Catatan Pagi
Oleh: Timboel Siregar
SBSINews – Surat-surat undangan pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR beredar ke publik. DPR cq. Baleg terus lanjut membahas RUU kontroversi ini, walaupun di tengah wabah yang belum menunjukkan tingkat penurunannya.
Anggota parlemen kita saat ini sedang tidak fokus pada fungsi pengawasan dan anggaran. Anggota DPR kita hanya fokus melakukan fungsi legislasi yaitu membahas Omnibus law RUU Cipta Kerja yang menjadi kontroversi di masyarakat, yang memicu buruh mau berdemo di tanggal 30 April 2020 nanti.
Seharusnya DPR kita bijak dan bisa memberikan skala prioritas atas 3 fungsi yang mereka emban. Fungsi pengawasan dan anggaran seharusnya diutamakan oleh mereka khususnya untuk masalah pandemi covid 19 dan dampak ekonominya.
Untuk kasus pandemi covid 19 ada beberapa hal yang perlu diawasi yaitu :
- Yang muncul saat ini adalah perbedaan data antara IDI dan Pemerintah tentang jumlah data yang meninggal karena covid 19. Data IDI lebih banyak dari data Pemerintah. Ya seharusnya DPR laksanakan fungsi pengawasan dengan mencari tahu dan mencari solusi atas perbedaan tersebut. Tapi yang ini tidak dilakukan, DPR malah asyik mainkan RUU cipta kerja.
- Persoalan masih kurangnya APD bagi tenaga medis yang menyebabkan banyaknya tenaga medis meninggal dan terpapar covid 19, ini juga tidak diawasi oleh DPR. Seharusnya DPR memainkan fungsi anggaran untuk mendesak pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan – perusahaan yang mau memproduksi APD agar ada percepatan produksi dan harga terjangkau.
- Demikian juga dengan PSBB yang sudah berjalan seminggu di DKI Jakarta tetapi belum bisa mengerem angka penyebaran covid khususnya di Jakarta. Dan faktanya kondisi PSBB tidak beda dengan kondisi sebelum PSBB. Pekerja yang masih terus bekerja (di luar 11 usaha yang dibolehkan PSBB) juga masih terjadi di Jabodetabek yang memang sudah mendeklarasikan PSBB. Seharusnya, di luar 11 usaha tersebut, perusahaan – perusahaan tersebut dilarang beroperasi kerena Perpres, Permenkes, dan pergub melarangnya.
Perbedaan regulasi antara Permenkes dan Permenhub soal ojol juga dibiarkan menjadi persoalan tanpa adanya pengawasan dari DPR.
Untuk masalah bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak ekonominya karena pandemi covid 19 ada beberapa hal yang harus dilakukan DPR yaitu :
- Kartu PraKerja yang belum terealisir sementara korban PHK terus meningkat jumlahnya. Proses pendaftaran, adanya test, pelatihan yang diwajibkan dan pencairan dana 600 ribu untuk 4 bulan serta dana evaluasi 150 ribu nampaknya sangat rumit, dan ini juga dibiarkan oleh DPR. Semangat awal Kartu PraKerja adalah baik utk meningkatkan skill tetapi di saat pandemi saat ini dimana pekerja yang ter PHK atau yang dirumahkan tanpa upah sedang membutuhkan dana utk hidup, Pemerintah malah melakukan test pada saat pendaftaran dan wajib ikut pelatihan yang harganya 1 juta per orang bagi 5.6 juta peserta nantinya.
Harusnya DPR melakukan pengawasan atas pelaksanaan kartu prakerja tersebut seperti meminta proses pendaftaran disederhanakan tanpa test, lalu persyaratan yang berhak dapat kartu prakerja juga diperjelas. Saat ini persyaratannya hanya usia minimal 18 tahun, tidak sedang sekolah formal dan tidak mendapat bantuan lain dari Pemerintah. Akibat dari persyaratan tersebut jumlah pendaftar membludak. Ada karyawan sebelum di PHK yang gajinya 20 juta pun ikut daftar. Ada pekerja yang dapat pesangon 70 juta ketika di PHK pun ikut daftar.
