( Renungan Pemaksaan Siswa Berjilbab)
Demi hormati satu-satunya siswa berjilbab, sekolah baptis di Australia rela ubah aturan seragam sekolah, siswa asal Singapura ini menjadi satu-satunya dan pertama kali murid berhijab disekolah tersebut, malah kepala sekolahnya menyiapkan tempat sholat untuk anak tersebut, juga diusulkan jilbab dimasukan sebagai seragam sekolah dan anggota dewanpun setuju dengan usulan tersebut.
Sekolah Baptis di Australia ini para gurunya, kepala sekolah dan dewan sekolahnya telah mencontohkan seorang guru yg sukses menjadi pendidik, bukan hanya sekedar menjadi guru. Yang keluar dari hati para guru ini adalah kasih sayang dan cinta, yang keluar dari jiwa para guru ini adalah toleransi tingkat tinggi tanpa memandang suku dan agama.
Mereka telah sukses mempraktekan toleransi sbg bahasa cinta.
” Mendengarlah dgn telinga yg toleran, melihatlah melalui mata belas kasihan, berbicaralah dengan bahasa cinta “.
( Jalaludin Rumi ).
Toleransi itu sebenarnya merupakan bagian dari martabat manusia. Makanya kalau kita mau berpikir, orang yg tidak toleran itu tidak punya martabat.
Dengan bertoleransi sesungguhnya kita menunjukan jati diri kita sebagai seorang manusia yg memiliki martabat. ( KH. Syafii Maarif ).
Dari total 34 provinsi di Indonesia, pemaksaan pelajar sekolah milik pemerintah terjadi disetidaknya 24 provinsi memberlakukan aturan soal hijab untuk semua perempuan, muslim maupun tidak, disekolah negeri, lewat sokongan instruksi pemerintah provinsi.
Sisanya ada 58 daerah tingkat dua atau kabupaten dan kota yang memberlakukan aturan soal hijab hanya untuk pelajar perempuan beragama islam.
( m.kaskus.co.id 2 Juli 2019 ).
Sekolah negeri dalam aturannya tidak diharuskan pakai hijab, yang mau pakai disilahkan dan yang tidak juga tidak apa-apa, tetapi dlm prakteknya ada sekolah negeri yg oleh kepala sekolah maupun gurunya mewajibkan siswanya memakai hijab/jilbab, ada yg hanya siswa muslim saja, tetapi ada juga yg pukul rata siswa non muslim juga wajib pakai jilbab.
Apakah pemaksaan kehendak ?Apakah kebencian akan keberagaman ? Harusnya seorang guru itu yang dikedepankan adalah kualitas tinggi sebagai seorang pendidik, mutu pendidikan, toleransi dan bukannya ributkan soal jilbab, untuk sesama muslim saja tidak boleh ada pemaksaan, apalagi terhadap non muslim. Menjadi sangat ironis.
” Hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi “. ( Hellen Keller ).
Sangat miris, negara lain dengan mutu tinggi pendidikan, seperti Jepang anak SD.SMP sudah bisa bikin robot, sedangkan kita sibuk soal jilbab, padahal secara fakta : akhlak, keimanan dan kecerdasan, tidak bisa jilbab/hijab jadi ukuran.
Tidak digeneralisasi, masih banyak sekolah, guru yg baik dan bermutu, tetapi fenomena yg seperti ini tidak boleh terjadi pembiaran.
Apalagi otonomi daerah membuat kepala daerah menjadi raja-raja kecil, membuat aturan semaunya dan tidak jarang bertentangan dengan aturan pusat. Dalam hal ini pemerintah harus tegas.
Agama itu bukan hanya sekedar bungkus yg menutup badan/aurat yg dilabeli wajib, halal dan haram. Agama itu tempatnya didalam hati kemanusiaan yg toleran yang bersinar berseri.
Jika beragama dengan benar, maka yang tumbuh dan keluar dari hatinya adalah cinta, kasih sayang dan toleransi beragama.
Toleransi itu penting bagi Indonesia yg majemuk dalam banyak hal. sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama dan budaya tidak mantab.
Salam
Redaksi SBSINews