SBSINews – Pemerintah lewat Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) berencana membentuk tim hukum nasional untuk merespons tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh yang mengarah pada perbuatan melawan hukum.
Menkopolhukam Wiranto mengatakan rencana pembentukan tim tersebut muncul karena pemerintah tidak ingin memberi ruang bagi tokoh yang melanggar dan melawan hukum.
“Kita membentuk tim hukum nasional yang akan mengkaji ucapan, tindakan, pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu, siapapun dia yang nyata-nyata melanggar dan melawan hukum,” ujar Wiranto usai rapat koordinasi di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Senin (6/5).
Namun, rencana pembentukan tim itu pun mendapat kritik dari sejumlah elemen, termasuk pula dari kubu oposisi. Ada yang bilang seolah kembali ke Orde Baru, ada lagi yang menyebut sebagai kemunduran demokrasi.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah salah satu yang mengkritiknya. Politikus PKS itu meminta pemerintah tidak panik dalam merespons berbagai pernyataan yang disampaikan oleh sejumlah tokoh.
Fahri pun mengaku heran dengan keberadaan banyak orang di pemerintahan yang mendapatkan gaji serta fasilitas seperti mobil dinas tak bisa menjawab dan menjelaskan kritik para pihak ke media massa. Ia pun tak ingin pemerintah panik sehingga mau merenggut kebebasan berpendapat yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
“Masa segini banyak orang di pemerintahan jago-jago dapat gaji, dapat mobil dinas enggak bisa menjawab, enggak bisa menjelaskan ke media apa yang bisa bikin tenang di masyarakat. Jangan berlebihan,” katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/5).
Kemunduran Demokrasi
Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia Chudry Sitompul mengatakan rencana pembentukan tim pantau pencaci ini sebuah langkah kemunduran demokrasi.
Dia menilai pemerintah tengah berupaya untuk mengawasi setiap gerak-gerik masyarakat seperti di era sebelum reformasi.
“Setelah reformasi bebas, tidak lagi seperti di zaman yang semuanya diawasi negara. Ada kesan kemunduran demokrasi,” kata Chudry kepada, Selasa (7/5).
Ia mengatakan sejatinya sistem hukum di Indonesia telah memiliki mekanisme untuk menindak orang atau kelompok yang melanggar hukum. Kewenangan pelaksanaan mekanisme itu, lanjutnya, juga telah diberikan kepada lembaga penegak hukum yakni kepolisian.
Chudry pun berpendapat rencana pembentukan tim pantau pencaci ini sebagai upaya pengekangan atau menakut-takuti masyarakat.
“Kenapa sekarang dibuat tim khusus sehingga muncul kesan ada pengekangan atau menakut-takuti,” tuturnya.
Tim Pantau Pencaci Jokowi Jadi Ancaman Kemunduran Demokrasi Menkopolhukam melakukan jumpa pers usai Rapat Koordinasi bersama TNI, Polri, Kejaksaan, Kemenkominfo, Kemendagri, dan Kemenkumham, 6 Mei 2019.
Terpisah, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai rencana pembentukan tim pantau pencaci semakin menunjukan Wiranto terlalu reaktif dalam menyikapi kebebasan berekspresi masyarakat.
Ia menilai sikap reaktif itu sebelumnya pernah ditunjukkan Wiranto saat mengatakan masyarakat yang mengajak untuk tidak menggunakan hak suara atau menjadi golongan putih (golput) di Pemilu 2019 dapat dijerat dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut Ubedilah, sikap reaktif seperti itu sepatutnya tidak ditunjukkan Wiranto yang tengah menjabat sebagai Menkopolhukam.
“Seharusnya Menkopolhukam tidak seperti itu karena dia punya wewenang untuk menata kondisi keamanan dan politik secara sistemik dan dibangun dengan baik,” kata Ubed.
Dia pun berpendapat rencana pembentukan tim pantau pencaci itu dapat menimbulkan citra buruk bagi pemerintah.
Menurutnya, setiap kritik dalam bentuk diksi atau data yang dilayangkan seharusnya disikapi pemerintah dengan menyampaikan diksi dan data juga, bukan dengan kekuasaan menghukum.
“Politisi yang membuat diksi tertentu punya data dan argumentasi seharusnya dilawan dengan diksi dan argumentasi juga,” ujar Ubed.
Pembungkaman Kebebasan Berekspresi
Sementara itu Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai rencana Wiranto membentuk tim hukum nasional guna memantau ucapan tokoh sebagai sesuatu yang berlebihan. Koordinator KontraS Yati Andriyani mengatakan, wacana tersebut juga merepresentasikan ketidakpercayaan Pemerintah terhadap mekanisme hukum yang berlaku.
“Rencana itu sangat berlebihan dan secara tidak langsung menyiratkan ada ketidakpercayaan Pemerintah terhadap institusi dan mekanisme penegakkan hukum yang ada,” kata Yati saat dihubungi, Selasa (7/5).
Selain itu, menurut Yati pembentukan tim itu menjadi salah satu tanda ada kepanikan di tingkat peserta petahana usai pemilu 2019. Seharusnya, kata Yati, jika ada sesuatu yang dianggap melanggar diproses saja secara proporsional dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia; di mana hak kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul tetap harus dijamin.
Pembatasan terhadap hak-hak tersebut, ujarnya, tidak boleh dilakukan secara subjektif dan sewenang-wenang menggunakan mekanisme pidana.
“Ada kepanikan, kekhawatiran sosial politik yang muncul pascapemilu. Seharusnya direspons secara proporsional, biar aturan hukum yang bekerja,” ucap dia.
Yati melanjutkan, status dan tujuan pembentukan tim juga terkesan sangat subjektif. Wiranto, kata dia, tidak menjelaskan posisinya sebagai tim pemenangan petahana atau perwakilan pemerintah dalam rencana membentuk tim tersebut.
“Subjektivitas tim pemerintah akan rentan terhadap pembungkaman kebebasan berekspresi,” imbuhnya.
(Sumber: CNN Indonesia)