JAKARTA SBSINews – Focus Group Discussion (virtual) Fraksi Partai NasDem, dengan Topik: “Kartu Pra Kerja: Mengurai Kontroversi, Menakar Relevansi ?” Dilaksanakan pada Kamis (30/04) pukul 20 WIB – selesai, bertempat di Ruang masing-masing secara virtual via aplikasi.
Dengan peserta 100 orang, yang terdiri dari: Anggota DPR RI Fraksi Partial NasDem; (59 orang), Pengurus DPP Partai NasDem dan Pengurus DPP Organisasi Sayap; (20 orang), Tenaga Ahli Fraksi Partai NasDem; (10 orang) dan Tenaga Ahli Anggota Fraksi NasDem DPR RI Komisi IX; (11 orang).
Latar Belakang
Program Kartu Prakerja awalnya memiliki tujuan yang baik, kemudian memunculkan kontroversi dan mengemuka adalah komponen pelatihan daring (online) yang mendapat alokasi dana sebesar Rp5,6 triliun, karena tidak hanya dinilai oleh sejumlah kalangan kurang tepat pada momentum pandemi ini, terutama karena memicu dugaan terjadinya konflik kepentingan (conflict of intereset) oleh salah satu anggota staf khusus kepresidenan yang merangkap CEO salah satu badan usaha – dari delapan lembaga – yang ditunjuk sebagai mitra penyelenggara kartu pra kerja.
Mencuatnya potensi konflik kepentingan bersumber dari aspek hukum dan administratif, yakni payung hukum program kartu pra kerja yaitu Perpres 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui program Kartu Pra Kerja dan Permenko Ekonomi Nomor 3/2020 yang menjadi aturan pelaksanaan program kartu pra kerja.
Kedua regulasi tersebut tidak mencantumkan secara jelas mekanisme penunjukan mitra sebagai penyelenggara kartu pra kerja. Pemerintah berdalih, kondisi ini akibat pandemi Covid-19 menjadi alasan sehingga penunjukan mitra tidak dilakukan melalui prosedur yang lazim.
Kontroversi lain yang tak kalah krusial adalah pandangan sejumlah kalangan yang menilai skema pelatihan daring tidak relevan dalam kerangka mengantisipasi dampak Covid-19. Ketimbang diberikan pelatihan daring, pekerja yang kehilangan lapangan pekerjaan dinilai lebih membutuhkan pemenuhan kebutuhan subsistensi yang terpengaruh akibat hilangnya pendapatan.
Mengingat potensi gelombang PHK dan besarnya dana publik, menjadikan problem kartu pra kerja ini perlu dan penting untuk menjadi isu dan diskursus publik.
FGD Daring
FGD daring Fraksi Nasdem ini dimoderatori oleh Martin Manurung dengan narasumber:
Jumhur Hidayat, Prof. Mukhtar Pakpahan dan Timboel Siregar
Dalam pemaparannya Jumhur Hidayat menyampaikan bahwa keberadaan kartu prakerja menjadi masalah karena adanya pelibatan pihak ketiga yang sebenarnya tidak begitu perlu. Contoh kasus, mengontrak seseorang untuk membuat video tutorial, pembuatan pastel, yang dimulai dengan sewa kamera, sewa ini-itu, anggaran sekitar 50 juta. Kalau 2000 paket yang dimaksud sekitar 850 m, kemudian diserahkan menkoinfo berkolaborasi dengan kemenaker, tidak perlu biaya yang lain – lain. Uang pengawasan, pembinaan, biaya rapat tidak ada masalah. Justru 5,6 triliun terlalu banyak dalam konteks ini ada niat jahatnya, sudah ada itikad yang tidak baik, karena itu harus dilawan.
Kemenaker seharusnya menjadi leading, karena berbicara terkait pencari kerja, orang yang di PHK datanya ada pada Disnaker. Pentingnya kehadiran disnaker yang memiliki data pencari kerja.
Pelaksanaan program harus berada pada eksekutif, tidak boleh diserahkan penuh kepada pihak ketiga, karena terkait dengan pengelolaan dana negara.
Harus ada spirit moral hazard terkait dalam pengelolaan, baik program, lelang, masalah keuangan sehingga untuk target group tidak di selewangkan.
Anggaran 5,6 trtiliun dibagi kepada mitra adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Pada intinya program tersebut harus terus jalan, tetapi aktivitas, kegiatan bersifat daring mesti dipetakan, karena ada beberapa pelatihan yang bersifat hard skill yang bersentuhan langsung dengan alat praktik.
Dalam Pemaparannya oleh narasumber kedua yaitu Muchtar Pakpahan yang menyampaikan bahwa keberadaan kartu prakerja yang dibicarakan berkaitan dengan korban pandemi covid-19 khususnya buruh yang di PHK. Oleh karena itu, program ini seharusnya diutamakan bagi orang yang berdampak pada covid-19.
