Menanggapi konflik Partai Demokrat, eks Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) 2001-2004, Yusril Ihza Mahendra, menyampaikan pandangannya. Ia menekankan tak ingin bicara dengan memposisikan diri seolah menjadi hakim dalam konflik Demokrat.

“Saya menganalisis aspek-aspek hukumnya. Karena saya pikir masalah ini akan berlanjut. Tapi, saran saya masalah ini diselesaikan internal dulu atau melalui mahkamah partai,” ujar Yusril dalam acara Apa Kabar Indonesia Malam tvOne sebagaimana dikutip dari VIVA di Jakarta, Selasa, (9/3/2021).

Dia menjelaskan bila tidak puas di mahkamah partai baru selanjutnya di bawa ke pengadilan. Menurut dia, di ranah pengadilan, kubu AHY dan ayahnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nanti bisa menyusun argumen untuk meyakinkan hakim. Argumen itu seperti KLB di Sibolangit yang tak ada restu dari majelis tinggi dan tak dikehendaki 2/3 pengurus daerah pemilik hak suara.

Yusril mencontohkan kasus duaslisme kepengurusan yang pernah terjadi di Partai Golkar. Saat itu, kubu Agung Laksono menggelar KLB tandingan di Ancol, Jakarta Utara.

“Pada waktu itu antara Pak Aburizal dengan Agung Laksono yang tiba-tiba ada Kongres Luar Biasa di Ancol dan kemudian jadi persoalan. Dan, itu debat di pengadilan. Dan, akhirnya pengadilan memutuskan yang menang kubunya Pak Aburizal,” jelas Yusril.

Dia menyatankan agar SBY sebaiknya menempuh langkah demikian. Sebab, politik tergantung menafsirkan. Ia berharap tak perlu anggapan ada campur tangan pihak ini, pihak itu karena hal itu justru tak akan selesai.

“Pada akhirnya persoalan ini adalah persoalan hukum. Dan, persoalan hukum ini tergantung bagaimana sejauh kita susun kuat. Dan, saya meyakinkan hakim dan saya percaya pengadilan kita ini masih cukup objektif ya,” lanjut pakar hukum tata negara itu.

Kemudian, ia menyebut konflik di Partai Berkarya antara Tommy Soeharto dengan Muchdi Pr. Ia bilang hakim masih jernih dalam memutuskan perkara ini. “Walaupun prosesnya belum inkrah masih banding di pengadilan tinggi tata usaha negara,” kata Yusril.

Meski demikian, ia menekankan dalam konflik dualisme kepengurusan partai juga tergantung sikap menkumham. Ia menceritakan pengalamannya saat masih menjabat menkumham di era Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri. Ketika itu, terjadi konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) antara Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan Matori Abdul Jalil.

“Waktu saya dulu menkumham, terjadi konflik internal PKB antara almarhum Pak Gus Dur dengan Matori Abdul Jalil. Kedua pihak itu datang ke saya. Ya, kan ini sudah di bawa ke pengadilan, ya kita tunggu saja putusan pengadilan seperti apa,” ujarnya.

Yusril mengingatkan seorang menkumham mesti netral dan  tidak memihak kepada kubu-kubu yang bertikai. Kata dia, menkumham hanya semata-mata mensahkan dan pertimbangannya merujuk hukum. Bukan pertimbangan politik yang diterapkan.

“Walaupun kedua belah pihak tidak puas pada waktu itu, akhirnya putusan Mahkamah Agung turun yang dimenangkan adalah kubu Pak Matori. Tapi, waktu itu menteri kehakimannya sudah berganti dari saya ke Pak Hamid Awaluddin,” tuturnya.

Dia menyinggung dalam konflik partai sebelumnya seperti Golkar, Berkarya bahwa kepengurusan yang bikin KLB tandingan malah disahkan Menkumham Yasonna Laoly. Namun, saat di bawa ke pengadilan, keputusan Yasonna justru dianulir.

“Belakangan ini kan kita lihat waktu Golkar dan kemudian Berkarya, itu disahkan langsung oleh Pak Yasonna. Tapi, ketika di bawa pengadilan dianulir oleh pengadilan,” sebut Yusril.

Yusril menyarankan agar kubu AHY tak perlu khawatir spekulasi keterlibatan pihak tertentu di balik kisruh Demokrat. Ia yakin hukum masih di atas segalanya.

“Jadi, tidak usah Anda khawatir ada presiden di balik ini ya. Berkali-kali presiden dikalahkan di pengadilan. Dan, itu saya kira bukan hanya Pak Jokowi ya. Pak SBY juga saat masih presiden digugat ke pengadilan, bisa kalah juga,” tambah Yusril.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here