SBSINews – Buruh Jawa Barat yang tergabung dalam 18 organisasi bakal mogok kerja selama empat hari. Buruh, awalnya akan mogok karena menuntut Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil membatalkan surat edaran (SE) dan menerbitkan Surat Keputusan Upah Minimum Kota (UMK) 2020. Namun, walaupun kalangan serikat pekerja telah menerima informasi gubernur mencabut Surat Edaran soal UMK 2020 dan menggantinya dengan SK Gubernur, tak membatalkan aksi tersebut.
Menurut Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Roy Jinto Ferianto, meskipun SE sudah diganti SE, buruh akan tetap menggelar aksi untuk rasa, dan mogok bekerja pada tanggal 2,3,4 dan 6 Desember 2019 di Gedung Sate. Karena, ada poin keputusan yang dinilai harus diperbaiki.
Roy mengatakan, 18 elemen organisasi buruh di Jabar telah bersepakat melakukan mogok kerja selama empat hari yaitu, tanggal 2, 3, 4 dan 6.
“Kami sudah bersepakat semua anggota serikat pekerja dari 18 organisasi keluar semua dari pabrik pada tanggal 2 sampai 6 Desember. Total anggota kami mungkin bisa jutaan,” ujar Roy, Ahaf (1/12).
Menurut Roy, selain mogok kerja, para buruh akan long march ke Gedung Sate, Bandung untuk menggelar unjuk rasa. Bahkan, buruh yang akan bergabung menggeruduk Gedung Sate tidak hanya berasal dari Bandung raya, tetapi mereka datang dari berbagai kota kabupaten. Seperti Purwakarta, Karawang, Bekasi, Sumedang, Cirebon, dan lainnya. Total ada 20 daerah yang dipastikan bakal bergabung.
Roy menjelaskan, pihaknya akan tetap menggelar aksi mulai Senin besok karena DIKTUM ke 7 huruf d masih masalah buat kalangan serikat pekerja. “KSPSI Jawa Barat meminta Gubernur untuk merevisi DIKTUM ke 7 point d,” katanya.
Karena, kata dia, hal itu memberikan ruang kepada perusahaan padat karya yang tidak mampu untuk tidak mengajukan penangguhan hanya cukup kesepakatan dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja diperusahaan masing-masing dan disahkan oleh Disnaker Jawa Barat.
Menurut Roy, berdasarkan ketentuan UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan jo Kepmen 231 tahun 2003, perusahaan yang tidak mampu melaksanakan upah minimum mengajukan penangguhan ke Gubernur. Dengan kata lain, diterima atau tidaknya penangguhan UMK tersebut tergantung keputusan Gubernur bukan disahkan Disnaker Jawa Barat.
Selain itu, kata dia, adanya diskriminasi dalam Diktum 7 di mana perusahaan diluar industri padat karya mengajukan penangguhan ke Gubernur sebagaimana diktum 7 huruf a b dan c sedangkan penangguhan padat karya huruf d melalui Disnaker Jabar. “Ini bertentangan dengan ketentuan UU 13/2003 karena penangguhan itu harus kepada Gubernur,” katanya.
Menurut Roy, kewajiban perusahaan untuk bayar selisih upah yang ditangguhkan secara rapel sedangkan ketentuan huruf d diktum 7 dimungkinkan perusahaan padat karya tidak membayar selisih upah yang ditangguhkan. Padahal, putusan MK jelas bahwa penangguhan tidak mengugurkan kewajiban perusahaan untuk membayar selisih UMK.
“Dengan kata lain hanya menunda pelaksanaan saja, karena ketentuan UU 13/2003 jo Kep 231 tahun 2003 berlaku untuk semua perusahaan tanpa terkecuali,” katanya.
Sebelumnya, Poin ke tujuh pada SK Gubernur Jabar soal UMK 2020 membeberkan, dalam hal Pengusaha tidak mampu membayar Upah Minimum Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA, maka dapat mengajukan penangguhan Upah Minimum Kabupaten/Kota kepada Gubernur Jawa Barat melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, paling lambat 20 Desember 2019, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian, Pengusaha yang bersangkutan tetap membayar upah yang biasa dibayarkan.(republika.co.id/Jacob Ereste)