Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang menaikkan batasan penghasilan untuk pembeli rumah Down Payment (DP) 0 rupiah menjadi Rp 14,8 juta, terus dikritik.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna berpendapat, kebijakan program rumah DP 0 rupiah sudah salah dari awal. Batasan awal yakni Rp 7 juta ternyata tidak terjangkau bagi masyarakat miskin.
Menurut Yayat, fakta menunjukkan, tidak mungkin orang bergaji Rp 7 juta mencicil rumah minimal Rp 2,5 juta lebih per bulan. Karena itulah, batasan penghasilan naik menjadi Rp 14,8 juta. Tapi yang berpenghasilan sebesar itu adalah orang kaya.
“Biar nggak jadi program gagal, program ini ditujukan untuk orang kaya,” ledek Yayat.
Dia mengatakan, kebijakan itu justru menimbulkan ketimpangan. Sebab, subsidi triliunan rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diberikan kepada orang kaya. Apalagi, selama 3 tahun terakhir tidak ada rumah susun sewa baru yang dibangun.
“Total Rp 3,3 triliun anggaran yang digelontorkan APBD untuk program ini. Unit yang laku kurang dari seribu,” ungkapnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Sarjoko berkilah. Menurutnya, perubahan batasan tertinggi pembeli rumah DP 0 rupiah menyesuaikan perhitungan inflasi dan disparitas harga. Selain itu, hunian yang dibangun bukanlah rumah tapak, melainkan rumah susun tower.
“Ketentuan ini sudah tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 588 Tahun 2020. Naiknya harga ini akan memperluas penerima manfaat dari DP nol. Mengingat, mereka yang berpenghasilan Rp 14,8 juta merupakan pekerja yang juga membutuhkan hunian di DKI Jakarta,” ujar Sarjoko, Rabu (17/3).
Sarjoko mengatakan, meski batas tertinggi penghasilan naik, warga miskin bakal diakomodir. Pemprov tengah menyiapkan mekanisme agar masyarakat miskin dapat sesuai dengan ketentuan perbankan, dan sistem cicilan tetap ringan serta terjangkau.
Anggota Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak meyakini, rumah DP 0 rupiah bakal sepi pembeli. Sebab, lokasi yang ditawarkan tidak strategis.
Selain itu, unit tidak bisa dijadikan investasi karena tidak bisa diperjualbelikan mengikuti ketentuan pasar.
“Meski harganya mahal, tapi statusnya tetap subsidi. Jual beli harus mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah,” katanya.
Lahan 70 Hektare
Anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Eneng Malianasari mengungkapkan, Perumda Pembangunan Sarana Jaya (PSJ) telah membeli lahan seluas 70 hektare. Antara lain, digunakan untuk lahan rumah DP 0 rupiah.
Namun, rincian terkait keberadaan lahan tersebut belum dijelaskan kepada DPRD hingga saat ini. Fakta ini pun baru diketahui beberapa waktu lalu saat Komisi B DPRD DKI menggelar pertemuan dengan Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Senin (15/3).
“Selama ini terdapat banyak kejanggalan proses perencanaan dan pembahasan anggaran. Misalnya, data tidak dibuka ke publik, data diberi H-1 atau bahkan di hari rapat sehingga tidak sempat dipelajari,” kata Eneng, Kamis (18/3).
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi mengatakan, anggaran pembelian tanah oleh PSJ pada tahun anggaran 2019 bersumber dari penyertaan modal daerah. “Nilainya Rp 800 miliar,” ungkap Prasetio, kemarin.
Pencairannya pun berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1684 Tahun 2019 tentang Pencairan Penyertaan Modal Daerah Pada Perusahaan Daerah Pembangunan Sarana Jaya Tahun Anggaran 2019.
Menurut Prasetio, Keputusan Gubernur (Kepgub) itu memutuskan pencairan PMD untuk Pembangunan Sarana Jaya pada tahun anggaran 2019 sebesar Rp 800 miliar. “Uang Rp 800 miliar itu kemudian digunakan untuk membeli lahan yang akan digunakan dalam Program Rumah DP 0 Rupiah,” jelasnya.
Dalam Kepgub itu juga dijelaskan bahwa Direksi Pembangunan Sarana Jaya setelah menerima Penyertaan Modal Daerah (PMD) tersebut harus melaporkan hasil pelaksanaan kepada Gubernur. “Gubernur yang bertanda tangan dalam Kepgub itu Anies Baswedan,” ungkapnya.
Kemudian, disebutkan juga bahwa Direksi Pembangunan Sarana Jaya harus menyampaikan laporan penyerapan penggunaan PMD secara periodik setiap 3 bulan kepada Gubernur dengan tembusan Inspektur, Kepala Badan Keuangan Daerah dan Kepala Badan Pembinaan Badan Usaha Milik Daerah.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengaku tak mengetahui soal pembelian 70 hektare lahan oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya. Namun, dia bakal mengecek keberadaan dan peruntukan lahan yang disebut-sebut dibeli dalam dua tahun terakhir ini.
“Nanti kami akan cek berapa tahun itu sudah mencapai 70 hektare. Berapa tahun ke belakang, apakah dua tahun, tiga tahun, apa empat tahun ke belakang kita memperoleh 70 hektare yang dibeli Sarana Jaya. Kami akan cek di mana dan sebagainya,” ujar Riza, Kamis (18/3).
Diakui Ariza, setiap Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) memang memiliki kewenangan untuk membeli lahan dalam program bank tanah.
“Tanah tersebut dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat, antara lain membangun rusun dan sebagainya,” ujarnya.
Meski tak mengetahui soal 70 hektare lahan yang dibeli Sarana Jaya, politisi Gerindra ini mengklaim, dirinya dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan selalu mendapatkan laporan rutin dari masing-masing BUMD.
“Tentu ada laporan rutin, laporan ke Pemprov, laporan ke DPRD. Saya nggak hafal satu-satu, kalau semuanya dihafal nggak mungkin,” kata dia.
SUMBER : RM.ID