Oleh: Andi Naja FP Paraga
SBSINews – Mungkin masih belum hilang dari ingatan kolektif kita pemancungan seorang TKW bernama Ruyati yang mengoyak hati yang belum sembuh dari luka lama lalu datang lagi luka baru. Kasus penindasan terhadap TKW baik dilakukan oleh majikan mereka diluar negeri maupun oleh oknum-oknum didalam negeri sungguh menjadi cerminan bagi bangsa ini betapa penghargaan terhadap wanita masih sangat rendah. Mengapa perempuan yang harus jauh-jauh mencari nafkah di negeri asing. Kemana para lelaki yang seharusnya menjadi kepala keluarga dan wajib menafkahi anak-istrinya?
Pertanyaan ini sangat mungkin dijawab begini: lelaki di negeri ini sedemikian sulit mencari pekerjaan karena lapangan kerja sangat terbatas. Pabrik-pabrik pribumi gulung tikar karena pasar dipenuhi barang-barang murah dari negeri seberang. Pabrik-pabrik besar kebanyakan sahamnya dimiliki juragan dari negeri-negeri asing. Mereka membuka pabrik di Indonesia supaya mendapat karyawan dengan gaji murah setara budak. Keuntungan besar yang diraih kembali ke negeri asal mereka bukan untuk membangun Indonesia.
Sebagian besar perusahaan pun kini lebih suka mencari tenaga kerja dengan sistem outsourcing. Tenaga Cleaning Servis atau Satpam misalnya tidak lagi menjadi karyawan tetap perusahaan dengan hak dan kewajiban yang dilindungi Undang-undang. Perusahaan yang butuh Cleaning Servis dan Satpam tinggal menelpon perusahaan jasa penyedia tenaga kerja. Perusahaan penyedia jasa itu pun tak ubahnya bagai makelar budak di zaman jahiliyah hanya saja dengan penampilan yang jauh lebih modern dan konon beradab.
Dan jadilah negeri ini negeri budak, didalam negeri rakyat pun diperlakukan seperti budak. Di Luar Negeri budak asal Indonesia dipasarkan besar-besaran. Sedemikian besarnya uang yang berlimpah dari pemasaran budak modern Indonesia ke luar negeri sampai-sampai devisa yang dihasilkan berada pada peringkat kedua setelah penghasilan minyak dan gas. Setiap tahunnya TKW yang bekerja di Luar Negeri menghasilkan devisa rata-rata Rp100 Triliun. Betapa memalukannya, Indonesia bangsa yang sedemikian besar dan kaya sumber daya alam ini meraup keuntungan dari penjualan budak bergaya modern.
Ironisnya, sebenarnya angka devisa Rp100 Trilyun per tahun berasal dari sekitar 3,2 juta TKW. Jika dihitung rata-rata jumlah penghasilan TKW sebenarnya tidak terlalu besar. Tiap tahun rata-rata mereka memperoleh penghasilan sebesar Rp31,25 juta. Jika uang sejumlah itu dikurangi dengan biaya sebelum berangkat rata-rata Rp18,29 juta maka mereka mendapatkan uang hanya sebesar Rp12,98 juta pertahun atau Rp1,08 juta per bulan. Angka ini hampir setara dengan UMR kota-kota tertentu, malah lebih rendah dibandingkan dengan UMR Kota-kota besar di Indonesia.
Artinya, sebetulnya kaum perempuan di negeri ini tak perlu jauh-jauh menjadi babu di negeri orang seandainya pemerintah bisa membuka lapangan kerja buat suami-suami mereka dengan gaji senilai UMR saja. Kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja ditutup-tutupi dengan istilah Pahlawan Devisa seolah-olah TKW ini bergelimang uang sehingga bekerja diluar negeri sebagai babu adalah alternatif yang baik buat perempuan Indonesia.
Kini banyak TKW yang dipulangkan, walaupun masih banyak yang tetap bekerja di luar negeri karena mewabahnya Virus Corona. Kita pun masih gagap mencarikan solusi bagaimana agar mereka tidak kembali menjadi TKW. Bahkan sangat mungkin setelah Covid 19 ini berlalu namun para suami-suami mereka tak kunjung mendapatkan penghasilan sebesar UMR di kota-kota besar Para TKW ini akan kembali memenuhi PJKTI-PJTKI di Kota-kota besar. Kembalilah mereka ke dunia para babu sampai harus mengulangnya berkali-kali. Pekerjaan Rumah terbesar kita saat ini adalah memulihkan ekonomi dalam negeri dan tidak ada recovery dengan waktu singkat. Orang yang operasi ringan pada otaknya saja butuh waktu 3 jam dan butuh waktu 2 kali lipat untuk bisa siuman. Setelah itu pun masih harus melalui operasi-operasi berikutnya agar bisa sembuh total. Itulah gambaran ekonomi bangsa saat ini.(110520)