Situasi ekonomi yang berkaitan dengan penyedian sumber basis kebutuhan. Kasus Thailand misalnya produksi kebutuhan mampu dipenuhi secara mandiri tanpa diimpor dengan memenuhi performa tenaga kerjanya.
Dasar hukum kebijakan Perpres No. 36 tahun 2020 isinya, menimbang dalam rangka perluasan kerja, peningkatan produktifitas dan kompotensi kerja, merujuk pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yaitu presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan berdasarkan UU. Hirarki perundangan-undangan dirahkan langsung pada dasar kebijakan yang diambil pada UUD 1945. Sehubungan dengan itu, ada skenario kebijakan yang mengarahkan program prakerja di Kemenko bukan pada Kemenaker. Dasar formal menjadi keliru karena langsung pada dasar UUD 1945. Tidak menggunakan pasal yang berkaitan dengan kewenangan Kemenaker.
Menanggapi kartu prakerja, dalam rangka pelaksanaan khusus pendaftaran dengan sistem online cukup dirasakan sulit syaratnya.
Adanya kartu prakerja terkesan mendorong perusahaan untuk melakukan PHK. Kartu prakerja juga membuat program berbiaya besar tetapi tidak menyentuh persoalan pokok tenga kerja. Dengan tidak melibatkan stakeholder perburuhan dalam pembahasan, pelaksanaan dan evaluasi.
Kartu prakerja tidak banyak membantu buruh di masa pandemic covid-19. Tidak semua pelatihan dilakukan secara online, hard skill seperi menjahit, pangkas rambut, montir dll. Harus dibuat portal yang diakses oleh semua pekerja.
Untuk narasumber ketiga yaitu Timboel Siregar menyampaikan bahwa kartu prakerja sudah jadi polemik sebelum pandemi covid-19 dan sudah menjadi perbincangan di DPR RI. Awal januari 2020 sudah dilakukan RDP dengan Kemenaker dan Komisi IX yang menjadi perdebatan pada waktu itu yaitu kewenangan program kartu prakerja yang berada di Menko Perekonomian, di satu sisi ada kewenangan kemenaker dan sebagai fungsi pengawasan ada di Komisi IX langsung dengan mitra kerja.
Membaca peraturan PP 17 Tahun 2020 fungsi dan tugas Menko Perkonomian hanya pada fungsi koordinansi, sinkronisasi dan pengendalian.
Perpres 36 tahun 2020 menegaskan teknis program kartu prakerja berada pada Menko Perekonomian. Yang menjadi persoalan dari hal tersebut adalah perbedaan antara PP dengan Perpres terkait rujukan Program Kartu Prakerja.
Terkait dengan materi (pelatihan) yang akan diberikan. Sebelum pandemic covid-19, keberadaan BLK dilibatkan, Pelatihan yang bersifat offline (tatap muka) lebih dimaksimalkan di bandingkan online dan dipastikan terkait dengan paket-paket pelatihan yang ditawarkan, siapa yang menjadi mitra karena menggunakan dana APBN public wajib tahu.
Kartu prakerja dimaksimalkan pada pelatihan pada kondisi normal, dalam situasi covid-19 telah bergeser dan diarahkan pada bantuan langsung dalam bentuk insentif. Tetapi tetap difokuskan pada pelatihan. Maka dari itu apakah pelatihan online masih relevan dengan situasi sekarang ?
Penyelanggaraan ada hal teknis yang membatasi akses, 168 ribu peserta pendaftar mengalami kendala teknis dan gagal menjadi peserta. Ada prasyarat yang berubah-ubah, penerima bantuan tidak diseleksi secara ketat. Banyak peserta tidak berhak justru bisa mengakses (kasus wartawan yang ikut seleksi dan menerima sertifikasi). Disatu sisi semakin meningkat jumlah pengangguran yang telah di PHK.
Seleksi pada korban PHK mesti dilakukan karena ada Korban PHK memperoleh pesangon. Pengalaman kerja tidak relevan dengan paket-paket pelatihan yang relative punya highskill, yang terjadi adalah down skill. Kartu prakerja tidak memikirkan situasi kompleksnya masalah tenaga kerja, utamanya besaran upah berbeda antara berkeluarga dengan jumlah anak yang banyak dengan yang sedikit.
Terkait dengan jenis pelatihan yang tergolong menggunakan anggaran yang besar, pelatiha bersifat online tidak mesti mahal, semestinya teknologi memberikan fasilitas yang minim pembiayaan (murah).
Kartu prakerja semangatnya baik, tetapi pelaksanaan mengalami masalah, utamanya dari sisi anggaran yang perlu dievaluasi, dan DPR perlu menyikapi dalam rangka pengawasan program.
FGD ini dilanjutkan dengan tanggapan, terutama oleh Anggota DPR Fraksi Nasdem dan oleh ahli. Antara lain: Sitti Nurbaya, Petter F. Gontha, Irma Chaniago, Nyat Kadir, Atang, Hasbi Ansori, Fauzi Amro, Willy Aditia, Galumbang, Lisda Hendrajoni, Abdul Malik, S. Sonny Soeharso, Charles Melkiansyah, Hari Sunoto dan Rahmat Gobel.
