Korupsi dan narkoba tidak kalah gawat ancamannya terhadap hidup dan kehidupan manusia Indonesia. Karena itu ketiga “penyakit gawar” ini harus mendapat perhatian serius — ekstra ordinery — sifatnya. Jika tidak, hidup dan kehidupan warga bangsa Indonesia jadi semakin gawat.
Kasus Kapolsek Astana Anyar Jawa Barat, Kompol Yuni Purwanti, telah menelanjangi borok yang selama ini tersembunyi rapi di instansi pemerintah.
Karenanya Surat Telegram Kapolri, Jendral Listyo Sigit kepada seluruh Polsa (Polisi Daerah) patut diapresiasi, sebagai upaya serius untuk membersihkan tubuh Polri dari keterlibatan dalam penggunaan narkoba. Langkah bijak ini patut dan penting diikuti pula oleh instansi pemerintah yang lain.
Jadi upaya serius untuk mencegah penyalahgunaan narkoba bagi anggota Polri sungguh baik, katena tertuang jelas dalam Surat Telegram Kapolri No: ST/331/II/HUK.7.1./2021 tanggal 19 Februari 2021, sebagai bentuk dari antisipasi pencegahan dari perluasan penyalahgunaan narkoba.
Tes urine bagi seluruh anggota Polri sebagai upaya pemberdlsihan dan pencegahan dari penyalahgunaan narkoba serentak dengan razia narkoba di tempat-tempat yang diduga telah terjadi peredaran narkoba dengan melibatkan anggota Polri memang perlu juga dilakukan.
Upaya untuk memperkuat pengawasan internal yang dikoordinasikan dengan reserse narkoba, BNN pusat maupu di daerah, sungguh sangat diharap dapat mengawali langkah besar pemberantasan sindikat narkoba di Indonesia yang telah menggurita dan melumat banyak korban.
Pilihan sikap yang serius untuk menghabisi jaringan narkoba memang sudah sejak lama menjadi tekad bersama. Namun sikap untuk realisasi pemberantasnya hingga tuntas, terkesan tidak serius. Karena itu harapan besar kepada Kapolri yang baru sangat besar serta menjadi dambaan rakyat banyak. Setidaknya janjinya Kapolri saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR RI pada 20 Januari 2021, Jendral Listyo Sigit berjanji tidak akan memberi ruang bagi pengedar narkoba di negeri kita, Indonesia tercinta.
Karena dampak negatifnya korupsi dan narkoba sungguh tidak kalah dakhsyat dibanding virus Corona. Betapa tidak, pada tahun 2020 saja sudah tercatat banyak orang yang telah divonis hukuman mati akibat narkoba. (DetikNews, Kamis 12 November 2020). Kasus Upek misalnya karena akibat memiliki barang haram itu sebanyak 45 Kg sabu, 40 butir pil ekstasi. Lalu Muhamad Dahlan, terkena kasus 10 Kg sabu dan 14 ribu butir pil ekstasi hingga di pidana mati oleh PN. Bengkalis. Kemudian Piara alias Firman karena kasus 52 Kg sabu di vonis mati oleh PN. Batam. Begitu juga Zaihiddir penyelundup sabu 118 Kg yang dibonis hukuman mati di PN. Tanjunh Pinang.
Dari sebagian catatan kasus tersebut betapa mengerikan bila narkoba dalam.jumlah berkilo-kilo itu sampai beredar bebas di dalam masyarakat. Dan tentu dari sepenggal catatan tadi dapat segera disimpulkan bila Indonesia telah menjadi pasar bebas barang haram itu yang sangat besar potensinya membunuh generasi muda dan generasi tua di Indonesia yang telah ikut keranjingan mengkonsumsi barang haram itu.
Contohnya bukan cuma Kapolsek Astana Anyar itu saja bersama 10 orang anak buahnya yang telah menjadi korban, tapi jauh sebelum itu dilakukan juga oleh 6 orang PNS Kemenhumham Riau karena terlibat pula dengan barang haram ini.
Belum lagi berita terbaru penyelundup 37 Kg sabu dari Malaysia yang melibatkan 4 orang warga Sumatra Utara, lalu di vonis seumur hidup. (DetikNews, 6 Januari 2021). Lantas masih patutjah para koruptor dan bandar narkoba di Indonesia ini diberi peluang pengampunan, sementara polah mereka semakin gawat dan mencemaskan masa depan bangsa dan negara Indonesia, akibat ulah kereka yang semakin merajalela.
Penulis : Jacob Ereste