Oleh: Yudi Latif
(Cendekiawan)
SBSINews – Salah satu isu terpanas menyeruak di tengah pandemi. Publik bereaksi terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Banyak sisi RUU bisa dikuliti. Tulisan ini mengupas satu sisi krusial yang direspons paling sengit, yang bisa merobek persatuan bangsa.
Pada pasal 6 (ayat 1) RUU ini disebutkan bahwa “Sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial”. Pernyataan ini disusul oleh pasal 7 yang menyatakan bahwa: (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. (2) Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Bisa dilihat hubungan antarpasal dan antarayat saling bertubrukan. Disebutkan bahwa sendi (ciri) pokok Pancasila adalah keadilan; di sisi lain dinyatakan, ciri pokok Pancasila adalah trisila, yang tidak sebatas keadilan (sosio-demokrasi), tetapi juga sosio-nasionalisme dan ketuhanan.
Menyebutkan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila, pemerasan Pancasila ke dalam trisila dan terutama ke dalam ekasila menjadi problematik. Itu bisa menimbulkan kesan bahwa Pancasila ditempatkan di jalur materialisme. Ini berbeda dengan jalur pernyataan Soekarno pada 1 Juni 1945.
Setelah panjang lebar menguaraikan lima sila dari dasar negara, Bung Karno menawarkan kemungkinan lain. “Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja… Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan.“ Lebih lanjut, “Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang yang satu itu?…Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong.”
Alhasil, apa yang ditawarkan oleh Bung Karno itu bukanlah suatu kemestian bahwa dari lima sila harus diperas jadi tiga dan satu. Beliau hanya menawarkan berbagai pilihan konseptual untuk merumuskan dasar simplisitas dan kompleksitas nilai dasar negara, dalam rangka menyederhankan hal-hal yang rumit dengan menangkap esensi pokoknya sehingga lebih mudah diingat dan dipraktikkan. Seperti diingatkan oleh Leonardo da Vinci, “Simplisitas adalah kecanggihan pamungkas” (Simplicity is the ultimate sophistication).
Masalahnya, semakin sederhana suatu rumusan konseptual makin abstrak. Seperti tulisan esai (prosa) ketika menjadi puisi, maka setiap kata itu menjadi padat makna dan multiinterpretatif. Mutu objektivitas (keluasan makna) rumusan abstrak itu pun sangat tergantung kekayaan subyektivitas seseorang.
Harus dipahami bahwa Pancasila itu menyangkut nilai-nilai pergaulan hidup (muamalah) dalam kebangsaan Indonesia yang majemuk. Adapun nilai-nilai ubudiyah (keyakinan-keimanan, penyembahan dan peribadatan) menjadi urusan rumah tangga agama-keyakinan masing-masing. Dalam penglihatan Soekarno, perwujudan paling konkret dari semangat ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial itu dalam pergaulan hidup sehari-hari tercermin dalam praktik gotong-royong (saling mencintai, saling menghormati, tolong-menolong, bekerjasama).
Bukan berarti bahwa dengan diperas menjadi gotong-royong maka sila-sila yang lain menjadi lenyap; akan tetapi, kelima sila Pancasila itu harus dinapasi oleh semangat gotong-royong. Menarik, sebelum menyebut kata gotong-royong, Bung karno menyebut spirit agama-agama dalam kerangka gotong-royong. “Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia…. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong.”
Alhasil, sebagai konsepsi teoritik, perasan Soekarno dari lima sila menjadi trisila dan ekasila itu absah, bahkan bisa memperkaya insight. Beliau sendiri tidak berpretensi untuk memaksakan. Bagi yang tidak suka dengan konseptualisasi perasan itu tidak jadi masalah, toh sudah memiliki titik temu dalam lima sila.
Menjadi masalah saat kerangka teoritik abstrak dan multiinterpretasi itu langsung dicomot menjadi norma (Konstitusi dan peraturan perundangan lainnya). Rumusan norma justru sebisa mungkin harus menghindari ambiguitas dan multiintepretasi. Soekarno, sebagai Ketua Pantia Perancang Hukum Dasar (UUD 1945), menyadari hal itu dan tidak mau memaksakan terminologi (jargon) dan kerangka teoritiknya yang bersifat multiinterpretatif untuk dicantumkan secara harfiah dalam pasal konstitusi. Dalam pasal-pasal UUD 1945, tidak akan kita temukan jargon semacam sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, gotong-royong, demokrasi; bahkan istilah Pancasila sendiri tak ada di sana. Namun, substansi berbagai jargon dan kerangka teoritik itu bisa ditemukan di Pembukaan dan berbagai pasal.
Ketika diterjemahkan menjadi norma negara, perspektif teoritis perseorangan bahkan ayat kitab suci harus mengalami proses substansiasi. Konstitusi dan UU itu milik bersama; oleh karena itu, proses dan rumusannya harus bersifat inklusif. Apalagi jika hal itu menyangkut rumusan normatif tentang Pancasila.
Dasar ontologis Pancasila adalah kehendak mencari titik temu (“persetujuan”) dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, bonum commune) dalam suatu masyarakat bangsa yang mejemuk. Pada pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyerukan “bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham…Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.”
Sejalan dengan itu, dalam mengusung semacam RUU ini tidak cukup sekadar niat baik. Diperlukan kearifan untuk mengendalikan kepentingan mengukuhkan klaim-klaim perseorangan dan golongan. Jika kita memimpikan segenap warga dan golongan mau menerima Pancasila, maka harus diusahakan agar berbagai pihak bisa menemukan persambungannya dengan rumusan tersebut. Di sanalah jiwa gotong-royong harus dibuktikan.
Media Indonesia, Senin, 15 Juni 2020