Pernyataan Resmi GSBI:
Kapitulasi Upaya Memecah Belah Buruh Indonesia
Lawan Segala Bentuk Politik Pecah Belah dan upaya
Kapitulasi (Menyerahkan diri) Pimpinan Serikat Buruh Terhadap
Pemerintah Boneka Imperialis. Demikian pernyataan resmi GSBI (Gerakan Serikat Buruh Indonesia)
Kelas buruh Indonesia mengecam upaya memecah-belah pemerintahan Jokowi terhadap buruh dan politik
kapitulasi (menyerah diri) pimpinan serikat buruh yang mengatasnamakan aspirasi mayoritas kelas buruh Indonesia. Pecah belah oleh pemerintah merupakan bukti pemerintah tidak dapat meraih dukungan mayoritas buruh dan rakyat atas kebijakan dan tindakan yang pernah dan akan dikeluarkan yang semakin memerosotkan penghidupan dan menindas buruh. Sikap kapitulasi
pimpinan serikat buruh pun berarti memecahbelah buruh karena mendukung kebijakan dan langkah pemerintah yang merugikan buruh dan rakyat Indonesia.
Setelah memenangkan Pilpres 2019, Joko Widodo-Ma’ruf Amin akan segera membagi – bagi kekuasaan. Sementara rakyat tetap menjadi obyek yang ditindas dengan sistem ekonomi, politik, kebudayaan di bawah rezim boneka di bawah dikte imperialis asing.
Pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan kedua pimpinan serikat buruh, yakni Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani dan Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, sejak bulan April (pra-Mayday) hingga 30 September 2019 di Istana Bogor, merupakan perwujudan dari “penyerahan nasib” klas buruh di tangan Presiden Jokowi, dan usaha memecah belah buruh Indonesia.
Pertemuan tersebut melegitimasi dukungan kedua serikat buruh tersebut untuk lima tahun pemerintahan Jokowi jilid ll yang sebelumnya terbukti gagal melindungi dan mensejahterakan buruh Indonesia. Bahkan sebaliknya, Jokowi banyak melahirkan kebijakan yang buruk dalam sejarah perburuhan di Indonesia.
Berbagai pernyataan di Istana Bogor, kedua pimpinan organisasi buruh itu telah sepakat mendukung agenda Jokowi yang mengungggulkan iklim investasi (yang hanya baik bagi imperialis, borjuasi komprador dan tuan tanah). Padahal masalah ketenagakerjaan yang dapat mendukung investasi tersebut (hanya akan meningkatkan penghisapan atas buruh Indonesia) sesuai rencana strategis pemerintah yakni Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi.
Kedua pimpimpinan serikat buruh yang berjumpa Jokowi itu kompak mempunyai satu suara yang justru menuduh ada penumpang gelap dalam aksi-aksi mahasiswa akhir-akhir ini yang dituduh memiliki tujuan inkonstitusional seperti tudingan sebelumnya saat Konferensi Pers 25 September 2019.
Sikap dan dukungan itu memang tetap mengusung permohonan agar Jokowi tidak merevisi UUK No.13 yang menjadikan lebih berorientasi merugikan buruh, meminta revisi PP No. 78 tahun 2015,
dan menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan khususnya kelas III. Bagaimana mungkin
mendapatkan perubahan jika mengemis kepada rejim yang mengeluarkan seluruh kebijakan di bawah dikte imperialis yang menginginkan superprofit dari penghisapan buruh, petani, dan seluruh
pekerja Indonesia.
Lima tahun berkuasa, Jokowi menyerang buruh dengan PP No. 78 tahun 2015 tentang formula pengupahan sebagai implementasi Paket Kebijakan Ekonomi. Dampaknya, kenaikan upah buruh selalu di bawah 10 persen setiap tahun, sementara kenaikan harga terus meroket sehingga tingkat nilai upah riil tetap rendah, dan defisit nilai upah semakin menajam tak dapat mencapai kebutuhan
hidup minimum buruh dan keluarganya. PP 78 tahun 2015 juga telah memangkas peranan serikat buruh dan dewan pengupahan tingkat pusat hingga kota/kabupaten.
Fakta menunjukkan pemerintahan Jokowi juga membiarkan kemudahan penerapan sistem kerja
kontrak jangka pendek dan outsourcing (alih daya) tenaga kerja yang tidak memberikan kepastian kerja dan jaminan upah. Pemerintah juga menerbitkan aturan tentang Upah Padat Karya sebagai
cara memangkas hak buruh atas upah minimum. Selain itu, pemerintah mengeluarkan aturan tentang pemagangan, yakni Peraturan Menteri (Permen) No. 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. (Jacob Ereste)