Ya seharusnya kartu prakerja benar – benar membantu pekerja yang memang tidak mampu, jadi bisa tepat sasaran
Saya kira pekerja dengan gaji 20 juta lebih atau dapat pesangon besar ketika PHK tidak menjadi prioritas mendapatkan uang 2.4 juta dari kartu PraKerja.
Demikian juga dengan dana 600 ribu per bulan untuk 4 bulan yang akan diberikan (total 2.4 juta) diberikan tanpa memperhatikan kondisi si pekerja, apakah single atau sudah berkeluarga? Semuanya disamakan dalam kartu Prakerja yaitu 600 ribu per bulan.
Seharusnya ada pembeda antara pekerja yang single dan berkeluarga agar 600 ribu perbulan juga memberikan asas keadilan bagi yang punya anak.
Demikian juga alokasi 1 juta untuk pelatihan. Memang baik untuk memberikan pelatihan bagi korban PHK tetapi di saat seperti ini pelatihan secara online kan tidak perlu sampai 1 juta. Saya kira biaya pelatihan 250 ribu sudah cukup karena online. Uang 750 ribu-nya bisa diberikan untuk bantu biaya hidup pekerja yang ter PHK, menambahkan yang 2.4 juta tersebut. Apalagi dengan pelatihan online kan si peserta pelatihan perlu membeli kuota yang juga memerlukan uang.
Biaya 600 ribu per bulan pastinya menjadi fokus harapan pekerja yang ter PHK atau yang dirumahkan tanpa upah, dibandingkan kebutuhan pelatihan di saat ini.
Menurut BPS, konsumsi rata rata per kapita masyarakat kita di 2019 sebesar Rp. 941.666 per bulan, jauh lebih tinggi dari angka 600.000 per bulan yang akan dikonsumsi oleh satu keluarga pekerja yang ter PHK atau dirumahkan (sekitar Rp. 20.000 per hari utk satu keluarga).
Jadi kalau pun ada pelatihan, ya alokasikan saja 250 ribu sehingga 750 ribu-nya bisa menambah yg Rp 2.4 juta utk 4 bulan, khususnya bagi pekerja yang sudah berkeluarga.
Semuanya wajib diawasi oleh DPR, bukan malah dibiarkan seperti saat ini sehingga ada dugaan KKN antara perusahaan yang menyelenggarakan pelatihan tersebut dengan orang dalam istana. Kita juga nggak pernah tahu kapan ada proses lelang untuk pengadaan jasa pelatihan untuk kartu Prakerja ini.
- Untuk bantuan kartu prakerja diberikan 600.000 untuk 4 bulan sementara Program PKH untuk rakyat miskin nilainya 600 ribu juga tapi untuk 3 bulan. Mengapa DPR membiarkan adanya perbedaan ini, bukankah masyarakat miskin juga butuh biaya yang bisa jadi lebih dari 3 bulan di masa covid ini.
- Bagaimana juga pemerintah memberikan insentif PPh 21 hanya bagi pekerja di sektor pengolahan saja sementara semua sektor sudah terdampak. Kenapa DPR tidak tidak bersuara agar sektor usaha lainnya dapat insentif PPh 21 dari Pemerintah.
- DPR harus bisa dan serius mengawasi alokasi dana Rp. 405.1 Triliun yang digelontorkan oleh Pemerintah dengan hitung – hitung yang harus anggota parlemen ketahui.
Dari semua yang harus diawasi tersebut tentunya DPR punya hitung – hitungan, dan berani berdebat dengan pemerintah soal pelaksanaan mengatasi covid 19. Khususnya untuk alokasi 405.1 Triliun, anggota DPR harus punya hitungannya sendiri, jangan hanya angguk2 kepala saja. Contohlah anggota DPR negara lain yang membawa whiteboard dengan memberikan perhitungan – perhitungan versi mereka untuk mengkritisi pemerintah sebagai implementasi fungsi pengawasan dan anggaran mereka.
Stop saja dulu fungsi legislasi, dan fokuskan pada fungsi pengawasan dan anggaran.
Pinang Ranti, 20 April 2020
Tabik
Timboel Siregar, BPJS Watch