Sitti Nurbaya (Menteri LHK)
Kontroversi yang muncul berkenaan transparansi, kelembagaan, substansif pelatihan.
Akuntabilitas dan tranparansi berkaitan dengan indikasi korupsi, menjadi komsumsi ruang publik. Berikan save guard dengan hal yang sudah diatur sebagai derivasi terkait Perpres No.36 Tahun 2020 bisa mengelobarisi sebagai sikap Fraksi Nasdem.
Aspek kelembagaan, dalam birokrasi memang ada cara bekerja. Ketika persoalan dialami dalam situasi regular akan dieksekusi melalui mekanisme kerja structural. Sedangkan persoalan yang complicated membutuhkan kerja dalam sistem koordinasi. Melihat kompleksitas kartu prakerja dengan desain sebelum covid-19, diarahkan pada pencari kerja untuk memperoleh layanan vokasi, sertifikasi dan insentif. Program kerja prakerja ditujukan pencari kerja dan pekerja buruh yang mengalami pemutusan kerja dan pekerja yang membutuhkan peningkatan kualitas.
Secara kelembagaan tidak hanya di Kemenaker dalam beberapa prosedur layanan dengan sistem atau model baru seperti sistem digital, pola pelatihan digital. Peraturan menegaskan pada masing-masing kementerian, memiliki peran seperti kemenaker punya peran penentu kuota, ada pendidikan ada perbankan, keuangan menjadi satu dalam kelembagaan dimenko. Kehati-hatian dalam konteks penajaman tanggung jawab baik aparat pemerintah maupun mitra.
Substansif tentang kartu prakerja, penerima kartu prakerja mendapatkan pelatihan dan insentif. Memang peraturan menko yang tidak jelas mamaparkan insentif, pelatihan pada pasal 15 terkait pelatihan dalam kompotensi atau pembekalan kompotensi kerja, peningkatan dan alih kompotensi kerja perlu dikembangkan oleh lembaga yang telah disampaikan harus digital. Makanya insentif harus diperjelas dalam peraturan.
Dalam desain awal kira-kira 3 juta sampai 7 juta. Paket pelatihan offline lebih mahal, tetapi ada insentif pasca pelatihan 600 ribu fokusnya pekerja, dengan adanya covid ada penyesuaian bagi korban PHK dan Pelaku UKM.
Kesatuan komponen program harus matang betul, harus jelas hubungan kausalitas masalah.
Peter F Gontha
Mempertanyakan persoalan utama dari kartu prakerja dengan mempertanyakan pembiayaan yang alokasi dari negara, mengapa ada perubahan anggaran dari 10 trilliun menjadi 20 trilliun, siapa yang mendapatkan benefit ? tadinya anggaran akan banyak mengalir untuk penerima manfaat tetapi faktanya kebanyakan anggaran mengalir ke mitra perusahaan start up, sementara pemerintah menaikkan dari 10 T menjadi 20 T, apakah anggaran pemerintah terlalu tinggi dalam penanggulangan pandemi.
Saya adalah salah satu inisiator sebuah program pendidikan yang bernama link 2 yang memiliki beberapa program dalam bentuk pelatihan bahasa yang menjadi modal keterampilan bahasa. Selam ini biaya pembuatan program video adalah zero (nihil) justru program mendapatkan support dari pemasangan iklan, melalui lini tv internet.
Pembuatan video pelatihan dibuat satu kali, dan ditonton berkali-kali , tetap biaya sama baik dilihat atau dinonton 1 maupun 100 jt orang. Hal ini menjadi pertimbangan evaluasi.
Irma Chaniago
Awal mula kartu ditujukan pada masyarakat yang belum bekerja untuk bisa magang, setelah magang bisa dapat insentif. Tenyata kartu prakerja justru yang dijual hanya sertifikasi. Menurut saya tertifikasi tidak begitu penting dalam negeri maupun luar negeri, yang terpenting adalah skill. Apakah buruh mendapatkan skill baru, skill tambahan yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Sehingga pelatihan yang secara fisik dan juga pelatihan bersifat offline dengan satu modul dapat dilihat banyak orang dengan harga minimal bahkan sero biaya 1 kali pelatihan.
Pada saat covid-19 kartu prakerja ini menjadi bansos, kenapa kartu direlokasikan menjadi bantuan bansos ? Yang perlu dipertanyakan kemana fungsi kementerian sosial. Program prakerja untuk meminimalisir pengangguran dan mebuka lapangan kerja baru bagi yang belum punya pekerja dan menambah skill yang sudah bekerja.
Sertifikasi tidak laku dalam dunia kerja di luar negeri. Skill dan kemampuan bahasa dapat menambah value tenaga kerja.