SBSINews – Berbagai tanggapan terus muncul setelah disahkannya omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dalam rapat paripurna, Senin (5/10/2020) sore.
Pro dan kontra terkait pengesahan RUU ini masih terus tumbuh. Beragam penolakan, mulai dari media sosial hingga unjuk rasa di sebagian wilayah dilakukan.
Merangkum berbagai pemberitaan Kompas.com, berikut ini pro kontra dari keputusan pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja:
Kadin
Melansir Kompas.com, Senin (5/10/2020), para pengusaha menyambut baik pengesahan UU Cipta Kerja ini.
“Kalangan dunia usaha menyambut baik dan memberikan apresiasi kepada pemerintah dan DPR yang telah menyepakati pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaya Kamdani.
Menurut dia, UU Cipta Kerja dapat menjawab permasalahan di dunia usaha, terutama terkait aturan yang tumpang tindih dalam perizinan.
Dengan demikian, dapat meningkatkan investasi yang berujung pada penciptaan lapangan kerja.
Ekonom
Sementara itu, ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro meyakini, pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja tidak akan diikuti oleh Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang meluas.
Menurut dia, dalam UU yang baru disahkan ini, perlidungan untuk pekerja tetap utuh.
Satria juga menilai bahwa omnibus law UU Cipta Kerja dapat menyederhanakan persyaratan yang berlapis dan bertentangan, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah karena adanya pengambilan keputusan ekonomi yang lebih terpusat.
Aturan ini disebutnya mampu menghilangkan ketidakpastian investasi yang akan membantu menarik investasi asing langsung dan mendorong pertumbuhan PDB jangka panjang.
Pukat UGM
Di sisi lain, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai bahwa omnibus law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan, baik secara formil maupun materiil.
Ketua Pukat UGM Oce Madril menyebut bahwa proses pembentukan RUU Cipta Kerja ini berlangsung sangat cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik.
“RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya,” kata Oce.
Secara substansi, RUU Cipta Kerja ini mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi.
Menurut Oce, dalam RUU Cipta Kerja, terdapat potensi penyalahgunaan wewenang pada ketentuan diskresi.
Sebab, RUU ini menghapus persyaratan “tidak bertentangan dengan UU” yang sebelumnya ada dalam UU Administrasi Pemerintah.
Amnesty International Indonesia
Amnesty International Indonesia menilai bahwa UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR sangat tidak progresif.
Sebaliknya, banyak ketentuan dalam UU tersebut yang melanggar prinsip non-retrogesi sehingga membawa kemunduran dalam hal pemenuhan hak-hak masyarakat.
Amnesty menyoroti sejumlah ketentuan yang dinilai bermasalah dalam UU tersebut, mulai dari terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) hingga klaster lingkungan.
Atas persoalan-persoalan itu, Amnesty International meminta pemerintah dan DPR untuk dapat merevisi UU Cipta Kerja dan membenahi ketentuan-ketentuan yang bermasalah tersebut.
Walhi
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memberikan sejumlah catatan soal UU Cipta Kerja, yaitu terkait perlindungan hutan.
Menurut Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana, UU Cipta Kerja mengancam keberlangsungan hutan karena menghapus batas minimum kawasan hutan dan daerah aliran sungai (DAS).
Kemudian, ancaman kedua adalah dalam konteks kejahatan korporasi.
Sementara, Ketua Desk Politik Walhi Khalisa Khalid mengatakan bahwa pihaknya menyesalkan pengesahan RUU ini karena mengabaikan suara publik yang menolak.
“Keselamatan rakyat dan agenda penyelamatan lingkungan hidup akan semakin menemui tantangan yang lebih berat. Karena sejak awal aturan ini memang menjadi karpet merah untuk kemudhaan investasi, khususnya industri ekstraktif,” kata dia.
Baca juga: Omnibus Law UU Cipta Kerja Jadi Sorotan Media Asing, Bagaimana Pemberitaannya?
Indef
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartarti mengkritisi ketentuan tentang pembentukan lembaga pengelola investasi yang diatur dalam UU Cipta Kerja.
“Kemudahan investasi itu memang dibutuhkan, tapi tidak perlu sampai menjadi lembaga yang superbody seperti yang ada di dalam UU ini,” kata Enny.
Menurut Enny, UU Cipta Kerja memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Lembaga Pengelola Investasi.
Padahal, kewenangan yang besar ini berpotensi dapat memunculkan penyalahgunaan wewenang.
PSHK
Pihak Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai bahwa proses legislasi UU Cipta Kerja menjadi contoh praktik buruk yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR.
Menurut Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nusryamsi, proses pembahasan UU Cipta Kerja sejak awal mengabaikan ruang demokrasi dan dilakukan secara tergesa-gesa.
Ada tiga alasan yang mendasari pernyataan itu. Pertama, RUU Cipta Kerja dibahas pada masa reses dan di luar jam kerja. Kemudian, draf UU dan risalah rapat diak pernah disampaikan ke publik.
Terahir, tidak ada mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak (voting) dalam rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja. (Kompas.com)