SBSINews – Meski belum meratifikasi konvensi soal upah minimum, Indonesia tak perlu sedih, cukup malu-malu kucing saja. Kawannya banyak kok. Di Asia Tenggara, hanya Malaysia yang sudah meratifikasi konvensi 131. Dia menjadi negara ke-53 yang meratifikasi konvensi upah minimum ILO itu, tepatnya pada tanggal 7 Juni 2016.
Selain Malaysia, negara di kawasan Asia yang sudah meratifikasi konvensi ILO tersebut antara lain Jepang, Korea Selatan, Nepal, dan Sri Lanka. Jika anda mengira bahwa ratifikasi ini bakal memperburuk iklim usaha, maka anda salah! Daya saing investasi Malaysia justru melejit dengan peringkat kemudahan bisnis di urutan ke-12, meninggalkan Indonesia di 73.
Apa resep Malaysia? Kepastian. Mereka tidak memiliki UMK dan hanya ada dua UMP (atau lebih tepatnya upah minimum zona/UMZ): satu untuk Semenanjung Malaysia (yang merupakan pusat bisnis dan kawasan industri), dan satu lainnya untuk wilayah Sabah, Sarawak, dan Labuan (kawasan penyangga),
Meski menghitung KHL rumah tangga—dan bukannya pekerja lajang—Malaysia memiliki rumus paten yang disepakati buruh dan pengusaha, yakni pendapatan inti untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga. Istilah yang dipakai: pendapatan di garis kemiskinan (poverty line income/PLI).
Lalu, mekanisme reward and punishment berlaku dengan menjadikan ‘produktivitas pekerja’ sebagai varibel penambah upah minimum. Aspek daya beli juga diperhatikan dengan memasukkan faktor inflasi di dalamnya agar daya beli pekerja terjaga. Berikut ini rumusnya, sebagaimana dikutip dari ILO:
Uniknya, tingkat pengangguran juga diperhatikan dengan menjadi pengurang besaran pengali upah minimum. Jika tingkat pengangguran tinggi, maka pengali upah minimum pun berkurang alias skala kenaikan upah minimum direm. Ingat, pengangguran adalah salah satu indikator perekonomian. Makin tinggi pengangguran makin buruk juga ekonomi.
Di Indonesia yang berlaku justru sebaliknya. Semakin bagus pertumbuhan ekonomi (yang nyaris 60% disumbang oleh konsumsi, apalagi jika distimulir oleh belanja pemerintah) maka semakin tinggi pula kenaikan UMP. Padahal, kondisi industri (investasi) bisa saja sedang megap-megap karena faktor persaingan atau kesulitan bahan baku.
Dus, pelaku usaha dihadapkan kenaikan UMP berskala tinggi (mengacu pertumbuhan ekonomi) meski kondisi bisnis mereka secara riil sedang tidak bagus. Di Malaysia, yang dipakai adalah variabel mikro: makin sulit kondisi bisnis (terindikasi dari tingkat pengangguran), makin kecil besaran kenaikan upah minimum. Yang pasti-pasti saja, lah!
Karena itu, usulan Said Iqbal ada benarnya juga. Bentuklah sistem upah minimum berbasis zonasi (dibedakan antara kantong/provinsi industri dan provinsi non-industri). Namun dengan catatan tambahan: rekomposisi pengalinya, dan juga komponen KHL. (Reuter/ Jacob Ereste)