 10 tahun diperintah SBY yang membiarkan kelompok radikal tumbuh menyebabkan Indonesia terseok-seok. Buahya ketika agama banyak dijadikan tameng mengeruk kekuasaan politik. Jokowi mewarisi semua itu.

Sama seperti Soekarno yang membangun karakter bangsa, Jokowi juga berusaha membangun jatidiri bangsanya. Dia gerah dengan nepotisme ala Orde Baru, gerah dengan pengabaian bagian Timur Indonesia, gerah dengan politik berkedok agama. Ia lelah dengan para mafia yang memanfaatkan kekuasaan politik untuk mencuri duit secara serakah.

Dia hanya ingin mengembalikan lokomotif bangsa ini berjalan di relnya semula. Tapi dia tahu, banyak kekuatan yang akan marah kepadanya. Banyak kepentingan yang ingin menjegalnya.

“Apa yang harus kita tegakkan untuk rakyat, harus berani kita tegakkan. Tidak perlu semuanya dihitung dari kacamata untung rugi politik,” katanya suatu ketika.

“Bangsa ini harus bersatu. Bahu membahu menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks,” tambahnya.

Pada 21 Juni, Indonesia kehilangan seorang Praklamator, Soekarno. Kita kehilangan lelaki yang sepanjang hidupnya dibaktikan karena kecintaanya pada negeri ini. Pada tanggal yang sama di tahun berbeda, dari tanah Indonesia lahir seorang Jokowi.

Syukurlah. Indonesia tidak pernah kekurangan orang-orang yang mencintainya dengan hati yang penuh. Yang dari keringatnya kita bisa merasakan kebesaran negeri indah ini.

Tuhan telah menghadiahkan dua lelaki hebat untuk bangsa ini. Kitalah yang pantas menjaganya.

Selamat Ulang tahun Pak Jokowi !

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here